Jumat, 05 Mei 2017

Kekasih Terakhir Eps 1 : Cinta Pertama



CINTA PERTAMA



Ketika aku sudah mulai tumbuh dewasa, terasa ada sesuatu yang berbeda dalam jiwa. Aku laksana tuan burung camar yang terbang bebas di udara, di tepian samudera kuberjelaga dengan mengagungkan keindahan cinta. Kadang kala aku pun bertengger di sebuah dermaga untuk melepas lelah dan gundah.
Hey… coba kalian lihat itu di depan sana, ada lembayung jingga yang menutupi senja dan warna kelam perlahan mulai rajai dunia.
Saatnya binar mata memadamkan bara ketika manusia tak mampu lagi berkata-kata. Tak lama itu aku lihat Sang Penyair turun dari langit dan menebar serbuk mimpi di atap bumi.
Lalu sejenak dia bersabda: “Damailah manusia dalam cinta bagai bunga sakura yang bisa redupkan angkara. Daunnya berguguran penuh dengan makna hingga dapat membuat hidup terasa lebih berwarna. Tidak luput pula aku hiasi malammu dengan cahaya bulan dan beribu bintang agar ketika kau berjalan dalam kegelapan tak hilang arah dan tujuan. Sebab itu jangan pernah kau merasa bimbang dan tidurlah yang tenang. Karena langkahmu masihlah panjang–membentang dan masih banyak rintangan harus kau hadang.”
Tidak terasa pagi pun datang dan sinar mentari perlahan mulai terang. Butir-butir embun menguap dan hawa seketika menjadi hangat. Burung-burung bernyanyi tanda setia pada pagi, mencengkram kayu lalu terbang bebas dari satu pohon ke pohon lain untuk menjalani kehidupannya.
Sungguh melankolis alur cerita mereka, walau tahu usia takkan lama tapi masih tetap mampu ceria. Selalu berkicau dan bercanda tiap pagi seakan tiada resah dan juga gelisah menyelimuti diri.
Di sisi lain jejak-jejak makhluk penghuni bumi mulai berkembang dan sudah siap untuk digerakkan, membuatku ikut terbangun dari dunia khayalan dan tidur yang panjang.

***

Selamat pagi duniaku… hari ini tanggal 17 Juli 2000; hari pertama aku masuk sekolah di satu SMP Negeri di kota Cianjur, Jawa Barat. Namaku Angga, lebih lengkapnya Angga Ginanjar Nudatar. Usiaku 12 tahun dan aku lahir pada tanggal 30 Mei 1988. Aku tinggal di sebuah desa bernama Limbangansari.
Subuh ini pukul 04.30, sambil tersenyum aku siap berangkat menuju sekolah pakai aksesoris bak badut untuk menjalani Masa Orientasi Siswa (MOS). Tak lupa juga aku berpamitan kepada ibuku dengan cara mencium lengannya terlebih dahulu.
Sesampainya aku masuk kendaraan umum, aku merasa takut akan muntah karena aku belum terbiasa bepergian jauh. Jujur saja, ini pertama kali aku naik mobil angkutan kota tak ditemani siapa pun. Apalagi tujuannya itu ke pusat kota dan aku sangat jarang sekali pergi ke sana. Maklum, aku tinggal di sebuah kampung yang lumayan jauh dari kota. Jadilah sifat norakku masih melekat di dalam jiwa dan aku belum bisa menghilangkannya.
Tapi seiring waktu yang berlalu, kini aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku. Ternyata aku pun baru sadar bahwa dunia ini amat sangat luas. Banyak sekali wajah datang dan pergi sekilas saling berganti dan bahkan ada pula wajah cantik singgah di hati.
Pada hari Rabu 19 Juli 2000 jam 12.30 siang–hari terakhir aku mengikuti MOS. Aku tidak sengaja melihat dirinya di lapang basket, seorang perempuan yang cantik jelita dan aku langsung terpesona pada pandangan pertama:
“Coba kalian lihat dan perhatikanlah cara dia berjalan; ohhh sungguh gemulai bentuk tubuhnya, anggun gerak langkahnya, elok parasnya dan manis senyumnya. Apalagi saat ia memandangku, matanya bagai damak yang menusuk jantunghatiku–oohhh… sungguh aku tergoda untuk mengenal dia lebih jauh. Awal aku berjumpa dengan dia, kuyakin dialah cinta pertamaku dan aku pun langsung terpikat padanya. Wajahnya bersinar bagai bulan purnama menerangi alam, rambutnya yang ikal sebahu terjamah angin dan biarkan menari seperti gelombang menggulung karang. Sehingga ketidakwarasan datang, aku mulai merasakan khayalan hangatnya hawa perempuan.”
Ketika aku bertanya kepada seorang temanku, katanya perempuan cantik itu bernama Anisa, atau lengkapnya Anisa Yuniar Purwana dan lebih sering dipanggil Nisa oleh teman dekatnya.
Sejak itu, hari-hari kian berlalu seiring dengan bertambahnya perasaan rinduku. Kini aku tahu betul siapa dia dari mulai keluarganya, nomor teleponnya, alamat rumahnya, masa lalunya waktu di TK & SD. Pokoknya semua cerita tentangnya sudah tersimpan dalam otakku setelah kucari tahu lewat temannya.
Sampai di saat ini aku pun terus mengintainya, mengawasi keindahannya dari jarak yang jauh. Dan terkadang aku selalu menanyakan tentang dia kepada sahabat saat SD-ku (bernama Romi) yang kebetulan satu kelas dengannya sekarang.
Walau aku sadar dia tidak mengenalku, apalagi sempat berbicara denganku. Mungkin dia tak pernah tahu bahwa akulah yang selalu mengirimkan sebuah puisi, sekuntum bunga mawar serta lagu cinta yang kubuat untuknya di atas meja belajarnya. Dan akulah orang yang selalu membanggakan namanya di mana pun aku berada.
Kadang ketika dia berada dekat di sisiku, ingin sekali kupeluk erat tubuhnya, kubelai rambutnya dan berbisik “Aku cinta kamu”. Kadang juga ketika dia mulai menjauh dariku ingin sekali aku ikuti ke mana pun langkahnya, kukejar larinya itu sambil berteriak “Aku rindu kamu”.
Ahh… tapi aku ini hanyalah seorang pembual, aku bahkan tak berani hampiri meski dia kini sedang menyendiri. Kadang aku tak mengerti entah sampai kapan aku begini? Selalu membodohi diriku sendiri bahkan selalu membohongi perasaan di hatiku ini.
Di setiap sudut-sudut sekolah aku mendengar senandung lirih namanya, semua pria di sana sering membicarakannya bahkan selalu memuja kecantikan wajahnya. Mungkin dia tak pernah mengerti bahwa dengan mudahnya dia dicintai oleh setiap lelaki. Dan mungkin dia juga tak pernah sadari bahwa dengan gampangnya dia dikagumi semua orang di dekatnya.
Lalu apalah arti diriku ini, aku tidak lebih dari seorang pengkhayal yang ingin disayangi oleh sang puteri. Tapi aku tak ingin menyerah sedikit pun pada keadaan busuk ini. Setidaknya aku telah menetapkan hatiku hanya untuknya.
Suatu hari, aku tahu kalau dia hobi sekali main basket maka aku pun mengikuti ekstrakulikuler yang sama dengan dia. Sejenak aku pun merenung, andai aku jadi pemain basket terbaik di sekolahku, apakah dia akan jatuh cinta padaku? Ahh… terlalu bodoh untuk diriku jika aku berpikiran secepat itu. Namun apa daya aku harus mencoba, setidaknya aku sudah berusaha untuk memikat hatinya.
Hari demi hari pun aku jalani selalu berada di dekatnya tapi tak pernah bibir ini berani bicara dan menyapanya. Ku tak pernah jenuh untuk mengambil perhatiannya meski terkadang aku jadi salah tingkah apabila berada di hadapannya.
Aku memang tak pandai dalam bermain basket malah aku baru tahu bahwa ada permainan semacam itu. Tapi demi cinta, aku ingin belajar jadi hebat agar dapat membuat dia bangga. Sungguh mati, apa pun akan aku lakukan asal bisa tetap berada di dekatnya, pandangi senyum manis dan tingkah lakunya.

*** 
Akhirnya yang aku nantikan datang juga, yaitu sebuah event olahraga basket acara tahunan “X-One” pertandingan basket antar SMP dan SMA telah tiba. Pada tanggal 26 Agustus 2000 di satu Wismakarya di pusat kota.
Namun sedikit aku sesalkan, pertandingan ini hanya untuk kelas 2 dan 3. Jadi aku yang masih anak kelas 1 SMP ini, hanya bisa diam menonton mereka saja. Tetapi walau pun begitu ada hikmahnya juga bagiku karena di sana aku lihat Nisa memakai baju biru muda dan celana panjang jeansnya–dia nampak terlihat lebih dewasa. Tak jemu-jemu aku pandangi wajahnya yang indah bak lembayung senja dan bibir merahnya yang mungil itu bagai semanis madu–ohh sungguh lucunya pemilik senyuman itu.
Yaa ampun… tiba-tiba dia mulai mendekat ke arah tempat aku duduk. Dan dengan diiringi teman-temannya itu dia seperti halnya ratu yang dikelilingi dayang istana. Tanpa kusadari dengan sekejap mata dia berada di depanku. Ohh… betapa dia buat hatiku galau dan seketika detak jantungku pun jadi kacau. Kian lama tubuhku semakin panas, perlahan keringat bercucuran dan duduk pun menjadi tak tenang.
Lalu ucapku dalam hati, “Ohhh… ternyata dia mengenal orang yang sedang duduk di depanku.”
Kemudian mereka pun saling mengomentari alur jalannya pertandingan, juga bicara tentang siapa yang akan menjadi pemenang? Pantas terlihat akrab, mungkin karena rupanya mereka adalah teman satu kelas. Mereka dengan begitu asyiknya tertawa-tawa mengomentari sementara aku hampir setengah mati duduk sendiri di sini.
Aku malu, aku ragu, aku ingin sekali menyapa kamu Nisa, tapi apa kamu mengenal aku?” tanyaku dalam hati.
Sudahlah, sebaiknya aku pendam saja khayalan ini dalam-dalam dan mulai lagi meratapi rasa pedih penyesalan. Sepertinya aku ini bagaikan batu dungu yang tak berarti di hadapanmu hingga wajar saja kau tak pernah menganggapku ada. Tapi bagaimana pun juga, aku harus tekankan sekali lagi:
Suatu saat nanti aku yakin kau akan mengerti bahwa akulah sosok sang pangeran yang selama ini kau cari. Dan suatu saat nanti kau akan menyadari, bahwa akulah yang pantas untuk kau cintai. Kita nantikan saja hari itu, hari di mana ketika kau akan bertekuk lutut di hatiku,” dengan bicara seperti itu, kumerasa terhibur dari dunia yang jauh mengabur.
Senja mulailah tiba, pertandingan pun akhirnya usai juga. Masih sama seperti tahun-tahun belakang–sekolahku yang telah dinobatkan sebagai pemenang. Sebagian penonton pulang dengan hati yang riang dan sebagian lain bersorak-sorai menyambut senang para pemain yang dibanggakan.
Aku lihat Nisa di depanku sedang tersenyum kepada pemain basket (bernama kak Bangkit) yang dikaguminya. Sempat aku berpikir: “Andai saja aku menjadi lelaki sehebat dia mungkin Nisa pun akan tersenyum manja padaku jua.
Tak lama kemudian di sekitar ruang terdengar nampak tenang. Kini semua orang berlalu tinggalkan tempat pertandingan. Rasanya ada penyesalan di hati saat Nisa meninggalkanku sendiri tanpa perpisahan, lambaian tangan atau pun ucapkan pesan sebagai tanda sayang: “Ohh… sungguh tak berharganya aku di matahatinya,” ucapku seraya pergi.
Akhir-akhir ini aku memiliki kebiasaan buruk, mungkinkah itu ciri sebuah prilaku pria yang sedang dilanda asmara? Di setiap malam kujelang, berdiriku di ketinggian di atas beranda rumah–aku menyepi  dalam kegelapan.
Di sinilah aku selalu diam merenung pandangi langit dalam perasaan yang mendalam. Bertemankan bintang-bintang, kukenang wajah indah yang makin tenggelam larut dalam angan dan khayalan. Kucoba lukiskan raut wajahnya di atas awan kelam dengan bantuan cahaya terang dari rembulan.
“Dia begitu nampak syahda nan anggun, elok parasnya laksana mandudari bernyanyi dan pekat senyumnya bagaikan pisau belati menusuk ulu hati. Kadang ketika bibirku ini tak mampu lagi mengucap kata, indah bayangnya berkisai mengusik mimpi dan kadang juga ketika binar mataku ini mulai terbuka, sabda namanya desahku pertama kali. Nisa… Nisa, dialah segalanya… bagiku.
Tak terasa malam makin larut dan aku semakin hanyut dalam perasaan yang kalut. Hingga saat jam dinding melaju berdenting detik demi detik menyita tidurku waktu memikirkan dirimu.
Sampai akhirnya pagi hari pun mulai datang, cahaya hangat terasa membakar badan. Tak tersadar, jam backer yang biasanya berdering diangka 5 sekali ini tidak bunyi dan ternyata baterainya mati. Karena malam tadi aku begadang, jadi pagi ini pun kelopak mataku enggan untuk terbuka.
Tapi berhubung kumasih siswa kelas 1 jadi aku masuk sekolah dibagian siang. (Kapasitas sekolahku tidak mencukupi untuk menampung siswa-siswi dari kelas 1 sampai 3 karena sekolah sedang dalam masa renovasi. Jadi Pihak Sekolah menetapkan pada siswa kelas 1 untuk masuk sekolah siang hari pukul 13.00 dan pulang jam 5 sore).
Selang beberapa jam kepalaku mulai pusing, rupanya tidur terlalu banyak pun membuatku merasa tidak nyaman. Akhirnya sekitar jam 8 pagi aku pun terbangun dan hendak mengerjakan suatu kegiatan yang seharusnya memang kukerjakan. Di sekeliling ruangan rumah nampak begitu sunyi dan ternyata aku temukan kertas menempel di pintu kamar yang mengatakan bahwa: “Ayah dan Ibu pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Nenek sedang sakit.
Aku tak mempermasalahkan mereka pergi, tapi yang kupermasalahkan saat ini yaitu sekitar ruangan nampak berantakan tak karuan. Entah awalnya dari mana sepertinya saat ini semangat kerjaku membara dan niatku membersihkan ruangan dan kamar makin nyata.
Seraya menyetel tave recorder tua keras-keras dengan lagu kesukaanku maka kumulai bekerja. Dari mulai cuci piring, menyapu, ngepel, membereskan majalah dan barang yang berantakan sampai dengan dekorasi ulang kamar yang sudah membosankan.
Akhirnya semua pekerjaan selesai juga dalam kurun waktu 2 jam dan lebih 30 menit saja. Sambil tersenyum kagum melihat semuanya sudah rapi, aku pun bersandar istirahat di kursi ditemani beberapa macam makanan ringan dan buku bacaan. Mungkin karena kecapean, sendi tulang punggungku nampak remuk kesakitan.
Perlahan demi perlahan ketika suasana mulai terasa nyaman aku tersesat di dalam buaian khayalan dan angan yang menyenangkan. Aku buka lembaran alam imajinasiku dan mulailah terseret jauh di dalam dunia maya.
Di sana aku sedang bermimpi “nembak” atau mengatakan cinta pada Nisa di sebuah taman yang indah dan penuh dengan hiasan bunga. Beribu-ribu kata mutiara cinta serta jurus-jurus ampuh seketika aku keluarkan untuk memikat hatinya.
Sampai-sampai aku bersujud di bawah kakinya dan mengemis agar dia mau menerima cintaku ini. Dengan tak lupa juga aku siapkan sekuntum mawar merah untuk kupersembahkan padanya. Namun sial mimpi indahku berubah menjadi suram di saat Nisa ayunkan tangannya ke arah pipi kiri dan kananku. Seraya mengeluarkan kata-kata kasar, hinaan bahkan makian yang bertubi-tubi menusuk ke jantunghatiku.
Seiring dengan adanya itu, tiba-tiba ada suara “Gedebrukk!” terdengar tubuhku yang jatuh terkapar ke bawah lantai dan berhasil membangunkanku dari mimpi buruk.
“Aduuuh!” sambil nahan rasa sakit di pinggang aku bicara sendiri.
“Tadi itu mimpi bukan ya, kok seram banget sih Nisa nolak cintaku, iihh jangan sampai deh.”
Tapi setelah aku cubit pipiku barulah  kusadar bahwa tadi itu hanyalah sebuah mimpi buruk yang kualami.
“Aduh sial kalau begini aku bisa telat pergi ke sekolah nih.” kalimat itu terlontar dari mulutku ketika aku lihat jam dinding ruang tamu menujukkan pukul 12.40 WIB.
Sambil tergesa-gesa aku pun langsung berlari membawa handuk dan menuju kamar mandi. Aku kosongkan pikiran dan mencoba tak peduli dengan apapun yang akan terjadi, yang ada di benakku saat ini hanyalah berpikir bagaimana cara supaya kubisa berangkat sekolah dengan cepat?
Tapi ada saja hal yang menjegal waktu ketika aku mandi ternyata sabun, pasta gigi dan shampoo sudah abis. Ya, terpaksa aku mandi dengan seadanya saja tanpa berlama-lama.
Dua menit berlalu pas aku selesai mandi dan hendak memakai baju seragam sekolah tapi:
“Aduhhh, mati aku!” karena terlalu sibuknya kemarin melihat pertandingan basket, aku jadi lupa cuci pakaian seragam sekolah di hari minggu. Tapi biarlah terasa bau dan kotor aku harus memakainya juga karena ini adalah seragam satu-satunya yang kusuka.
“I Hate Monday…!” teriakku dengan lantang sambil cari kaos kaki yang tak dapat aku temukan. Kesana-kemari, mondar-mandir tapi masih tidak ada hasil. Akhirnya kupakai juga kaos kaki yang sejak dari satu minggu lalu belum kucuci itu.
Waktu kini menujukkan jam 13.10 WIB tapi tak menggetarkan aku untuk sarapan terlebih dahulu. Aku berjalan menuju ke arah meja makan dengan tujuan mengenyangkan badan akan tetapi ternyata malangnya di balik tirai penghalang yang terhampar hanya nasi keras bekas kemarin malam.
Beribu kata binatang aku lontarkan atas dasar kekesalan: “Ohh… akankah nasib sial selalu datang kepada diriku yang selalu ingin senang?” puitisku dalam hati.
Dengan perasaan beraduk bimbang kuberlari kencang untuk meluapkan kemarahan.
Rumah aku kunci rapat dan kuncinya telah kusimpan dengan cermat di bawah pot bunga tempat kami biasa menyembunyikan saat mau bepergian.
Waktu kini semakin mengejarku tapi aku tak peduli–aku terus berlari ke arah depan jalan untuk menunggu kendaraan umum yang menuju sekolah. Berhubung aku tinggal di desa yang agak terpencil maka jika siang hari biasanya kendaraan umum pun akan lama datangnya.
Sudah 10 menit aku berdiri di sini tapi tidak ada juga kendaraan kosong yang bisa aku tumpangi. Karena semua selalu penuh dengan penumpang dan bahkan barang bawaan. Tapi akhirnya rentang waktu ke-15 menit setelah lama kumenunggu–ada juga kini kendaraan umum yang kosong.
Tapi tidak lama kemudian pun: “Ternyata di tengah perjalanan mobil mogok akibat turun mesin. Maklum yang aku tumpangi itu sebuah kendaraan umum tahun 80-an yang tampak sudah tua.”
Tapi untungnya saja sekolahku hanya tinggal berjarak 300 meter lagi dari sini jadi tanpa berpikir panjang setelah kubayar ongkos–aku bergegas pergi menuju arah sekolah.
Lihatlah aku, aku berlari melebihi kecepatan angin dan aku berlari bagai seorang tentara yang tak takut mati. Juga aku berlari tak peduli jika aku harus ditertawai. Sesekali aku lihat jam di tanganku, jarum jam kini ada di titik 1.40. Aku pun kian menambah lagi kecepatanku berlari.
Seiring aku lihat awan hitam semakin kelam dan mendung perlahan datang, gerimis mengundang untuk siap kujelang. Kurasakan semesta alam bagai ikut meratapi semua penderitaan yang sedang aku alami ini. Mungkin mereka juga ingin menangisi nasibku, hingga habis langkahku ke-280 menginjak bumi turunlah hujan deras serta angin kencang yang menggelegar mengelilingi pelarianku. Tapi aku tidak sedikit pun gentar dan mengalah, dengan tak pantang menyerah aku hadapi semua cobaan dengan gagah.
Akhirnya aku telah tiba di sekolah walau rasa gundah dan gelisah menyudutkan tapi aku tetap tak ingin menyerah karena aku tak ingin mengalah. Aku memasuki gerbang dan berjalan di tengah ruangan kelas-kelas, semua mata memandang ke arahku di balik kaca jendela. Sepertinya mereka ingin coba untuk bicara tentang betapa kasihannya aku berada di bawah hujan yang mengguyur seluruh badan. Tapi kutekankan sekali lagi bahwa aku lebih tidak peduli jika harus ditertawai.
Hey tunggu dulu! “Coba kalian lihat di sana, di depan sebuah pintu kelas 1 D aku melihat sosok perempuan cantik nan rupawan menatap aku penuh pesona.”
Apa kalian tahu siapakah gerangan dia? Ya, dia adalah belahan jiwaku, cinta pertamaku dan juga kekasih di dalam hatiku (Anisa Yuniar Purwana). Ketika aku coba membaca gerak tubuhnya dan sorot matanya yang tandakan rasa iba–aku pun bahagia. Terlebih lagi saat dia coba memberikan senyumnya yang aduhai manja untuk diriku. Ooh… aku serasa ingin terbang jauh tinggi menyentuh langit. Ternyata hikmah termanis yang aku dapat di atas penderitaan-penderitaan yang tersirat. Rasa-rasanya, biarlah tiap hari nasib sial menimpaku asal semua itu berbuah hikmah paling indah–yang dapat membuat semangat hidupku membara, berkobar-kobar selayaknya api yang panasnya dapat membakar.
Tak lama setelah itu, akhirnya aku tiba juga di meja piket. (Tempat Guru yang bertugas untuk memberi izin masuk kelas karena siswa terlambat atau izin pulang ke rumah karena siswa sedang sakit).
Dengan napasku yang tak beraturan karena lelah berlari di bawah air hujan–kukeluarkan berjuta jurus alasan. Kukatakan semua yang menimpaku di hari ini agar ia merasa iba dengan hidupku yang penuh derita.
Tapi aku tak habis pikir dia malah marah padaku, menegurku dan bahkan menasihati dengan nada suara yang menggugat lantang. Sungguh dia tidak sedikitpun hargai usahaku, dia tak tahu betapa besar pengorbananku dari rumah menuju ke sekolah. Mungkin yang dia tahu hanya bahwa aku sudah telat 60 menit dari mulai bel berbunyi.
Akhirnya setelah dia puas memakiku timbul jugalah jiwa keibuannya. Dengan lembut dia tak beri izin kumengikuti pelajaran tapi malah menganjurkan untuk pergi ke perpustakaan. Aku cukup mengerti apa maksudnya itu, tak mungkin dengan baju basah kuyup seperti ini aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran maka secepatnya aku pun berjalan menuju perpustakaan.
Dengan langkah kakiku yang gontai kudekap bahuku karena sudah tak tahan dari rasa dinginnya air hujan. Bagiku perpustakaan ini terasa tak begitu asing lagi karena setiap hari jam istirahat aku selalu berada disini untuk membaca buku fiksi. Ditambah lagi dengan penjaganya pun aku sangat dekat bahkan akrab. Malah aku dan dia punya satu hobi yang sama yaitu membaca buku karyasastra, tak jarangnya kami pun selalu bertukar pikiran dan bertukar pendapat.
“Beruntung buku pelajaranku tak kehujanan soalnya tadi sewaktu berlari tasnya aku peluk sambil membungkukkan punduk. Jadi air hujan tak sempat masuk ke dalam tasku,” ucapku pada pak nardiman (penjaga ruang perpustakaan) di kala kami sedang berbincang-bincang.
Dengan secangkir teh hangat dan sepotong roti, kita menikmati dinginnya cuaca  hari ini sambil duduk di sebuah kursi. Dia sangat baik sekali padaku bahkan saat seragamku sedang dikeringkan pun dia pinjamkan baju hangatnya untuk dipakai.
Kesibukan merapikan baju basah kini sudah selesai dan sekarang waktunya untuk lahap santapan yang sudah disediakan pak nardiman.
Tidak lama kemudian pun bel pelajaran pertama sudah berdering yang menandakan bahwa akan ganti pelajaran kedua, aku segera bergegas untuk pergi ke kelas.
Dengan tergesa-gesa kuberlari tanpa melihat arah jalan dan kemudian akhirnya, ohh tidaaak…!!! Tiba-tiba aku menabrak perempuan sebaya di balik pintu perpustakaan.
Aku pun sangat terkejut, aku pikir dia siapa? Ternyata… Nisa, yaa ampun hawa panas itu seketika membakar tubuhku, dan keringat dingin pula terasa bercucuran tanpa aku bisa sadari. Begitu pun dengan jantungku, berdebar dengan kencang sehingga napas menjadi tak beraturan. Bibirku saat ini bak terkunci, tak ada kata yang sanggup kuungkapkan kecuali kata maaf yang gelagapan.
Buku-buku “paket” yang dibawa oleh Nisa terjatuh berserakkan di mana-mana:
“Oh ternyata dia mau mengembalikan buku-buku itu,” ucapku dalam hati.
Aku pun jadi salah tingkah, entah apa yang harusnya kukatakan lagi? Padahal berulang kali aku minta maaf tapi dia hanya berikan senyuman sebagai tanda jawaban dan makin membuatku seperti lelaki bodoh di depannya.
Di saat menegangkan kami berdua rapikan buku yang tercecer dan mata kita saling pandang. Di sana awal kita bercengkrama, dengan memberanikan diri ulurkan tangan–kuajak dia berkenalan.
Apa kalian tahu? “ternyata sebenarnya dia sudah tahu namaku dari dulu.”
Alasannya sih… katanya ada teman dia yang naksir aku dan temannya itu sering curhat sama dia tentang aku. Tapi aku tak begitu peduli ucapannya itu, yang pasti perasaanku kini sangat senang, serasa ingin terbang melayang jauh di atas awan.
Mentari mulai bersinar kembali beserta langit mendung perlahan mulai pergi. Derasnya air hujan seakan jadi saksi bisu awal kita bertemu, berbicara, penuh senda gurau, canda dan tawa.

***

Ini semua bukan akhir dari segala kisahku dengannya justru ini semua adalah awal cerita aku dan dia. Lewat tulisan suci ini aku akan abadikan hari-hariku bersamanya di dalam satu buku berjudul “Kekasih Terakhir?”.
Semoga dengan adanya semua ini dia dapat percaya bahwa diriku sangat tulus menyayanginya. Bahkan aku sudah berjanji tak akan pernah berhenti menunggunya sampai dia mengakui bahwa akulah yang pantas untuk dia cintai.
Karena dia adalah cinta pertamaku dan juga aku percaya bahwa dialah belahan jiwa diriku yang terpisah… Kekasih Terakhirku....
            Hari demi hari terus berganti tanpa kusadari kami pun semakin dekat dan selalu saling berbagi. Awalnya aku menelepon ke rumahnya dengan alasan ingin mengajaknya berteman dan sesekali aku juga menanyakan tentang ekskul basket. Tapi dia selalu saja bicara yang sama bahwa sahabatnya menyukai aku dan kadang malah bercerita tentang kepribadian orang itu. Tapi aku tak peduli sedikit pun, karena yang aku cintai hanya Nisa dan aku rela berkorban demi dia.
Sudah banyak sekali cerita indah kita lewati meski sampai saat ini belum juga aku temukan celah hati untuk bisa kusinggahi.
            Kadang ketika malam hari datang, aku selalu berdiri di ketinggian rumahku dan menatap bintang. Tak jarang aku bicara pada bintang dan angin malam tentang rasa cinta yang semakin mendalam.
Sempat juga aku pertanyakan kepada sang merah rembulan:
Kapankah aku dapat mengimbanginya dan bisakah aku menaklukan hidupnya?
Sedangkan kutahu senyumannya itulah yang selalu mengusik tidurku, juga tatapan matanya itulah yang membunuh suaraku saat aku ingin ungkapkan cintaku kepadanya.
Selain Tuhan, tak ada yang kutakuti di dunia ini kecuali mengatakan perasaan cintaku pada Nisa. Malah banyak orang bilang kalau aku adalah jagoan tapi kalau masalah perempuan–jujur saja aku adalah pecundang. Aku baru sadar bahwa ternyata cintalah yang bisa mengalahkan egoku dan melembutkan hati perasaanku. 
* * *   
Akhirnya di hari yang paling bahagia bagiku telah tiba. Hari ini adalah hari Sabtu, tanggal 02 September tahun 2000: Sekolah akan melaksanakan acara pelantikan anggota baru semua bidang ekskul. Tempatnya di hutan alami yang sudah dirombak dan dijadikan tempat berkemah dan rekreasi yang diberi nama Taman Cibodas-Cipanas, Cianjur-Jawa Barat.
Semua ekstrakulikuler akan berangkat pada hari ini jam 14.00 siang. Rencananya kami akan berkemah 3 hari 2 malam dalam rangka mengikuti penataran fisik dan mental agar kami dapat lebih mandiri dalam menghadapi tantangan kehidupan ini.
Dan yang paling membuatku merasa senang adalah aku mengikuti ekskul basketball sama seperti Nisa. Jadi artinya selama di perkemahan aku pasti akan selalu berada di dekatnya seperti apa yang kita janjikan sebelumnya.
Waktu berdetak di angka 2 itu tandanya kami siap berangkat, sebelumnya bus umum sewaan pun sudah menunggu di depan pintu gerbang sekolah.
            Selama di perjalanan jantung kian berdebar kencang, khayalan pun terus-menerus memaksaku untuk mengenang bayangannya.
Akhirnya sesampainya aku di tempat tujuan, semua kelompok segera mendirikan tenda tetapi ada sebagian juga yang cari bahan bakar untuk acara api unggun nanti malam.
Sore hari, aku dan Nisa memisahkan diri dari teman-teman yang lain dan pergi jalan-jalan sambil melihat pemandangan alam. Haru nan riang, yang kunantikan akhirnya datang saat Nisa menggenggam tanganku dan tersenyum senang. Sepanjang sore itu kami putari hutan, bermain di sungai dan dia berlari manja aku mengejarnya. Sungguh menyenangkan.

            Di saat malam menjelang, acara api unggun mulai dilaksanakan. Kala ini Nisa ada di sampingku dan kami bernyanyi di hadapan api yang membara. Kuberanikan diri menggenggam erat jemarinya lalu dia pun tersenyum tersipu malu. Dan kami masih tertawa gembira diiringi nada-nada merdu dari suara indah petikan melodi gitar.
Tak pernah seumur hidup kumerasakan hawa sehangat ini, berada di dekat orang yang selama ini aku sayang adalah hal yang menyenangkan. Entah kenapa aku tak pernah merasa jemu jika memandang indah matanya, bibirnya dan juga wajahnya?
Dia seperti rembulan yang menerangi gelap malamku, menenteramkan hatiku dan mendamaikan tidurku. Dia juga tak jauh beda dengan matahari pagi yang selalu melindungi senyumku, meredam egoku dan menenangkan amarahku. Andai waktu dapat aku hentikan, mungkin selamanya aku ingin terus begini. Selalu berada di dekat Nisa, untuk mendengar suara lembutnya, memandangi tingkahnya dan kehangatan aura tubuhnya.
Andai kali ini aku sedang bermimpi, mohon jangan pernah untuk bangunkan aku lagi karena aku masih ingin tinggal di alam mimpi ini. Tapi sayang, aku tak bisa menghentikan waktu, 2 jam jadi serasa 2 menit jika berada di sisinya. Akhirnya api unggun telah padam, saatnya semua tidur dan beristirahat dengan nyaman. 
 Sinar mentari pagi menyoroti wajahku dan suara gaduh kicauan burung-burung mulai mengusik pendengaranku, membuatku pun ikut terbangun dan beranjak pergi mencari kamar mandi umum. Pagi ini sangat indah sekali kawan, di bukit nan pijakan kaki, berdiriku menatap keramaian yang sedang bernyanyi dan menari. Berkumpul bersama sahabat di rumput hijau nan sejuk, sarapan pagi setelah itu kembali lagi menjalani hari.
Acara kali ini yaitu mendaki gunung dengan tujuan untuk menguatkan otot kaki, semua anggota putera-puteri Basketball sudah siap untuk mengikuti. Perjalanan ini memang sangat meletihkan tapi ketika Nisa menggenggam tanganku, terasa dunia sanggup aku topang dan langkah kakiku pun seakan ringan. Asalkan selalu bersama Nisa, ribuan bahkan jutaan kilometer pun aku akan mampu bertahan karena dia semangat hidupku menjadi berkembang.
Ketika perjalanan mulai mendaki, kami pun saling menjaga dan melindungi. Di saat dia terjatuh, kuangkat dia lebih tinggi, di saat aku lelah letih pun dia berusaha menopang pundakku dengan hati-hati, dan kami mulai kembali bernyanyi.
Alangkah senangnya hatiku di hari ini; bisa tertawa ceria, bisa bercanda bersama oh aku sungguh bahagia. Lalu aku berbisik di telinganya dan berkata:
“Hidupku ini terasa begitu indah bila kamu selalu ada di sampingku menemani, Nisa.”
Dia senyum tersipu malu mendengar rayuan mautku dan sesekali mencubit pinggangku bercanda selayaknya sedang memarahiku.
Tanpa terasa kami semua tiba di atas puncak gunung, kami mulai melepas lelah sambil menikmati angin sejuk yang berhembus dari balik rimbun daun. Dan kami pun menghilangkan rasa gerah di bawah pohon rindang beralaskan rerumputan. Kini serentak membuka perbekalan berupa makanan dan minuman sambil mendengarkan pembina dan pelatih sedang berbincang-bincang.
* * *
Saat malam kedua, tibalah acara api unggun dibuka. Seperti biasanya kugenggam tangan Nisa di kala api mulai membara. Lalu kami bercerita tentang hari-hari yang telah dilalui bersama. Begitu cepatnya malam menjadi larut dan perasaanku semakin kalut. Hati kecil ini berkata tentang rasa cinta tapi rasanya mulut ini tidak sanggup untuk mengeluarkan suara seakan terkunci oleh tatapan matanya:
Ya ampun… seberapa hebatkah dia hingga dia mampu meluluhkan aku bahkan mengendalikan rasa takutku?
Sedangkan sudah kuketahui tingkah lakunya itulah yang menjadi deritaku di saat malam tiba. Dan kadang mengusik tidurku hingga aku selalu terjaga dalam buaiannya. Sampai-sampai aku tak dapat tidur dan enggan pula terbangun, karena pikiranku selalu saja memaksa agar terus mengkhayalkannya setiap waktu.
            Ketika aku menggenggam tangan Nisa, ingin sekali kuungkapkan bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dengan beriringan dia seperti dapat membaca pikiranku, sambil berbalik pandang menatap mataku dia pun bicara:
Betapa bahagianya Nisa bila selalu berada di samping Angga, sungguh tak pernah Nisa rasakan kedamaian hati yang seperti ini sebelumnya. Angga, coba kamu tunjuk satu bintang yang paling terang di atas langit sana! Nisa mau bintang itu menjadi saksi sumpah ini.”
“Maksud Nisa apa sih, Angga gak ngerti?” tanyaku memotong pembicaraannya.
“Nisa ingin Angga janji akan selalu menjaga Nisa, selalu ada di samping Nisa di kala terluka dan yang paling penting lagi, Nisa gak mau kehilangan Angga. Maka dari itu Nisa juga ingin Angga janji untuk tak mengkhianati persahabatan yang suci ini. Sebab Nisa sadar, kita gak mungkin dapat bertahan lama kalau pun kita pacaran. Akan tetapi kita akan selamanya bersama jika kita terikat di dalam tali persahabatan,” ucap Nisa padaku.
            Ohh... betapa hatiku jadi menggua membakar ujung rasa, kini yang aku nantikan bukan lagi untuk cinta tapi demi persahabatan selamanya. Seakan dia tidak pernah ingin mengharapkan aku untuk menjadi kekasih di hatinya. Pupus sudah rasa cintaku ketika kudengar ucapannya itu:
Akankah aku bisa menepati semua janjiku?” tanyaku dalam hati.
Tetapi ya sudahlah, dengan terpaksa aku pun menyetujui semua maunya walau akhirnya perasaan cinta ini mungkin akan selalu menyiksaku selama-lamanya seumur hidupku. Karena aku tak akan bisa berdalih dan menyanggah pintanya itu sebab kutahu bahwa dia takkan suka dengar ungkapan cintaku.
Bisa dibilang, aku keduluan ditolak sebelum aku menembak. Tapi aku tak ingin menyerah, di sisi lain bagian hati kecilku berkata seraya berjanji pada bintang yang kita tunjuk:
“Di suatu hari nanti aku yakin sekali bisa menaklukan tingkah liarmu.”
Semua menari, mereka bernyanyi di tengah hangatnya bara api tetapi tidak untukku, sepertinya semangatku hanya tinggal untuk saat ini.
            Tak lama kemudian, acara api unggun malam terakhir sudah berakhir dan semua orang beranjak pergi untuk istirahat di tenda masing-masing. Kini saatnya semua orang melepas lelah atas segala yang mereka sudah kerjakan di hari ini. Tapi tak demikian denganku, karena aku tak mungkin akan tenang oleh semua ucapan yang barusan Nisa katakan.
Sepertinya aku sudah tak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan cintanya. Tapi aku tak ingin menyalahkan dia, justru mungkin semua ini salahku juga yang tak tahu malu ada di tempat yang bukan untukku. Malam ini aku benar-benar gelisah, merana dan tak sadar tetes airmata bercucuran basahi pipiku.
Aku ingat ketika pertama kali aku berjumpa dengan Nisa. Saat itu aku selalu sembunyi-sembunyi hanya ingin melihat dia, melihat senyumannya dan tingkah lakunya. Aku ingat ketika dia memandangku saat kuterjebak di derasnya hujan, dengan senyuman dia memberikanku jawaban sebagai tanda perhatian. Juga aku pun ingat di saat pertama kali aku dan Nisa mulai berkenalan di perpustakaan, mungkin dengan takdir Tuhan akhirnya kita dipertemukan.
Tetapi sekarang aku sadar; orang yang kita cintai belum tentu bisa kita miliki dan orang yang kita miliki belum tentu bisa kita sayangi.
Seharusnya aku memang tidak berhak untuk meminta balasan atas apa yang selama ini sudah aku korbankan, dan juga aku tidak berhak menanyakan atas apa yang selama ini dia berikan. Wajarnya aku harus bersyukur karena sudah berada di sampingnya pun aku begitu senang dan aku pasti akan merelakan Nisa untuk pergi bersanding bersama lelaki lain. Sebab bagiku kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga dan kesedihan dia adalah penderitaanku juga.
            Suara bising dari luar tenda terdengar begitu peka di telingaku, orang berteriak dengan lantang di pagi hari menyambut hangat sang matahari. Ketika teman satu tendaku membangunkanku, perlahan aku mulai berdiri dan mencoba untuk langkahkan kaki. Tapi persendianku terasa seakan hancur berantakan, aku sedikit kurang tidur tadi malam ditambah lagi kemarin aku mengikuti perjalanan mendaki gunung. Tapi aku coba paksakan lagi untuk langkahkan kaki dan pergi mandi lalu sarapan memasak mie instant.
Ini adalah hari terakhir aku berada di sini dan rencananya pukul 11.30 siang kami pun akan pulang ke rumah masing-masing. Tak biasanya aku merasa sepi seperti sekarang ini, entah mengapa Nisa mulai menjauh meninggalkanku.
Aku lalu berjalan sendiri mengelilingi hutan untuk yang terakhir sambil mencari Nisa yang sulit kutemui. Kesana-kemari aku lelah mencari, mondar-mandir tapi tetap tak ada hasil.
Hingga di sebuah air terjun aku melihat Nisa bersama seorang lelaki lain, dilihat dari pakaiannya dia anak Pramuka kelas 3. Tapi aku tidak tahu siapa dia–sampai kucari tahu keparat itu bernama Lingga:
Hancur lebur sudah hatiku, hancurlah juga perasaanku. Sampai jadi berkeping-keping seperti kau koyak jantungku. Khianati kasih sayang yang aku berikan untukmu, sekejam itu kamu padaku?”
Mungkin inilah satu paragraf terdalam yang dapat mewakili perasaanku saat ini. Dan mungkin juga inilah sebenarnya yang jadi satu alasan Nisa, kenapa dia meminta aku berjanji menjadi sahabatnya selamanya.
Ya sudahlah, aku pergi saja sebelum kumulai benar-benar patah hati jika terus lihat mereka berdua sedang asyik bermain air:
“Sembur sana dan juga sembur sini, heuh… terlalu kekanak-kanakkan,” ucapku kesal lalu pergi ke tenda.
Ternyata rasa sedih yang mendalam ini tidak mudah hilang juga dalam pikiran, masih saja terus terbayang rasa dendam pengkhianatan menyakitkan. Aku seperti ditikam pisau belati dari belakang dan itu sungguh menyedihkan.
            Sejak saat kejadian tadi itu, aku semakin jauh dengannya. Aku merasa Nisa sudah tak punya waktu lagi untukku. Apakah salahku dan apa pula dosaku hingga dia pergi dariku?
“Apa mungkin karena aku kurang tampan, apa mungkin karena aku ini kurang kaya ataukah hanya karenanya aku tidak sempurna?” lamunanku sambil duduk di teras tenda.
Waktu yang ditentukan untuk pulang telah tiba tapi tak kunjung juga aku lihat Nisa. Akhirnya yang kudapat dari perkemahan ini hanya kesedihan semata, dimana Tuhan memperlihatkan bidadariku bercumbu dengan lelaki lain. Dan aku hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa karena aku sadar bahwa aku ini bukan siapa-siapa dia. Bahkan mungkin bagi dia, aku hanya sebuah mainan usang yang bila sudah bosan dia tinggalkan.
Selama di perjalanan pulang aku menangis dalam hati sebagai jejak kesedihan sepanjang jarak menuju rumah.
            Ketika aku sampai di rumah, rasa lelah bukan lagi jadi pikiranku. Tapi yang ada hanya rasa marah yang membara di lubuk hatiku ini. Akan tetapi rasa rindu rupanya telah meraja dan mengalahkan egoku sehingga memaksaku untuk sekedar ingin dengarkan suaranya.
Bodohnya aku telepon ke rumahnya, untuk bertanya kabar dan keadaannya. Ternyata dia sedang sakit sehabis pulang berkemah, aku menawarkan diri mau menjenguknya. Bergegaslah aku pun mandi dan mengganti baju lalu membawa uang tabungan dan membeli buah-buahan untuk kuberikan padanya.
Dengan hati yang riang gembira aku pergi ke rumahnya bagai seorang mempelai lelaki yang ingin mempersunting calon istrinya.
Wooww… jujur saja ini pertama kalinya aku masuk ke rumahnya yang bagiku terlihat megah bak istana saja. Tidak pernah aku melihat ruangan rumah semewah ini sebelumnya, aku jadi merasa minder membandingkan antara kehidupanku dan kehidupan dia yang ternyata jauh berbeda.
Siapa lelaki yang tak menyukainya mungkin dia orang gila, pendapat aku Nisa itu… sudah cantik, pintar, baik hati, inner beauty bahkan orangtuanya tajir pula. Apalagi ketika aku kini masuki kamarnya, seperti memasuki rumahku sendiri yang sederhana.
Aku bukan ingin merendahkan diri, tapi pula bagiku harta tiada arti. Sebab cinta suci itu yang mau menerima pasangannya setulus hati dan itulah suatu hal yang kucari.
Aku pun jadi sanksi kini, apakah Nisa bisa menerimaku apa adanya bila tahu bahwa kehidupan kita berdua jauh berbeda?
Aku bisa saja menceritakan harta orangtuaku berupa tanah yang sangat luas tapi apakah itu sebuah keharusan untuk dapatkan cinta? Padahal yang aku tahu, cinta itu tanpa syarat dan semua itu juga milik orangtua kita.
Aku tak butuh wanita lebih melihat harta dan silsilah keluarga dari seorang lelaki. Aku cuma mau satu wanita yang mencintaiku apa adanya sebab kita hanya pacaran dan masih sekolah bukan untuk menikah serta berumah tangga.
Aku juga bukan laki-laki yang suka memikat wanita dengan cara mengajak dia jalan pakai mobil mewah dan mengajak ke rumah yang megah. Aku pikir memang dengan cara seperti itulah mungkin saja kebanyakan wanita akan terpikat. Tapi harusnya kamu ragu, sebenarnya mereka itu terpikat olehmu atau harta orangtuamu?
            Saat ini Nisa sudah ada di sampingku, seraya merebahkan tubuh di balik selimut dia menyambut aku dengan gurauan dan senyuman. Tapi sayangnya kita tak berdua, ada seorang wanita sebaya yang juga menjenguk. Sepertinya kumencium persekongkolan di sini, aku mungkin dijebak saat Nisa perkenalkan aku padanya–barulah aku sadar bahwa dialah teman Nisa yang selama ini menyukaiku.
Namanya Merry dan lebih lengkapnya Merry Makdhalena Shelvina, dia itu berwajah manis serta berperawakkan agak tinggi langsing. Aku tak begitu mempedulikan Merry tapi Nisa selalu memaksaku untuk menembaknya. Entah bagaimana mulanya aku dan Merry berbicara penuh canda dan mulai merasa bahwa kita memang seiya-sekata.
Ahhh… tapi tetap saja semua itu tak dapat menggoyahkan hatiku ini pada Nisa, walau pun Nisa selalu saja memberi kesempatan pada kami untuk bicara berdua.
            Di saat langit biru itu mulai menguning aku berpamitan pulang pada Nisa. Tapi Nisa malah terus memaksa aku untuk pulang bersama Merry. Karena Nisa begitu sangat memohon maka aku menerima permintaannya dan mengajak Merry pulang bareng, ternyata rumah dia memang searah dengan rumahku.
            Di perjalanan pulang aku dan Merry bercerita tentang banyak hal. Aku bisa mengakui bahwa kami berdua cukup nyambung bila sedang ngobrol. Sebab dia orangnya amat feminim, pendiam, bersahaja dan juga asyik kalau diajak bicara. Entahlah setan mana yang merasuki tubuhku hingga aku berkata minta nomor teleponnya dan malam ini aku berjanji akan menghubunginya.
Banyak hal yang ingin aku ketahui di balik dirinya, karena jujur aku begitu penasaran dengan alur cerita hidupnya. Dia seperti menyimpan berjuta rahasia dan entah kenapa aku seperti ingin menggali semuanya tentang dia di balik sikap diamnya. Baru pertama kali kubertemu dengan seorang perempuan semisterius dia. Terang saja aku berkata seperti itu sebab benar-benar aneh, bereka-reka kepribadiannya membuatku selalu ingin tahu.
            Malam itu adalah awal aku mendengar suara Merry lewat telepon, nampak sekali getaran di dada bergucang entah kenapa? Sebelumnya aku bingung mau bicara apa lagi tapi berhubung dia itu orangnya intelektual jadi tanpa sadar banyak kata-kata telah keluar. Kami perlahan mulai curhat dari hati ke hati, di mulai dari masalah cinta, keluarga, masa lalu dan hobi masing-masing.
* * * 
3 hari kemudian sejak terakhir kami pulang berkemah, terdengarlah kabar Nisa sang bidadariku terserang sakit sampai kini belum masuk sekolah. Rasa rindu sungguh menyiksa bathinku, rasa-rasanya aku ingin sekali bertemu dengannya dan meluapkan semua kerinduanku.
Sepulang dari sekolah–ku cepat-cepat pulang ke rumahku. Dikarenakan hari ini Kepala Sekolah sedang mengadakan rapat mendadak jadi kami siswa kelas satu dibubarkan sekitar pukul 3 sore.
Setibanya aku di rumah, aku langsung ganti bajuku lalu cuci muka dan bergegas memetik bunga milik tetangga. Entah kenapa saat ini serasa sungguh berbeda seakan tak ada beban di kepala dan aku merasa sangat bahagia:
“Mungkinkah ini satu pertanda bahwa cinta matiku akan diterima oleh Nisa?”
Awalnya aku bercanda, kurangkai kata-kata cinta di dalam dada. Bila nanti setiba di rumah Nisa–aku tak gugup untuk mengatakan cinta padanya.
            Selama perjalanan menuju rumahnya, hatiku mulai gelisah dan jantung mulai berdebar kencang. Karena jujur saja, di dalam hidupku baru kali ini aku ingin bilang cinta pada wanita yang sudah lama aku suka.
Sesampainyaku di tempat tujuan, aku malah menjadi stress, aku kaget. Aku melihat Nisa sedang mengantar kepulangan lelaki yang kemarin kulihat di air terjun dengannya. Aku pun serentak sembunyi di balik dinding samping rumahnya. Aku melihat di depan pintu gerbang garasinya, lelaki itu mencium kening Nisa dengan mesra dan pergi mengucap kata cinta. Anjrittt betapa panasnya aku, seakan kepalaku ingin meledak saat ini. Bunga mawar yang aku bawa itu kulempar dan kuinjak-injak, hati mungkin telah membencinya tapi aku tak ingin menjauh darinya. Dengan segenap jiwa aku coba untuk menganggap kejadian itu tak pernah ada.
            Ketika lelaki keparat itu sudah menjauh dari pandangan, barulah aku pun mau keluar dari tempat persembunyian. Tetapi aku malah menjadi bingung, hasratku untuk menemui Nisa seketika menjadi tak ada. Di sisi lainnya, aku sedang berperang melawan rindu yang terus menekanku tanpa henti, memintaku agar menemui Nisa walau sekedar dengar suara dan keadaannya saja.
Akhirnya dipergelutan antara rindu dan ego telah berakhir, waktunya keputusan akhir dari hatiku yang kecil bicara. Aku melangkahkan kaki menuju pintu rumah memanggil namanya sebagai jawaban atas semua pertanyaan. Nisa pun keluar rumah dan kagetnya melihatku, tapi dengan senyumnya itu juga dia menyambut kedatanganku.
Saat ini jam menunjukkan pukul 4 sore tapi kulihat di sekitar rumah tampak sepi. Ternyata baru kutahu bahwa kedua orangtua beserta adiknya pergi jalan-jalan sore ini. Pikiranku pun menjadi semakin picik padanya:
“Di luar rumah saja mereka sudah berani cium-cium kening apalagi di dalam rumah kali?” ucapku dalam hati.
Sungguh betapa rasa kecemburuan ini telah membutakan etika. Rupanya Nisa kini sudah sembuh dan besok dia bilang baru mau mulai masuk sekolah lagi. Dapat kulihat dari raut wajahnya yang berseri-seri dan kadang juga suka senyum-senyum sendiri. Apakah gerangan itu yang membuat dia jadi seperti orang gila, mungkinkah karena “CINTA?”
            Tak lama kemudian, Nisa mengajakku main Playstation di ruang tengah rumah. Kami bercanda, tertawa dan bernyanyi bersama. Tapi aku sungguh ingin meledak ketika Nisa selalu saja menceritakan tentang lelaki keparat itu. Rupa-rupanya dia memang sedang jatuh cinta seperti apa yang sedang aku rasa kepadanya.
Kesekian kalinya dia menyebut nama itu, aku pun jadi tak dapat bertahan untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama aku sembunyikan, aku berkata seraya memandang matanya:
“Nisa… aku benar-benar nggak bisa terus-terusan nyembunyiin perasaan hati ini sama kamu. Setiap kali nama lelaki itu kamu sebut, maka setiap kali itu pun percikan bara api membakar hatiku. Aku hanya ingin mendapatkan tempat terindah di dalam hidupmu, dan aku hanya ingin menjadi seseorang yang teristimewa di dalam hatimu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku ini selalu memujamu dalam setiap detak hela napasku. Hingga kali ini aku tak dapat bertahan lagi untuk memendam rasa cinta padamu. Aku mau kamu jadi kekasih pertamaku Nis…!”
            Nisa yang memandangku dalam jarak dekat itu pun langsung ternganga dan sedikit terkesima. Dia pikir aku hanya bercanda, tapi akhirnya tak lama dia memberiku jawaban juga, sambil memalingkan wajah dan acuhkan muka dia pun angkat bicara:
”Asal tau aja yaa Ga… aku pun cinta sama kamu, tapi apakah dengan alasan seperti itu kita berhak untuk saling memiliki? Tentu tidak khan Ga, yang dicintai itu belum tentu bisa disayangi. Cinta tak selamanya harus saling memiliki, sebab cinta itu halnya burung jelita, dia berharap dapat ditangkap tetapi tidak berharap mau disakiti. Lagian kamu tau sendiri khan? Bahwa sahabatku Merry lebih duhulu menyayangimu sebelum kamu kenal denganku. Dan jika aku diizinkan untuk memilih maka aku memilih sahabatku daripada memilihmu. Tapi aku gak mau kehilanganmu karena masalah ini. Jujur saja, saat aku tersadar telah mulai menyayangimu maka aku pun berlari dari kenyataan dan mencari orang lain untuk bisa melupakanmu Angga,” ucap Nisa padaku.
            Saat ini aku terlarut dalam haru, kala dengar semua jawaban yang Nisa berikan padaku. Sejenak aku berpikir, haruskah demi persahabatan Nisa rela mengorbankan cintanya dan mendustai hatinya yang membuat dia tertekan oleh keadaan menyedihkan? Andai semua orang dapat mengerti dengan apa yang sudah kita alami ini.
Banyak orang bilang cinta pertama hanyalah sebuah mitos cinta monyet yang tak berarti apa-apa. Tapi inilah kisahku, aku anggap paling indah dalam hidupku. Aku pun kembali berkata pada Nisa:
”Mungkin aku tak akan bisa memiliki kamu sepenuhnya namun kumohon izinkanlah diriku untuk mencintaimu selamanya. Sebab aku meyakini selalu bersamamulah jalan hidupku, berada di dekatmulah nyawa kebahagiaanku. Dan satu hal lagi, aku tak pernah menyesal karena sudah mencintaimu walau kutahu kamu telah menyakiti hatiku. Tapi yang aku sesali, mengapa tak sejak dulu aku mengenal kamu, bukan sahabatmu yang lebih dulu mencintaiku?”
Seminggu berlalu sejak saat kejadian itu Nisa makin menjauh dariku, mungkin dia sudah tak punya waktu lagi untukku. Tapi selalu kuperhatikan dia tak pernah lepas dari pandanganku, dia nampak senang tersenyum riang bahagia, dia jalani indah harinya di sekolah dengan kekasih barunya itu. Aku hanya bisa diam karena memang aku sudah tak diinginkan. Tapi aku tak pernah dendam karena bagiku melihat dia selalu tersenyum, bernyanyi dan menari membuatku semakin membahagiakan hati.
Hingga akhir aku masih ingat saat itu, pada tanggal 21 September 2000.  Tepatnya 2 minggu setelah Nisa meninggalkanku, aku pun memutuskan untuk menghapus kesedihan dan mencoba belajar mencintai Merry dengan sepenuh hatiku. Karenanya dia mencintai aku seperti aku amat mencintai Nisa, dia pun tulus berkorban untukku sama halnya pula aku yang selalu jujur berkorban rasa untuk Nisa. Mungkin ini telah menjadi jalan takdirku walau pun aku tahu ini bukan akhir dari segala penantianku demi dapatkan cinta Nisa.
Akhirnya mulai saat itu aku menjalani hari-hariku bersama Merry hampir di sepanjang pelajaran kelas 1 SMP berlalu. Tapi walau pun demikian aku tak mengungkapkan cinta padanya hingga hubungan kami tergantung begitu saja dalam waktu setahun.
Meski Merry senantiasa selalu memberi aku kesempatan untuk mengungkap cintaku padanya tapi aku tak pernah tergoda. Walau yang mungkin semua orang ketahui bahwa aku pacaran dengan Merry, tapi yang sebenarnya bahwa kita tak ada hubungan yang istimewa. Karena dalam hatiku telah terlukis wajah indah yang tak mungkin tergantikan oleh kehadiran perempuan lainnya.
Dialah Nisa seorang yang selalu memberiku kesejukan dalam setiap khayalnya, walau terkadang memberi luka dalam setiap tawanya.
***
Catatan akhir kisah cinta pertamaku untuk Nisa:
”Segala hal terindah tentang kita, tak bisa kulihat dan kusentuh kembali karena semuanya itu hanya bisa kurasakan dengan perasaan HATI.”




Baca juga Eps berikutnya di :
anudatar.blogspot.com



1 komentar:

anudatar.blogspot.com kekasih terakhir 2 eps 4 : indekost

Kekasih Terakhir 3 Eps 10: Wasiat Sang Penyair

  Wasiat Sang Penyair                CATATAN AKHIR   TAHUN 2006                                                                   SURAT ...