Jumat, 05 Mei 2017

Kekasih Terakhir Eps 2 : Sang Penyair Cinta Yang Terluka

Sang Penyair Cinta
Yang Terluka

5 tahun kemudian aku mulai jenuh menjalani kehidupan. Entah karena aku terlalu posesife hingga kini aku merasakan aura cinta mulai hilang dalam pikiran. Kini kumengerti bagiku cinta hanyalah sebuah permainan (yang bila sudah bosan di tinggalkan begitu saja).
Tidak ada cinta sejati yang tulus memberi di muka bumi ini, mereka semua hanya sedang bermain opera. Di awal cerita sepasang kekasih baru–saling menyanjung dan memuja, tapi di akhir cerita mereka saling membenci dan bahkan saling memaki.
Salam hangat dariku untuk Perempuan Cantik yang ada di seluruh jagat raya, aku hanya ingin bilang:
Kau pikir…
Diriku adalah sebatang lilin
yang senantiasa menerangi dan melindungi harimu yang kelam dan tak lama kemudian
Aku kau buang begitu saja
            Kau anggap…
Dirimu adalah sekuntum bunga
yang seenaknya menebar wangi dan membagi hati pada kumbang yang lain lalu sesaat yang terjadi
Aku kau tinggalkan begitu saja
Heuh…
Perempuan cantik memang tak bisa di percaya
Bibirmu tak bertulang
kadang dalam senyummu tersimpan pisau yang tajam
Apalagi…
Disaat kamu memandang
Matamu tak bertuan
kadang dalam kedipmu terlempar panah yang menerjang
            Aku akui (kamu hebat)
            Aku tak bisa berlari dari senyumanmu
Aku tak bisa sembunyi dari tatapanmu
Dan memang…
pernah ada cinta di ulu hatiku
tapi kini semuanya sudah kau racuni
dan seketika berubah menjadi benci
Sekarang kau coba pikir…
Berapa orang yang sudah kau sakiti, kau kecewakan dan kau khianati?
Apa kau tahu…
Bagaimana nasib orang yang kau sakiti?
Bagaimana perasaan orang yang sudah kau khianati?

Tapi sudahlah… aku tidak mau berbicara lebih banyak lagi, karena semua itu percuma dan tidak ada guna. Kuharap perempuan cantik dapat mengerti perasaan lelaki seperti aku ini.
Pikiranku menjadi picik tentang mereka karena semenjak dulu aku selalu terluka hingga sampai saat ini masih terbesit perih yang kurasa terhadap sosoknya.

***
            Ilusi dari sebuah khayalan buruk terkadang menyesakkan dada. Jauh dari relung hatiku tertulis sebuah nama (Nisa). Mungkin manusiawi bagiku, ketika hasrat ingin berjumpa dan bicara setelah sekian lama kita memalingkan muka.
Tapi di saat ingin kusapa, tiba-tiba lidahku pilu… beku… hanya hati dan jiwaku yang bersuara. Apakah yang kurasa sama dengan nya… atau… ahh… mungkin itu hanya sebuah ilusi bagiku. Rasa yang tak bisa terungkap setelah sekian lama kurasakan hal… yang berbeda tentang dirinya.
Selama ini aku sering terjebak tipu dayanya yang sangat dalam. Akankah rasa dan getaran itu hilang begitu saja, entahlah… aku pun tak pernah tahu jawabannya.
Walaupun kini lima tahun sudah berlalu tapi perasaanku tetap sama pada Nisa. Yang berubah hanyalah kedewasaan yang seharusnya menuntun diriku untuk memilih yang terbaik dan apa yang seharusnya aku lakukan adalah aku kembali dengannya.
Kini ku duduk di bangku kelas 2 SMA dan masa ini membuatku tak pernah tahan ingin meluapkan perasaan rindu dan sayang yang tersumbat padanya. Sementara di sisi lain, orang yang senantiasa mencintaiku sepenuh hati malah kutinggalkan di persimpangan jalan. Bahkan sekarang akupun tidak tahu bagaimana nasib Mery saat ini? Terakhir kubertemu dengannya kulukai dia dengan seribu dusta dan bahkan kurobek hatinya, kukoyak-koyak hingga dia tak dapat bicara sepatah kata pun juga.
Tapi aku punya seribu alasan mengapa aku setega itu menyakiti wanita sebaik Mery. “Kau mungkin dapat merekayasa perasaan cinta terhadap orang yang terlampau baik, padahal bukan dengan cinta lagi kau harus membalas kebaikannya. Sementara di sisi lain, sepenuh hatimu tergambar wajah orang lain yang dengan seluruh jiwa raga kau rela di buatnya menderita”.
Itulah arti cinta, kadang memilih yang terbaik bukan salah satu pilihan terakhir yang terbaik. Melainkan perbandinganlah yang membuat hati ingin memilih cinta walau tahu itu bukan yang terindah dari dua pilihan. Untuk itu kubulatkan hati hanya untuk Nisa seorang tempat hatiku kuisi.
            Ketika kuresapi sudah dan tidak pernah ku tahu, diri ini tanpa ada Nisa ternyata sepi–kurasakan rindu. Hanya cinta yang bisa hangatkan mimpi ini berlalu. Kasih sayangmu yang tersisa tidurkan sukma saat kau pergi. Hanyalah hatimu dan cintamu yang selalu ingin kurasa, kudekap, kukenang kuharap selamanya.
Nisa… hadirmu bagaikan surya menyinari pagi, ucapmu bagai embun basahi rerumputan. Kedatanganmu selalu kutunggu dan senyumanmu selalu kurindu. Candamu pasti kuharap karena hari-hariku tanpamu sepi. Sungguh kelembutan cintamu mampu hangatkan dinginnya udara dan dalam dekapmu kubahagia. Kejujuran hatimu mampu tenangkan jiwaku dan dalam pelukmu kutergugah dalam alunan asmara.
Tapi dimanakah kini kau berada Nisa? Tanpamu sepi hidupku, kau belahan jiwaku, kini aku sendiri, hampa ku sadari begitu sangat beda perasaanku terhadap dirimu. Satu ungkapan tentang tali kasih dan cinta putih, suci adanya dan kau harus mengerti. Juga sangat kusadari, nafasku dan cintaku hanya untuk dirimu, dengan tulus kuberikan segalanya. Sangat kupahami, hari-hari terasa sepi tanpa ada dirimu di sisiku.
Untuk itu janganlah kau berpaling sedikitpun dari hatiku. Tetapi hanya saja ku tak mengerti permainan roman cintamu, yang dulu indah tak bertepi menjadi puing-puing kepalsuan, yang menghancurkan bathinku tentang keraguan atasmu. Beri semua kemurnian dari cintamu untuk meluluhkan aku, sentuh kembali nuraniku untuk mendapatkan kepercayaanmu. Tetapi tidak dengan mudah aku mendapatkan rasa bahagia darimu.
            Langkah ini semakin lebar menggapai semua cinta tak pernah usai. Kesunyian malam yang indah, bulan purnama yang terang dan bintang yang berkelipan. Ingat di saat aku bersedih menyesali kesalahan yang kubuat, dia benci tanpa kata-kata hanya inspirasi yang dapat merubah benakku yang lara.
Sekarang aku berbeda dengan hari kemarin, di hari itu aku terluka olehmu dan hari ini aku ingin mengenal dirimu penuh arti, penuh rasa dan penuh makna tanpa ada penyesalan lagi. Hidupku akan tenang bila kau bisa menerimaku apa adanya dan yang terakhir, bolehkah aku mengenal dan menyapamu lagi? NISA…
            Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu lewat pesan singkat yang kubuat ini:
Siapa gerangan dirinya yang menanti jawaban yang tak pasti…?
Bukan hal yang bodoh, sesering kali kusampaikan rasaku pada dirinya
Hanya kita yang belum saatnya untuk bersatu…
Di dada ini ada rasa gemetar
Buahkan tetesan keringat bercucuran darah
Malam yang resah teringat kebaikan Sang Penyair
Dia berjalan menapakkan kaki nya, merangkul senjata tapi bukan untuk berperang
Melainkan untuk membela dirinya”.
                                    ***
Sekarang masa-masa indahku, tapi tak ada yang mampu kuungkapkan kecuali diam. Siapa sangka lelaki sepertiku tak punya kesan cinta yang indah melainkan kisah luka bersamanya. Bagiku bila memang ku harus mencinta, itu hanya dengan Nisa. Tapi bila ku harus tanpanya, aku rela arungi hidup ini tanpa harus mencinta.
            Sekalipun sampai saat ini aku tak pernah menjalin kisah cinta bersama wanita, tapi ku bahagia selalu bisa menanti Nisa.
            Tapi ketika hampa tujuanku, ketika nihil adalah satu-satunya harapan, adalah kukhianati Tuhan dan kucumbu semua kata larangan. Kutulikan telinga, kukosongkan jiwa raga, kini ku berada sendiri di antara puluhan tangis tawa. Aku banyak bicara tanpa jejak bahasa, ku banyak diam pekakkan jiwa. Biarkan hanya sekejap akan kubaptis semua garis batas tipis. Kusumpah semua menjadi sampah agar semua menjadi jelas tanpa batas dan tanpa tilas.
Sampai di saat tanganku terbentang, kepalaku terlentang, mata terpejam, senyum mengembang, tawa terlepas kusadari kini ku menjadi lelaki penyepi. Hidup dalam ruang lingkup mewangian sunyi yang menjadi pilihan atas semua kekecewaan.
Lagi dan lagi siapa bisa sangka, aku kini anak kelas 2 SMA tapi belum juga pernah berkasih dengan wanita. Tapi apalah arti kekasih bagiku, mungkin ini sudah jadi jalan takdirku. Menjadi seorang pemandu sunyi, tidaklah buruk kedengarannya di kedua telingaku.
Rapuh tanganku yang terluka oleh cinta yang tak terjawab, yang membawa malapetaka hingga semangat berjuang pun hilang seketika. Jiwa dalam raga menyesalinya, impas semua perbuatan yang kubuat. Kulitku kering, terik matahari menyengat kepalaku. Tertanam rasa sukar kepadamu (Nisa) kini kau anggap aku gila seakan aku takkan berontak dan inilah aku kini, kuatur hidupku sendiri karena kau telah lukai aku penuh arti.
Mungkin ingin mengenal dekat dirimu sudah basi. Karena sekarang semua nya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur putih yang tak bisa di kembalikan lagi. Dan kalau pun bisa itu semua hanya rekayasa belaka, hanya permainan cintamu yang terlampau gila.
            Kesunyian malam kini meluluhkan hatiku,  jauh sudah perjalananku, lelah hati ini menanti cinta yang tak pasti, kemanakah harus kucari lagi? Cinta dalam dada membuatku lara, rindukan dirimu hanya membuatku ingin menangis.
Kubiarkan hujan badai temani diriku pulang, kubiarkan sengat dingin air menghujam. Dengan bertemankan kertas-kertas putih dan pena kulukiskan kisah kita penuh canda di masa kelam. Sambil bersyair dalam riung pesta, ku sendiri diantara gelak tawa yang bernada di balik dinding yang kugema. Mataku terpejam tak mau, sedangkan anganku berontak tak lesu. Melekat suara pada dinding ruang kamar, berkutik pada riuh, gaduh angin meronta getir ini, mengais lagi bahtera rindu.
Untukmu Nisa kuasah luka, padamu jua kuasuh bahagia. Denganmu Nisa cinta ingin kuakhirkan, kuniscayakan tanpa sebab yang harus di perdebatkan. Hanya padamu Nisa, itu saja.

***

            Sekali lagi, malam berikutnya dan seterusnya malam akan tetap sama. Takkan pernah ada yang berubah, setiap malam kulalui penuh resah, yang dapat terasa hanya kehampaan jiwa. Ragaku terdiam terpaku sementara jiwaku melayang menembus fatamorgana. Kurasa sepi jiwaku, sunyi hatiku, hanya lorong-lorong kosong tak terjamah yang kulewati.
Aku hidup dan menetap dalam dunia maya, kenyataan hidupku terlalu lama kutinggalkan dalam luka. Namun ketidakberdayaan tubuhku takkan bisa membuatku mati semudah itu. Aku telah terbiasa sendiri di ketinggian dunia imajinasi, senyap tak berasa. Kesendirianku kini adalah pemulihan diri bagiku.
Kugapai angin di ketinggian bumi, ragaku berpijak sementara rohku terbang. Nafasku begitu ringan layaknya debu yang bertebaran. Hampa rasa ini kosong, seolah bagian dari jiwaku terpisah dan terbelah, mati beku.
Tuhan…
ampunilah aku
Aku tidak mampu menepati semua janjiku
tapi ku selalu berusaha untuk menjadi manusia tanpa dosa
walau sulit ku rasa, sulit ku coba
Dunia ini penuh kutukan
dari iblis yang menyesatkan
tapi kucoba untuk tak bimbang
dan berlindung pada TUHAN
Terkadang…
Aku merasa kasihan pada diriku yang malang
menjauhi Tuhan dan bertemankan setan
menjauhi pahala dan bertemankan dosa
Aku merasa di sudutkan kenyataan
menghempas diriku dan tak sanggup kulawan
Entah sampai kapan aku dapat bertahan
dari dunia hitam dan mimpi yang kelam?
Acap kali ku berjanji, sering kali ku ingkari
hingga mungkin bila kumati
Hanya bisa menyesali…

            Siapa yang harus ku salahkan? Ayahku pergi dengan sekotak kesibukan hingga luput melupakan kami. Sedangkan Ibuku terlalu manja dengan dunia hingga lupa untuk pamer kasih sayang dan perhatian pada kami. Sementara orang yang kusuka selalu saja membuatku terluka, Nisa… Nisa…
                                    ***
            Sunyi malam yang mencekam menambah heningnya arti malam. Terkenang Sang Kekasih di saat hati bertanya, adakah cinta yang tersisa ataukah terbuang? Haruskah aku mengenangmu atau melupakanmu? Nisa, bila aku bersamamu mungkin cemburu merambat, tapi bila tak ada kamu hati resah tersirat. Sungguh sayang sejuta kata indah kau torehkan, hingga membuatku terluka tanpa alasan.
            Ohh.. kini ku melayang dalam buaian wajahmu, yang membuat debaran dalam hatiku. Sungguh kini ku tenggelam dalam tatapan matamu dan ku impikan semua tentangmu. Kuingat saat ku bersamamu, kugenggam tanganmu dan kutatap matamu tanpa seorang pun mengganggu. Tapi mengapa kau terus menyakitiku? Terkadang kau selalu memelukku sebelum ingin membunuhku.
            Hingga kini ku berdiri di derasnya hujan, di tengah lapang jauh dari keramaian. Sendiriku tak berkawan, renungi hidup penuh penderitaan. Lalu berlariku sekuat aku berlari dan aku tak takut bila harus mati saat ini.
Dan akhirnya ku terjatuh, tubuhku terkapar dan mulutku mengeluh. Rasanya ingin sekali ku habiskan air mata atau teriak sekuat tenaga. Ku paksakan lagi untuk berjalan dan helakan semua kekecewaan. Walau harus sendiri tak berkawan, walau harus kesepian. Sebab aku tak mau berkawan dengan orang yang penuh kepalsuan–biarpun tak ada kenangan yang kudapat bersama kawan dan orang yang kusayang.
            Masih teringat wajah itu, melekat dalam hati dan pekatnya tak kunjung hilang. Padahal aku jatuh cinta padanya saat pandangan pertama dan dialah wanita pertama jua yang kucinta. Paras indahnya selalu membuatku berangan, sungguh manisnya bila dia mau bersanding denganku. Tapi setelah kuhancur kini, tak ada lagi yang tersisa dari sayat-sayatan kisah yang di tinggalkan olehnya.
Teruntuk Nisa, ketika kau baca pesan ini mungkin saja kau menangis. Tapi sayang, seberapa banyak air mata yang akan kau keluarkan nanti pun takkan mampu mengobati luka hati di dalam dadaku ini.
Nisa apa kau ingat? Dulu kita pernah begitu dekat. Sedekat udara yang kita hirup dan sedekat air yang kita teguk. Nisa, dulu kita pernah terbang ke langit. Memetik bintang di malam gelap dan erat tubuhmu kudekap.
Tapi Nisa, kenapa kini kau pergi? Kenapa kau mengepak sayap dan terbang tanpa aku? Padahal kita masing-masing adalah peri kecil bersayap satu, yang hanya bisa terbang  bila kita saling berpelukan. Nisa… sadarkah kau telah tinggalkanku dan sekaligus menghancurkan harapan hidupku, juga mematahkan sayapku.
                                    ***
Dengan desah nafas yang tak beraturan ku berlari ke padang gurun di terik si Raja Siang. Dengan rasa haru nian riang ku berdiri tegak dan ku pandangi semua arah di sekitarku. Ketika ku mulai berlari, ku tersempat jatuh hingga tubuhku terkapar. Kuletakan kedua telingaku silih berganti dan kudengar kali ini tak ada lagi suara, yang ada hanya ratapan angin berdesir di balik pasir.
Dimana sahabat sedihku itu? Mereka seakan-akan tak ingin lagi berbisik lirih di telingaku. Aku tahu anginlah yang membawanya pergi. Sempat sesekali aku mengejar tapi bisikan pasir itu semakin jauh terbang. Setitik pun tak ku dapatkan janji indah yang terlantun dari bisikannya–tak kudengar lagi kata cinta dan sapaan lembut darinya. Semakin ku sadari semuanya terlalu menghening untukku mengerti dan begitu sepinya hatiku kini seperti dulu tanpamu, Nisa.
            Bisikan pasir (Nisa) terbanglah menuju tempat yang lebih baik bersama angin menuju padang yang lebih layak. Tapi aku akan tetap menunggumu disini, sebelum kau kembali mungkin aku takkan beranjak pergi dari tempat ini. Karena ku yakin kau pasti kembali bersama untaian kata indah yang terdendang di kedua telingaku. “Selamat tinggal pasirku… kekasih hatiku… belahan jiwaku… Annisa.. Yuniar Purwana”.
            Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. Nisa.. masih saja cerita tentang dia, masih saja tak henti-hentinya aku akan menulis tentang keindahan parasnya. Dan ingin sekali ku beritahukan pada dunia, betapa hebatnya dia.
            Di malam ini ku sempatkan waktu untuk merenungi kekalahanku. Tapi tak ingin ku sesali ataupun ku tangisi atas semua yang telah terjadi. Karena aku percaya esok  atau pun lusa nanti aku pasti bisa merajai hari. Dan pedihku pasti berlalu seiring berganti dengan senyumanku yang akan ceria selalu.
Dimana hari itu takkan ada luka ataupun kecewa dan semua yang ku inginkan pasti ku dapatkan. Ketika ku pejamkan mata seraya menghela nafas terasa ada yang hilang dari sebagian bebanku. Ku pandangi bintang yang tenang dan ku biarkan tubuhku terbuai angin malam.
            Ku lewatkan hari mengikis waktu, masih kucoba untuk selami hati yang rindu. Yang ku rasakan, yang tak kau tahu dan bersabda sekat rasa yang terluka.
Aku berjalan kaku di dalam kegelapan, seperti kap suci yang membelakangi kenyataan. Masih kucoba mencari jawaban yang tertunda dari hati yang selalu bertanya. Apakah Nisa pernah benar-benar mencintaiku? Aku menyisakan tangis untukmu, mungkin kau tak ingin tahu itu! Kau hanya beri aku senyuman sebagai tanda jawaban yang membuat aku merebak dan terkulai merangkak.
                                    ***
            Aku tak pernah mengerti apa arti cinta? Apakah ada cinta yang tak melahirkan luka? Padahal aku begitu sangat menyanjung cinta bahkan setiap puisi yang kutulis selalu tentang cinta dan setiap lagu yang kucipta pasti tentang cinta. Tetapi setiap aku ingin memiliki cinta, tak pernah satu pun terwujud nyata.
Aku tak pernah tahu apa mau dia (Nisa)? Duduk seenaknya di singgasana istana bagai puteri raja yang membuat sayembara cinta. Dengan lancang dia pilih satu pria layaknya benda yang tak berharga di antara seribu pria yang hadir untuk menjajakan cinta. Hey ini aku…! Siapa yang menginginkanku karena aku pria yang malang, aku tidak punya kebanggaan untuk ku tunjukkan pada perempuan yang kusayang.
            Masih tak habis pikir, mengapa Nisa tak pernah mau mengerti perasaanku? Padahal aku sudah menunggunya selama dua ribu malam, menunggunya tanpa jenuh dan tanpa bosan. Apa maknanya senyumku jika kau masih tak mengerti? Apa gunanya lambaian tanganku jika belum tentu kau pahami?
Percuma Nis, aku lelah kini. Aku merasa, aku dan cintaku tak lebih hina dari batu yang dungu. Maka setiap tetes demi tetes dari darah pengharapanku adalah kelabu. Bila memang aku orang gila, mengapa tak lempar saja aku dengan batu atau cacilah aku dengan kata-kata kasarmu. Dan teruntuk si Pematah Hati, mengapa tak berlari saja melihatku. Atau teriaklah dan teriaklah seakan kau bertemu hantu yang menakutimu.
Pintalan benang laba-laba hitam, teranyam pekat di atas atap rumah yang tak bertuan. Mengapa tak kau sembunyi saja di balik bayangan? Atau menangislah dan menangislah karena takut melihatku. Hey si Pencuri Hati, ada seekor lebah yang kehilangan arah dan akhirnya terperangkap dalam pintalan benang yang kau buat. Kini dia terjaring bersama harapan semu dan mati tanpa cinta yang tersisa di hatinya, dan seekor lebah itu adalah AKU.
                                    ***
Ya ampun… malam ini tak seperti biasanya. Entah kenapa ketika aku kembali mengingat wajahnya, ada debaran kencang yang terasa di dalam dada. Begitu bergetarnya pula tanganku di saat aku kembali menulis tentang Nisa.
Tangan ini mungkin saja telah terlarut membencinya hingga aku lancang telah berani mencacinya. Tapi tidak untuk hatiku, sepertinya hati teramat sangat mendambakan kehadirannya saat ini.
Tapi sudahlah, biarkan saja malam ini berlalu menghening dan aku yakin sanggup lalui tanpa harus kembali mengenangnya.
            Tapi dalam waktu hitungan menit saja semua cerita berbalik 380 derajat. Tak kusangka secepat itu dia mendengar nyanyian rinduku. Saat kudengar suara telepon rumahku berdering, tanganku langsung seperti magnet yang menarik paksa diriku untuk segera mengangkat telepon.
Sudah kuduga ternyata separuh hatiku (Nisa) ada di belakang suara yang terdengar di balik telepon itu. Ku masih tak tersadar ketika dia sebutkan namanya dan bertanya kabar. Gerangan orang yang selama ini menghilang bahkan tega kembali menanyakan kabar lukaku yang tak sempat dia obati dahulu. Masih saja ingin ku tanyakan, aku tak pernah mengerti apa yang di pikirkan Nisa dan apa yang ada di hati dia?
            Aku masih ingat saat itu, terakhir kali aku bertemu dia di pesta perpisahan SMPku 2 tahun lalu. Saat itu aku bernyanyi dengan Group Bandku untuk dia, berharap dia dapat mendengarkan setiap bait dan kata yang terkandung dalam lagu yang ku dendangkan.
Di kala aku bernyanyi, hati dan tubuhku bergetar. Begitu sangat ku resapi lagu ciptaanku itu seakan aku ingin mengucapkan betapa enggannya aku meninggalkan dirinya.
            Tapi saat ini dia berani datang lagi dalam hidupku, mengisi ruang hati yang telah lama ku kosongkan. Aku tak menyangka secepat ini aku kembali mengharapkannya.
Ketika dia ingin menutup telepon dan menyudahi pembicaraan seakan aku kehilangan benda yang sangat berharga hingga terucap dengan gesa ku janjikan akan menghubunginya lain waktu.
Ohh betapa bodohnya aku, padahal belum beberapa jam yang lalu aku mencacinya di tulisanku tapi sekarang seakan aku mengharap dia tetap singgah dalam lubuk hatiku. Sepenggal hatiku memang sudah dia kuasai sejak dulu hingga ketidakberdayaanku selalu takut akan kehilangan gelak tawanya.


  Please open to:




1 komentar:

  1. Wajib baca ceritanya girls,
    Kata-kata romantisnya udah gak ada di zaman skrg...

    BalasHapus

anudatar.blogspot.com kekasih terakhir 2 eps 4 : indekost

Kekasih Terakhir 3 Eps 10: Wasiat Sang Penyair

  Wasiat Sang Penyair                CATATAN AKHIR   TAHUN 2006                                                                   SURAT ...