Yang
Terluka
5 tahun kemudian aku mulai jenuh menjalani kehidupan. Entah karena aku
terlalu posesife hingga kini aku merasakan aura cinta mulai hilang dalam
pikiran. Kini kumengerti bagiku cinta hanyalah sebuah permainan (yang bila
sudah bosan di tinggalkan begitu saja).
Tidak ada cinta
sejati yang tulus memberi di muka bumi ini, mereka semua hanya sedang bermain
opera. Di awal cerita sepasang kekasih baru–saling menyanjung dan memuja, tapi
di akhir cerita mereka saling membenci dan bahkan saling memaki.
Salam hangat
dariku untuk Perempuan Cantik yang ada di seluruh jagat raya, aku hanya ingin
bilang:
Kau pikir…
Diriku adalah sebatang lilin
yang senantiasa menerangi dan melindungi harimu yang kelam dan tak lama
kemudian
Aku kau buang begitu saja
Kau anggap…
Dirimu adalah sekuntum bunga
yang seenaknya menebar wangi dan membagi
hati pada kumbang yang lain lalu sesaat yang terjadi
Aku kau tinggalkan begitu saja
Heuh…
Perempuan cantik memang tak bisa di percaya
Bibirmu tak bertulang
kadang dalam senyummu tersimpan pisau yang tajam
Apalagi…
Disaat kamu memandang
Matamu tak bertuan
kadang dalam kedipmu terlempar panah yang menerjang
Aku akui (kamu hebat)
Aku tak bisa berlari
dari senyumanmu
Aku tak bisa sembunyi dari tatapanmu
Dan memang…
pernah ada cinta di ulu hatiku
tapi kini semuanya sudah kau racuni
dan seketika berubah menjadi benci
Sekarang kau coba pikir…
Berapa orang yang sudah kau sakiti, kau
kecewakan dan kau khianati?
Apa kau tahu…
Bagaimana nasib orang yang kau sakiti?
Bagaimana perasaan orang yang sudah kau khianati?
Tapi sudahlah…
aku tidak mau berbicara lebih banyak lagi, karena semua itu percuma dan tidak
ada guna. Kuharap perempuan cantik dapat mengerti perasaan lelaki seperti aku
ini.
Pikiranku
menjadi picik tentang mereka karena semenjak dulu aku selalu terluka hingga
sampai saat ini masih terbesit perih yang kurasa terhadap sosoknya.
***
Ilusi
dari sebuah khayalan buruk terkadang menyesakkan dada. Jauh dari relung hatiku
tertulis sebuah nama (Nisa). Mungkin manusiawi bagiku, ketika hasrat ingin
berjumpa dan bicara setelah sekian lama kita memalingkan muka.
Tapi di saat
ingin kusapa, tiba-tiba lidahku pilu… beku… hanya hati dan jiwaku yang
bersuara. Apakah yang kurasa sama dengan nya… atau… ahh… mungkin itu hanya
sebuah ilusi bagiku. Rasa yang tak bisa terungkap setelah sekian lama kurasakan
hal… yang berbeda tentang dirinya.
Selama ini aku
sering terjebak tipu dayanya yang sangat dalam. Akankah rasa dan getaran itu
hilang begitu saja, entahlah… aku pun tak pernah tahu jawabannya.
Walaupun kini
lima tahun sudah berlalu tapi perasaanku tetap sama pada Nisa. Yang berubah
hanyalah kedewasaan yang seharusnya menuntun diriku untuk memilih yang terbaik
dan apa yang seharusnya aku lakukan adalah aku kembali dengannya.
Kini ku duduk di
bangku kelas 2 SMA dan masa ini membuatku tak pernah tahan ingin meluapkan
perasaan rindu dan sayang yang tersumbat padanya. Sementara di sisi lain, orang
yang senantiasa mencintaiku sepenuh hati malah kutinggalkan di persimpangan
jalan. Bahkan sekarang akupun tidak tahu bagaimana nasib Mery saat ini?
Terakhir kubertemu dengannya kulukai dia dengan seribu dusta dan bahkan kurobek
hatinya, kukoyak-koyak hingga dia tak dapat bicara sepatah kata pun juga.
Tapi aku punya
seribu alasan mengapa aku setega itu menyakiti wanita sebaik Mery. “Kau mungkin dapat merekayasa perasaan cinta
terhadap orang yang terlampau baik, padahal bukan dengan cinta lagi kau harus
membalas kebaikannya. Sementara di sisi lain, sepenuh hatimu tergambar wajah
orang lain yang dengan seluruh jiwa raga kau rela di buatnya menderita”.
Itulah arti
cinta, kadang memilih yang terbaik bukan salah satu pilihan terakhir yang
terbaik. Melainkan perbandinganlah yang membuat hati ingin memilih cinta walau
tahu itu bukan yang terindah dari dua pilihan. Untuk itu kubulatkan hati hanya
untuk Nisa seorang tempat hatiku kuisi.
Ketika
kuresapi sudah dan tidak pernah ku tahu, diri ini tanpa ada Nisa ternyata
sepi–kurasakan rindu. Hanya cinta yang bisa hangatkan mimpi ini berlalu. Kasih
sayangmu yang tersisa tidurkan sukma saat kau pergi. Hanyalah hatimu dan
cintamu yang selalu ingin kurasa, kudekap, kukenang kuharap selamanya.
Nisa… hadirmu bagaikan
surya menyinari pagi, ucapmu bagai embun basahi rerumputan. Kedatanganmu selalu
kutunggu dan senyumanmu selalu kurindu. Candamu pasti kuharap karena hari-hariku
tanpamu sepi. Sungguh kelembutan cintamu mampu hangatkan dinginnya udara dan
dalam dekapmu kubahagia. Kejujuran hatimu mampu tenangkan jiwaku dan dalam
pelukmu kutergugah dalam alunan asmara.
Tapi dimanakah
kini kau berada Nisa? Tanpamu sepi hidupku, kau belahan jiwaku, kini aku
sendiri, hampa ku sadari begitu sangat beda perasaanku terhadap dirimu. Satu
ungkapan tentang tali kasih dan cinta putih, suci adanya dan kau harus
mengerti. Juga sangat kusadari, nafasku dan cintaku hanya untuk dirimu, dengan
tulus kuberikan segalanya. Sangat kupahami, hari-hari terasa sepi tanpa ada
dirimu di sisiku.
Untuk itu
janganlah kau berpaling sedikitpun dari hatiku. Tetapi hanya saja ku tak
mengerti permainan roman cintamu, yang dulu indah tak bertepi menjadi puing-puing
kepalsuan, yang menghancurkan bathinku tentang keraguan atasmu. Beri semua
kemurnian dari cintamu untuk meluluhkan aku, sentuh kembali nuraniku untuk
mendapatkan kepercayaanmu. Tetapi tidak dengan mudah aku mendapatkan rasa
bahagia darimu.
Langkah
ini semakin lebar menggapai semua cinta tak pernah usai. Kesunyian malam yang
indah, bulan purnama yang terang dan bintang yang berkelipan. Ingat di saat aku
bersedih menyesali kesalahan yang kubuat, dia benci tanpa kata-kata hanya
inspirasi yang dapat merubah benakku yang lara.
Sekarang aku
berbeda dengan hari kemarin, di hari itu aku terluka olehmu dan hari ini aku
ingin mengenal dirimu penuh arti, penuh rasa dan penuh makna tanpa ada
penyesalan lagi. Hidupku akan tenang bila kau bisa menerimaku apa adanya dan
yang terakhir, bolehkah aku mengenal dan menyapamu lagi? NISA…
Ada
banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu lewat pesan singkat yang kubuat ini:
“Siapa gerangan dirinya yang menanti jawaban yang tak pasti…?
Bukan hal yang bodoh, sesering kali kusampaikan rasaku pada dirinya
Hanya kita yang belum saatnya untuk bersatu…
Di dada ini ada rasa gemetar
Buahkan tetesan keringat bercucuran darah
Malam yang resah teringat kebaikan Sang Penyair
Dia berjalan menapakkan kaki nya, merangkul senjata tapi bukan untuk
berperang
Melainkan untuk membela dirinya”.
***
Sekarang masa-masa
indahku, tapi tak ada yang mampu kuungkapkan kecuali diam. Siapa sangka lelaki
sepertiku tak punya kesan cinta yang indah melainkan kisah luka bersamanya.
Bagiku bila memang ku harus mencinta, itu hanya dengan Nisa. Tapi bila ku harus
tanpanya, aku rela arungi hidup ini tanpa harus mencinta.
Sekalipun
sampai saat ini aku tak pernah menjalin kisah cinta bersama wanita, tapi ku
bahagia selalu bisa menanti Nisa.
Tapi
ketika hampa tujuanku, ketika nihil adalah satu-satunya harapan, adalah kukhianati
Tuhan dan kucumbu semua kata larangan. Kutulikan telinga, kukosongkan jiwa
raga, kini ku berada sendiri di antara puluhan tangis tawa. Aku banyak bicara
tanpa jejak bahasa, ku banyak diam pekakkan jiwa. Biarkan hanya sekejap akan kubaptis
semua garis batas tipis. Kusumpah semua menjadi sampah agar semua menjadi jelas
tanpa batas dan tanpa tilas.
Sampai di saat
tanganku terbentang, kepalaku terlentang, mata terpejam, senyum mengembang, tawa
terlepas kusadari kini ku menjadi lelaki penyepi. Hidup dalam ruang lingkup
mewangian sunyi yang menjadi pilihan atas semua kekecewaan.
Lagi dan lagi siapa
bisa sangka, aku kini anak kelas 2 SMA tapi belum juga pernah berkasih dengan
wanita. Tapi apalah arti kekasih bagiku, mungkin ini sudah jadi jalan takdirku.
Menjadi seorang pemandu sunyi, tidaklah buruk kedengarannya di kedua telingaku.
Rapuh tanganku
yang terluka oleh cinta yang tak terjawab, yang membawa malapetaka hingga
semangat berjuang pun hilang seketika. Jiwa dalam raga menyesalinya, impas
semua perbuatan yang kubuat. Kulitku kering, terik matahari menyengat kepalaku.
Tertanam rasa sukar kepadamu (Nisa) kini kau anggap aku gila seakan aku takkan
berontak dan inilah aku kini, kuatur hidupku sendiri karena kau telah lukai aku
penuh arti.
Mungkin ingin
mengenal dekat dirimu sudah basi. Karena sekarang semua nya sudah terlambat,
nasi sudah menjadi bubur putih yang tak bisa di kembalikan lagi. Dan kalau pun
bisa itu semua hanya rekayasa belaka, hanya permainan cintamu yang terlampau
gila.
Kesunyian
malam kini meluluhkan hatiku, jauh sudah
perjalananku, lelah hati ini menanti cinta yang tak pasti, kemanakah harus kucari
lagi? Cinta dalam dada membuatku lara, rindukan dirimu hanya membuatku ingin menangis.
Kubiarkan hujan
badai temani diriku pulang, kubiarkan sengat dingin air menghujam. Dengan
bertemankan kertas-kertas putih dan pena kulukiskan kisah kita penuh canda di
masa kelam. Sambil bersyair dalam riung pesta, ku sendiri diantara gelak tawa yang
bernada di balik dinding yang kugema. Mataku terpejam tak mau, sedangkan
anganku berontak tak lesu. Melekat suara pada dinding ruang kamar, berkutik
pada riuh, gaduh angin meronta getir ini, mengais lagi bahtera rindu.
Untukmu Nisa
kuasah luka, padamu jua kuasuh bahagia. Denganmu Nisa cinta ingin kuakhirkan, kuniscayakan
tanpa sebab yang harus di perdebatkan. Hanya padamu Nisa, itu saja.
***
Sekali
lagi, malam berikutnya dan seterusnya malam akan tetap sama. Takkan pernah ada
yang berubah, setiap malam kulalui penuh resah, yang dapat terasa hanya
kehampaan jiwa. Ragaku terdiam terpaku sementara jiwaku melayang menembus
fatamorgana. Kurasa sepi jiwaku, sunyi hatiku, hanya lorong-lorong kosong tak
terjamah yang kulewati.
Aku hidup dan
menetap dalam dunia maya, kenyataan hidupku terlalu lama kutinggalkan dalam
luka. Namun ketidakberdayaan tubuhku takkan bisa membuatku mati semudah itu.
Aku telah terbiasa sendiri di ketinggian dunia imajinasi, senyap tak berasa.
Kesendirianku kini adalah pemulihan diri bagiku.
Kugapai angin di
ketinggian bumi, ragaku berpijak sementara rohku terbang. Nafasku begitu ringan
layaknya debu yang bertebaran. Hampa rasa ini kosong, seolah bagian dari jiwaku
terpisah dan terbelah, mati beku.
Tuhan…
ampunilah aku
Aku tidak mampu menepati semua janjiku
tapi ku selalu berusaha untuk menjadi manusia tanpa dosa
walau sulit ku rasa, sulit ku coba
Dunia ini penuh kutukan
dari iblis yang menyesatkan
tapi kucoba untuk tak bimbang
dan berlindung pada TUHAN
Terkadang…
Aku merasa kasihan pada diriku yang malang
menjauhi Tuhan dan bertemankan setan
menjauhi pahala dan bertemankan dosa
Aku merasa di sudutkan kenyataan
menghempas diriku dan tak sanggup kulawan
Entah sampai kapan aku dapat bertahan
dari dunia hitam dan mimpi yang kelam?
Acap kali ku berjanji, sering kali ku ingkari
hingga mungkin bila kumati
Hanya bisa menyesali…
Siapa yang harus
ku salahkan? Ayahku pergi dengan sekotak kesibukan hingga luput melupakan kami.
Sedangkan Ibuku terlalu manja dengan dunia hingga lupa untuk pamer kasih sayang
dan perhatian pada kami. Sementara orang yang kusuka selalu saja membuatku
terluka, Nisa… Nisa…
***
Sunyi malam yang mencekam menambah
heningnya arti malam. Terkenang Sang Kekasih di saat hati bertanya, adakah
cinta yang tersisa ataukah terbuang? Haruskah aku mengenangmu atau melupakanmu?
Nisa, bila aku bersamamu mungkin cemburu merambat, tapi bila tak ada kamu hati
resah tersirat. Sungguh sayang sejuta kata indah kau torehkan, hingga membuatku
terluka tanpa alasan.
Ohh..
kini ku melayang dalam buaian wajahmu, yang membuat debaran dalam hatiku.
Sungguh kini ku tenggelam dalam tatapan matamu dan ku impikan semua tentangmu.
Kuingat saat ku bersamamu, kugenggam tanganmu dan kutatap matamu tanpa seorang
pun mengganggu. Tapi mengapa kau terus menyakitiku? Terkadang kau selalu
memelukku sebelum ingin membunuhku.
Hingga
kini ku berdiri di derasnya hujan, di tengah lapang jauh dari keramaian.
Sendiriku tak berkawan, renungi hidup penuh penderitaan. Lalu berlariku sekuat
aku berlari dan aku tak takut bila harus mati saat ini.
Dan akhirnya ku
terjatuh, tubuhku terkapar dan mulutku mengeluh. Rasanya ingin sekali ku
habiskan air mata atau teriak sekuat tenaga. Ku paksakan lagi untuk berjalan
dan helakan semua kekecewaan. Walau harus sendiri tak berkawan, walau harus
kesepian. Sebab aku tak mau berkawan dengan orang yang penuh kepalsuan–biarpun
tak ada kenangan yang kudapat bersama kawan dan orang yang kusayang.
Masih
teringat wajah itu, melekat dalam hati dan pekatnya tak kunjung hilang. Padahal
aku jatuh cinta padanya saat pandangan pertama dan dialah wanita pertama jua
yang kucinta. Paras indahnya selalu membuatku berangan, sungguh manisnya bila
dia mau bersanding denganku. Tapi setelah kuhancur kini, tak ada lagi yang
tersisa dari sayat-sayatan kisah yang di tinggalkan olehnya.
Teruntuk Nisa,
ketika kau baca pesan ini mungkin saja kau menangis. Tapi sayang, seberapa
banyak air mata yang akan kau keluarkan nanti pun takkan mampu mengobati luka
hati di dalam dadaku ini.
Nisa apa kau
ingat? Dulu kita pernah begitu dekat. Sedekat udara yang kita hirup dan sedekat
air yang kita teguk. Nisa, dulu kita pernah terbang ke langit. Memetik bintang
di malam gelap dan erat tubuhmu kudekap.
Tapi Nisa,
kenapa kini kau pergi? Kenapa kau mengepak sayap dan terbang tanpa aku? Padahal
kita masing-masing adalah peri kecil bersayap satu, yang hanya bisa
terbang bila kita saling berpelukan. Nisa…
sadarkah kau telah tinggalkanku dan sekaligus menghancurkan harapan hidupku,
juga mematahkan sayapku.
***
Dengan desah nafas yang tak beraturan ku berlari ke padang gurun di terik
si Raja Siang. Dengan rasa haru nian riang ku berdiri tegak dan ku pandangi
semua arah di sekitarku. Ketika ku mulai berlari, ku tersempat jatuh hingga
tubuhku terkapar. Kuletakan kedua telingaku silih berganti dan kudengar kali
ini tak ada lagi suara, yang ada hanya ratapan angin berdesir di balik pasir.
Dimana sahabat
sedihku itu? Mereka seakan-akan tak ingin lagi berbisik lirih di telingaku. Aku
tahu anginlah yang membawanya pergi. Sempat sesekali aku mengejar tapi bisikan
pasir itu semakin jauh terbang. Setitik pun tak ku dapatkan janji indah yang
terlantun dari bisikannya–tak kudengar lagi kata cinta dan sapaan lembut
darinya. Semakin ku sadari semuanya terlalu menghening untukku mengerti dan begitu
sepinya hatiku kini seperti dulu tanpamu, Nisa.
Bisikan
pasir (Nisa) terbanglah menuju tempat yang lebih baik bersama angin menuju
padang yang lebih layak. Tapi aku akan tetap menunggumu disini, sebelum kau
kembali mungkin aku takkan beranjak pergi dari tempat ini. Karena ku yakin kau
pasti kembali bersama untaian kata indah yang terdendang di kedua telingaku. “Selamat
tinggal pasirku… kekasih hatiku… belahan jiwaku… Annisa.. Yuniar Purwana”.
Nisa..
Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa..
masih saja cerita tentang dia, masih saja tak henti-hentinya aku akan menulis
tentang keindahan parasnya. Dan ingin sekali ku beritahukan pada dunia, betapa
hebatnya dia.
Di
malam ini ku sempatkan waktu untuk merenungi kekalahanku. Tapi tak ingin ku
sesali ataupun ku tangisi atas semua yang telah terjadi. Karena aku percaya
esok atau pun lusa nanti aku pasti bisa
merajai hari. Dan pedihku pasti berlalu seiring berganti dengan senyumanku yang
akan ceria selalu.
Dimana hari itu
takkan ada luka ataupun kecewa dan semua yang ku inginkan pasti ku dapatkan.
Ketika ku pejamkan mata seraya menghela nafas terasa ada yang hilang dari
sebagian bebanku. Ku pandangi bintang yang tenang dan ku biarkan tubuhku
terbuai angin malam.
Ku
lewatkan hari mengikis waktu, masih kucoba untuk selami hati yang rindu. Yang
ku rasakan, yang tak kau tahu dan bersabda sekat rasa yang terluka.
Aku berjalan
kaku di dalam kegelapan, seperti kap suci yang membelakangi kenyataan. Masih kucoba
mencari jawaban yang tertunda dari hati yang selalu bertanya. Apakah Nisa
pernah benar-benar mencintaiku? Aku menyisakan tangis untukmu, mungkin kau tak
ingin tahu itu! Kau hanya beri aku senyuman sebagai tanda jawaban yang membuat
aku merebak dan terkulai merangkak.
***
Aku tak pernah mengerti apa arti
cinta? Apakah ada cinta yang tak melahirkan luka? Padahal aku begitu sangat
menyanjung cinta bahkan setiap puisi yang kutulis selalu tentang cinta dan
setiap lagu yang kucipta pasti tentang cinta. Tetapi setiap aku ingin memiliki
cinta, tak pernah satu pun terwujud nyata.
Aku tak pernah
tahu apa mau dia (Nisa)? Duduk seenaknya di singgasana istana bagai puteri raja
yang membuat sayembara cinta. Dengan lancang dia pilih satu pria layaknya benda
yang tak berharga di antara seribu pria yang hadir untuk menjajakan cinta. Hey
ini aku…! Siapa yang menginginkanku karena aku pria yang malang, aku tidak
punya kebanggaan untuk ku tunjukkan pada perempuan yang kusayang.
Masih
tak habis pikir, mengapa Nisa tak pernah mau mengerti perasaanku? Padahal aku
sudah menunggunya selama dua ribu malam, menunggunya tanpa jenuh dan tanpa
bosan. Apa maknanya senyumku jika kau masih tak mengerti? Apa gunanya lambaian
tanganku jika belum tentu kau pahami?
Percuma Nis, aku
lelah kini. Aku merasa, aku dan cintaku tak lebih hina dari batu yang dungu.
Maka setiap tetes demi tetes dari darah pengharapanku adalah kelabu. Bila
memang aku orang gila, mengapa tak lempar saja aku dengan batu atau cacilah aku
dengan kata-kata kasarmu. Dan teruntuk si Pematah Hati, mengapa tak berlari
saja melihatku. Atau teriaklah dan teriaklah seakan kau bertemu hantu yang
menakutimu.
Pintalan benang
laba-laba hitam, teranyam pekat di atas atap rumah yang tak bertuan. Mengapa
tak kau sembunyi saja di balik bayangan? Atau menangislah dan menangislah
karena takut melihatku. Hey si Pencuri Hati, ada seekor lebah yang kehilangan
arah dan akhirnya terperangkap dalam pintalan benang yang kau buat. Kini dia
terjaring bersama harapan semu dan mati tanpa cinta yang tersisa di hatinya,
dan seekor lebah itu adalah AKU.
***
Ya ampun… malam ini tak seperti biasanya. Entah kenapa ketika aku kembali
mengingat wajahnya, ada debaran kencang yang terasa di dalam dada. Begitu
bergetarnya pula tanganku di saat aku kembali menulis tentang Nisa.
Tangan ini
mungkin saja telah terlarut membencinya hingga aku lancang telah berani
mencacinya. Tapi tidak untuk hatiku, sepertinya hati teramat sangat mendambakan
kehadirannya saat ini.
Tapi sudahlah,
biarkan saja malam ini berlalu menghening dan aku yakin sanggup lalui tanpa
harus kembali mengenangnya.
Tapi dalam waktu hitungan menit saja
semua cerita berbalik 380 derajat. Tak kusangka secepat itu dia mendengar
nyanyian rinduku. Saat kudengar suara telepon rumahku berdering, tanganku
langsung seperti magnet yang menarik paksa diriku untuk segera mengangkat
telepon.
Sudah kuduga
ternyata separuh hatiku (Nisa) ada di belakang suara yang terdengar di balik
telepon itu. Ku masih tak tersadar ketika dia sebutkan namanya dan bertanya
kabar. Gerangan orang yang selama ini menghilang bahkan tega kembali menanyakan
kabar lukaku yang tak sempat dia obati dahulu. Masih saja ingin ku tanyakan,
aku tak pernah mengerti apa yang di pikirkan Nisa dan apa yang ada di hati dia?
Aku masih ingat saat itu, terakhir
kali aku bertemu dia di pesta perpisahan SMPku 2 tahun lalu. Saat itu aku
bernyanyi dengan Group Bandku untuk dia, berharap dia dapat mendengarkan setiap
bait dan kata yang terkandung dalam lagu yang ku dendangkan.
Di kala aku
bernyanyi, hati dan tubuhku bergetar. Begitu sangat ku resapi lagu ciptaanku
itu seakan aku ingin mengucapkan betapa enggannya aku meninggalkan dirinya.
Tapi saat ini dia berani datang lagi
dalam hidupku, mengisi ruang hati yang telah lama ku kosongkan. Aku tak
menyangka secepat ini aku kembali mengharapkannya.
Ketika dia ingin
menutup telepon dan menyudahi pembicaraan seakan aku kehilangan benda yang
sangat berharga hingga terucap dengan gesa ku janjikan akan menghubunginya lain
waktu.
Ohh betapa
bodohnya aku, padahal belum beberapa jam yang lalu aku mencacinya di tulisanku
tapi sekarang seakan aku mengharap dia tetap singgah dalam lubuk hatiku.
Sepenggal hatiku memang sudah dia kuasai sejak dulu hingga ketidakberdayaanku
selalu takut akan kehilangan gelak tawanya.
Please open to:

Wajib baca ceritanya girls,
BalasHapusKata-kata romantisnya udah gak ada di zaman skrg...