CINTA PERTAMA
Ketika aku
sudah mulai tumbuh dewasa, terasa ada sesuatu yang berbeda dalam jiwa. Aku
laksana tuan burung camar yang terbang bebas di udara, di tepian samudera kuberjelaga
dengan mengagungkan keindahan cinta. Kadang kala aku pun bertengger di sebuah
dermaga untuk melepas lelah dan gundah.
Hey… coba
kalian lihat itu di depan sana, ada lembayung jingga yang menutupi senja dan
warna kelam perlahan mulai rajai dunia.
Saatnya binar mata
memadamkan bara ketika manusia tak mampu lagi berkata-kata. Tak lama itu aku lihat
Sang Penyair turun dari langit dan menebar serbuk mimpi di atap bumi.
Lalu sejenak dia
bersabda: “Damailah manusia dalam cinta bagai
bunga sakura yang bisa redupkan angkara. Daunnya berguguran penuh dengan makna hingga
dapat membuat hidup terasa lebih berwarna. Tidak luput pula aku hiasi malammu
dengan cahaya bulan dan beribu bintang agar ketika kau berjalan dalam kegelapan
tak hilang arah dan tujuan. Sebab itu jangan pernah kau merasa bimbang dan tidurlah
yang tenang. Karena langkahmu masihlah panjang–membentang dan masih banyak rintangan
harus kau hadang.”
Tidak terasa
pagi pun datang dan sinar mentari perlahan mulai terang. Butir-butir embun
menguap dan hawa seketika menjadi hangat. Burung-burung bernyanyi tanda setia pada
pagi, mencengkram kayu lalu terbang bebas dari satu pohon ke pohon lain untuk menjalani
kehidupannya.
Sungguh melankolis alur cerita mereka, walau tahu usia takkan
lama tapi masih tetap mampu ceria. Selalu berkicau dan bercanda tiap pagi
seakan tiada resah dan juga gelisah menyelimuti diri.
Di sisi lain
jejak-jejak makhluk penghuni bumi mulai berkembang dan sudah siap untuk digerakkan,
membuatku ikut terbangun dari dunia khayalan dan tidur yang panjang.
***
Selamat pagi
duniaku… hari ini tanggal 17 Juli 2000; hari pertama aku masuk sekolah di satu SMP
Negeri di kota Cianjur, Jawa Barat. Namaku Angga, lebih lengkapnya Angga Ginanjar Nudatar. Usiaku 12 tahun
dan aku lahir pada tanggal 30 Mei 1988. Aku tinggal di sebuah desa bernama Limbangansari.
Subuh ini pukul
04.30, sambil tersenyum aku siap berangkat menuju sekolah pakai aksesoris bak badut
untuk menjalani Masa Orientasi Siswa (MOS). Tak lupa juga aku berpamitan kepada
ibuku dengan cara mencium lengannya terlebih dahulu.
Sesampainya aku
masuk kendaraan umum, aku merasa takut akan muntah karena aku belum terbiasa
bepergian jauh. Jujur saja, ini pertama kali aku naik mobil angkutan kota tak
ditemani siapa pun. Apalagi tujuannya itu ke pusat kota dan aku sangat jarang
sekali pergi ke sana. Maklum, aku tinggal di sebuah kampung yang lumayan jauh
dari kota. Jadilah sifat norakku masih melekat di dalam jiwa dan aku belum bisa
menghilangkannya.
Tapi seiring waktu yang berlalu, kini aku mulai terbiasa dengan
kehidupan baruku. Ternyata aku pun baru sadar bahwa dunia ini amat sangat luas.
Banyak sekali wajah datang dan pergi sekilas saling berganti dan bahkan ada
pula wajah cantik singgah di hati.
Pada hari Rabu 19 Juli 2000 jam
12.30 siang–hari terakhir aku mengikuti MOS. Aku tidak sengaja melihat dirinya
di lapang basket, seorang perempuan yang cantik jelita dan aku langsung terpesona
pada pandangan pertama:
“Coba kalian lihat dan perhatikanlah cara
dia berjalan; ohhh sungguh gemulai bentuk tubuhnya, anggun gerak langkahnya,
elok parasnya dan manis senyumnya. Apalagi saat ia memandangku, matanya bagai
damak yang menusuk jantunghatiku–oohhh… sungguh aku tergoda untuk mengenal dia
lebih jauh. Awal aku berjumpa dengan dia, kuyakin dialah cinta pertamaku dan
aku pun langsung terpikat padanya. Wajahnya bersinar bagai bulan purnama
menerangi alam, rambutnya yang ikal sebahu terjamah angin dan biarkan menari
seperti gelombang menggulung karang. Sehingga ketidakwarasan datang, aku mulai merasakan
khayalan hangatnya hawa perempuan.”
Ketika aku bertanya
kepada seorang temanku, katanya perempuan cantik itu bernama Anisa, atau lengkapnya
Anisa Yuniar Purwana dan lebih sering
dipanggil Nisa oleh teman dekatnya.
Sejak itu, hari-hari kian berlalu seiring dengan bertambahnya perasaan
rinduku. Kini aku tahu betul siapa dia dari mulai keluarganya, nomor
teleponnya, alamat rumahnya, masa lalunya waktu di TK & SD. Pokoknya semua
cerita tentangnya sudah tersimpan dalam otakku setelah kucari tahu lewat
temannya.
Sampai di saat
ini aku pun terus mengintainya, mengawasi keindahannya dari jarak yang jauh. Dan
terkadang aku selalu menanyakan tentang dia kepada sahabat saat SD-ku (bernama
Romi) yang kebetulan satu kelas dengannya sekarang.
Walau aku sadar
dia tidak mengenalku, apalagi sempat berbicara denganku. Mungkin dia tak pernah
tahu bahwa akulah yang selalu mengirimkan sebuah puisi, sekuntum bunga mawar
serta lagu cinta yang kubuat untuknya di atas meja belajarnya. Dan akulah orang
yang selalu membanggakan namanya di mana pun aku berada.
Kadang ketika
dia berada dekat di sisiku, ingin sekali kupeluk erat tubuhnya, kubelai
rambutnya dan berbisik “Aku cinta kamu”.
Kadang juga ketika dia mulai menjauh dariku ingin sekali aku ikuti ke mana pun
langkahnya, kukejar larinya itu sambil berteriak “Aku rindu kamu”.
Ahh… tapi aku
ini hanyalah seorang pembual, aku bahkan tak berani hampiri meski dia kini
sedang menyendiri. Kadang aku tak mengerti entah sampai kapan aku begini? Selalu
membodohi diriku sendiri bahkan selalu membohongi perasaan di hatiku ini.
Di setiap
sudut-sudut sekolah aku mendengar senandung lirih namanya, semua pria di sana
sering membicarakannya bahkan selalu memuja kecantikan wajahnya. Mungkin dia
tak pernah mengerti bahwa dengan mudahnya dia dicintai oleh setiap lelaki. Dan
mungkin dia juga tak pernah sadari bahwa dengan gampangnya dia dikagumi semua
orang di dekatnya.
Lalu apalah
arti diriku ini, aku tidak lebih dari seorang pengkhayal yang ingin disayangi oleh sang puteri. Tapi aku tak ingin menyerah sedikit pun pada keadaan busuk ini.
Setidaknya aku telah menetapkan hatiku hanya untuknya.
Suatu hari, aku tahu kalau dia hobi sekali main basket maka aku pun
mengikuti ekstrakulikuler yang sama dengan dia. Sejenak aku pun merenung, andai aku jadi pemain basket terbaik di
sekolahku, apakah dia akan jatuh cinta padaku? Ahh… terlalu bodoh untuk diriku jika
aku berpikiran secepat itu. Namun apa daya aku harus mencoba, setidaknya aku
sudah berusaha untuk memikat hatinya.
Hari demi hari
pun aku jalani selalu berada di dekatnya tapi tak pernah bibir ini berani
bicara dan menyapanya. Ku tak pernah jenuh untuk mengambil perhatiannya meski
terkadang aku jadi salah tingkah apabila berada di hadapannya.
Aku memang tak
pandai dalam bermain basket malah aku baru tahu bahwa ada permainan semacam
itu. Tapi demi cinta, aku ingin belajar jadi hebat agar dapat membuat dia
bangga. Sungguh mati, apa pun akan aku lakukan asal bisa tetap berada di
dekatnya, pandangi senyum manis dan tingkah lakunya.
***
Akhirnya yang aku nantikan datang juga, yaitu sebuah event olahraga basket
acara tahunan “X-One” pertandingan basket
antar SMP dan SMA telah tiba. Pada tanggal 26 Agustus 2000 di satu Wismakarya
di pusat kota.
Namun sedikit aku
sesalkan, pertandingan ini hanya untuk kelas 2 dan 3. Jadi aku yang masih anak
kelas 1 SMP ini, hanya bisa diam menonton mereka saja. Tetapi walau pun begitu ada
hikmahnya juga bagiku karena di sana aku lihat Nisa memakai baju biru muda dan
celana panjang jeansnya–dia nampak terlihat lebih dewasa. Tak jemu-jemu aku pandangi
wajahnya yang indah bak lembayung senja dan bibir merahnya yang mungil itu bagai
semanis madu–ohh sungguh lucunya pemilik senyuman itu.
Yaa ampun…
tiba-tiba dia mulai mendekat ke arah tempat aku duduk. Dan dengan diiringi teman-temannya
itu dia seperti halnya ratu yang dikelilingi dayang istana. Tanpa kusadari
dengan sekejap mata dia berada di depanku. Ohh… betapa dia buat hatiku galau
dan seketika detak jantungku pun jadi kacau. Kian lama tubuhku semakin panas,
perlahan keringat bercucuran dan duduk pun menjadi tak tenang.
Lalu ucapku
dalam hati, “Ohhh… ternyata dia mengenal
orang yang sedang duduk di depanku.”
Kemudian
mereka pun saling mengomentari alur jalannya pertandingan, juga bicara tentang
siapa yang akan menjadi pemenang? Pantas terlihat akrab, mungkin karena rupanya
mereka adalah teman satu kelas. Mereka dengan begitu asyiknya tertawa-tawa
mengomentari sementara aku hampir setengah mati duduk sendiri di sini.
“Aku malu, aku ragu, aku ingin sekali menyapa
kamu Nisa, tapi apa kamu mengenal aku?” tanyaku dalam hati.
Sudahlah, sebaiknya
aku pendam saja khayalan ini dalam-dalam dan mulai lagi meratapi rasa pedih penyesalan.
Sepertinya aku ini bagaikan batu dungu yang tak berarti di hadapanmu hingga
wajar saja kau tak pernah menganggapku ada. Tapi bagaimana pun juga, aku harus
tekankan sekali lagi:
“Suatu saat nanti aku yakin kau akan mengerti
bahwa akulah sosok sang pangeran yang selama ini kau cari. Dan suatu saat nanti
kau akan menyadari, bahwa akulah yang pantas untuk kau cintai. Kita nantikan
saja hari itu, hari di mana ketika kau akan bertekuk lutut di hatiku,” dengan
bicara seperti itu, kumerasa terhibur dari dunia yang jauh mengabur.
Senja mulailah
tiba, pertandingan pun akhirnya usai juga. Masih sama seperti tahun-tahun
belakang–sekolahku yang telah dinobatkan sebagai pemenang. Sebagian penonton
pulang dengan hati yang riang dan sebagian lain bersorak-sorai menyambut senang
para pemain yang dibanggakan.
Aku lihat Nisa
di depanku sedang tersenyum kepada pemain basket (bernama kak Bangkit) yang dikaguminya.
Sempat aku berpikir: “Andai saja aku menjadi
lelaki sehebat dia mungkin Nisa pun akan tersenyum manja padaku jua.”
Tak lama
kemudian di sekitar ruang terdengar nampak tenang. Kini semua orang berlalu tinggalkan
tempat pertandingan. Rasanya ada penyesalan di hati saat Nisa meninggalkanku
sendiri tanpa perpisahan, lambaian tangan atau pun ucapkan pesan sebagai tanda sayang:
“Ohh… sungguh tak berharganya aku di
matahatinya,” ucapku seraya pergi.
Akhir-akhir
ini aku memiliki kebiasaan buruk, mungkinkah itu ciri sebuah prilaku pria yang
sedang dilanda asmara? Di setiap malam kujelang, berdiriku di ketinggian di
atas beranda rumah–aku menyepi dalam
kegelapan.
Di sinilah aku
selalu diam merenung pandangi langit dalam perasaan yang mendalam. Bertemankan
bintang-bintang, kukenang wajah indah yang makin tenggelam larut dalam angan
dan khayalan. Kucoba lukiskan raut wajahnya di atas awan kelam dengan bantuan
cahaya terang dari rembulan.
“Dia begitu nampak syahda nan anggun, elok
parasnya laksana mandudari bernyanyi dan pekat senyumnya bagaikan pisau belati menusuk
ulu hati. Kadang ketika bibirku ini tak mampu lagi mengucap kata, indah
bayangnya berkisai mengusik mimpi dan kadang juga ketika binar mataku ini mulai
terbuka, sabda namanya desahku pertama kali. Nisa… Nisa, dialah segalanya…
bagiku.”
Tak terasa
malam makin larut dan aku semakin hanyut dalam perasaan yang kalut. Hingga saat
jam dinding melaju berdenting detik demi detik menyita tidurku waktu memikirkan
dirimu.
Sampai akhirnya pagi hari pun mulai datang, cahaya hangat terasa membakar
badan. Tak tersadar, jam backer yang biasanya berdering diangka 5 sekali ini
tidak bunyi dan ternyata baterainya mati. Karena malam tadi aku begadang, jadi
pagi ini pun kelopak mataku enggan untuk terbuka.
Tapi berhubung
kumasih siswa kelas 1 jadi aku masuk sekolah dibagian siang. (Kapasitas
sekolahku tidak mencukupi untuk menampung siswa-siswi dari kelas 1 sampai 3 karena
sekolah sedang dalam masa renovasi. Jadi Pihak Sekolah menetapkan pada siswa
kelas 1 untuk masuk sekolah siang hari pukul 13.00 dan pulang jam 5 sore).
Selang beberapa
jam kepalaku mulai pusing, rupanya tidur terlalu banyak pun membuatku merasa tidak
nyaman. Akhirnya sekitar jam 8 pagi aku pun terbangun dan hendak mengerjakan
suatu kegiatan yang seharusnya memang kukerjakan. Di sekeliling ruangan rumah
nampak begitu sunyi dan ternyata aku temukan kertas menempel di pintu kamar
yang mengatakan bahwa: “Ayah dan Ibu
pergi ke Rumah Sakit untuk menjenguk Nenek sedang sakit.”
Aku tak mempermasalahkan
mereka pergi, tapi yang kupermasalahkan saat ini yaitu sekitar ruangan nampak berantakan
tak karuan. Entah awalnya dari mana sepertinya saat ini semangat kerjaku
membara dan niatku membersihkan ruangan dan kamar makin nyata.
Seraya
menyetel tave recorder tua keras-keras dengan lagu kesukaanku maka kumulai
bekerja. Dari mulai cuci piring, menyapu, ngepel, membereskan majalah dan
barang yang berantakan sampai dengan dekorasi ulang kamar yang sudah
membosankan.
Akhirnya semua
pekerjaan selesai juga dalam kurun waktu 2 jam dan lebih 30 menit saja. Sambil
tersenyum kagum melihat semuanya sudah rapi, aku pun bersandar istirahat di kursi
ditemani beberapa macam makanan ringan dan buku bacaan. Mungkin karena
kecapean, sendi tulang punggungku nampak remuk kesakitan.
Perlahan demi
perlahan ketika suasana mulai terasa nyaman aku tersesat di dalam buaian
khayalan dan angan yang menyenangkan. Aku buka lembaran alam imajinasiku dan mulailah
terseret jauh di dalam dunia maya.
Di sana aku sedang
bermimpi “nembak” atau mengatakan
cinta pada Nisa di sebuah taman yang indah dan penuh dengan hiasan bunga. Beribu-ribu
kata mutiara cinta serta jurus-jurus ampuh seketika aku keluarkan untuk memikat
hatinya.
Sampai-sampai aku
bersujud di bawah kakinya dan mengemis agar dia mau menerima cintaku ini. Dengan
tak lupa juga aku siapkan sekuntum mawar merah untuk kupersembahkan padanya.
Namun sial mimpi indahku berubah menjadi suram di saat Nisa ayunkan tangannya
ke arah pipi kiri dan kananku. Seraya mengeluarkan kata-kata kasar, hinaan
bahkan makian yang bertubi-tubi menusuk ke jantunghatiku.
Seiring dengan
adanya itu, tiba-tiba ada suara “Gedebrukk!” terdengar tubuhku yang jatuh
terkapar ke bawah lantai dan berhasil membangunkanku dari mimpi buruk.
“Aduuuh!” sambil
nahan rasa sakit di pinggang aku bicara sendiri.
“Tadi itu mimpi
bukan ya, kok seram banget sih Nisa nolak cintaku, iihh jangan sampai deh.”
Tapi setelah aku
cubit pipiku barulah kusadar bahwa tadi
itu hanyalah sebuah mimpi buruk yang kualami.
“Aduh sial kalau
begini aku bisa telat pergi ke sekolah nih.” kalimat itu terlontar dari mulutku
ketika aku lihat jam dinding ruang tamu menujukkan pukul 12.40 WIB.
Sambil
tergesa-gesa aku pun langsung berlari membawa handuk dan menuju kamar mandi. Aku
kosongkan pikiran dan mencoba tak peduli dengan apapun yang akan terjadi, yang
ada di benakku saat ini hanyalah berpikir bagaimana
cara supaya kubisa berangkat sekolah dengan cepat?
Tapi ada saja hal
yang menjegal waktu ketika aku mandi ternyata sabun, pasta gigi dan shampoo sudah
abis. Ya, terpaksa aku mandi dengan seadanya saja tanpa berlama-lama.
Dua menit
berlalu pas aku selesai mandi dan hendak memakai baju seragam sekolah tapi:
“Aduhhh, mati
aku!” karena terlalu sibuknya kemarin melihat pertandingan basket, aku jadi
lupa cuci pakaian seragam sekolah di hari minggu. Tapi biarlah terasa bau dan kotor
aku harus memakainya juga karena ini adalah seragam satu-satunya yang kusuka.
“I Hate
Monday…!” teriakku dengan lantang sambil cari kaos kaki yang tak dapat aku temukan.
Kesana-kemari, mondar-mandir tapi masih tidak ada hasil. Akhirnya kupakai juga
kaos kaki yang sejak dari satu minggu lalu belum kucuci itu.
Waktu kini
menujukkan jam 13.10 WIB tapi tak menggetarkan aku untuk sarapan terlebih
dahulu. Aku berjalan menuju ke arah meja makan dengan tujuan mengenyangkan
badan akan tetapi ternyata malangnya di balik tirai penghalang yang terhampar
hanya nasi keras bekas kemarin malam.
Beribu kata binatang
aku lontarkan atas dasar kekesalan: “Ohh…
akankah nasib sial selalu datang kepada diriku yang selalu ingin senang?”
puitisku dalam hati.
Dengan perasaan
beraduk bimbang kuberlari kencang untuk meluapkan kemarahan.
Rumah aku kunci
rapat dan kuncinya telah kusimpan dengan cermat di bawah pot bunga tempat kami
biasa menyembunyikan saat mau bepergian.
Waktu kini
semakin mengejarku tapi aku tak peduli–aku terus berlari ke arah depan jalan untuk
menunggu kendaraan umum yang menuju sekolah. Berhubung aku tinggal di desa yang
agak terpencil maka jika siang hari biasanya kendaraan umum pun akan lama
datangnya.
Sudah 10 menit
aku berdiri di sini tapi tidak ada juga kendaraan kosong yang bisa aku tumpangi.
Karena semua selalu penuh dengan penumpang dan bahkan barang bawaan. Tapi
akhirnya rentang waktu ke-15 menit setelah lama kumenunggu–ada juga kini kendaraan
umum yang kosong.
Tapi tidak lama
kemudian pun: “Ternyata di tengah perjalanan
mobil mogok akibat turun mesin. Maklum yang aku tumpangi itu sebuah kendaraan
umum tahun 80-an yang tampak sudah tua.”
Tapi untungnya saja
sekolahku hanya tinggal berjarak 300 meter lagi dari sini jadi tanpa berpikir panjang
setelah kubayar ongkos–aku bergegas pergi menuju arah sekolah.
Lihatlah aku,
aku berlari melebihi kecepatan angin dan aku berlari bagai seorang tentara yang
tak takut mati. Juga aku berlari tak peduli jika aku harus ditertawai. Sesekali
aku lihat jam di tanganku, jarum jam kini ada di titik 1.40. Aku pun kian menambah
lagi kecepatanku berlari.
Seiring aku lihat
awan hitam semakin kelam dan mendung perlahan datang, gerimis mengundang untuk
siap kujelang. Kurasakan semesta alam bagai ikut meratapi semua penderitaan
yang sedang aku alami ini. Mungkin mereka juga ingin menangisi nasibku, hingga
habis langkahku ke-280 menginjak bumi turunlah hujan deras serta angin kencang yang
menggelegar mengelilingi pelarianku. Tapi aku tidak sedikit pun gentar dan
mengalah, dengan tak pantang menyerah aku hadapi semua cobaan dengan gagah.
Akhirnya aku telah
tiba di sekolah walau rasa gundah dan gelisah menyudutkan tapi aku tetap tak
ingin menyerah karena aku tak ingin mengalah. Aku memasuki gerbang dan berjalan
di tengah ruangan kelas-kelas, semua mata memandang ke arahku di balik kaca
jendela. Sepertinya mereka ingin coba untuk bicara tentang betapa kasihannya
aku berada di bawah hujan yang mengguyur seluruh badan. Tapi kutekankan sekali lagi
bahwa aku lebih tidak peduli jika harus ditertawai.
Hey tunggu dulu!
“Coba kalian lihat di sana, di depan sebuah pintu kelas 1 D aku melihat sosok
perempuan cantik nan rupawan menatap aku penuh pesona.”
Apa kalian tahu
siapakah gerangan dia? Ya, dia adalah belahan jiwaku, cinta pertamaku dan juga
kekasih di dalam hatiku (Anisa Yuniar
Purwana). Ketika aku coba membaca gerak tubuhnya dan sorot matanya yang tandakan
rasa iba–aku pun bahagia. Terlebih lagi saat dia coba memberikan senyumnya yang
aduhai manja untuk diriku. Ooh… aku serasa ingin terbang jauh tinggi menyentuh langit.
Ternyata hikmah termanis yang aku dapat di atas penderitaan-penderitaan yang
tersirat. Rasa-rasanya, biarlah tiap hari nasib sial menimpaku asal semua itu
berbuah hikmah paling indah–yang dapat membuat semangat hidupku membara,
berkobar-kobar selayaknya api yang panasnya dapat membakar.
Tak lama setelah
itu, akhirnya aku tiba juga di meja piket. (Tempat
Guru yang bertugas untuk memberi izin masuk kelas karena siswa terlambat atau
izin pulang ke rumah karena siswa sedang sakit).
Dengan napasku yang
tak beraturan karena lelah berlari di bawah air hujan–kukeluarkan berjuta jurus
alasan. Kukatakan semua yang menimpaku di hari ini agar ia merasa iba dengan
hidupku yang penuh derita.
Tapi aku tak
habis pikir dia malah marah padaku, menegurku dan bahkan menasihati dengan nada
suara yang menggugat lantang. Sungguh dia tidak sedikitpun hargai usahaku, dia
tak tahu betapa besar pengorbananku dari rumah menuju ke sekolah. Mungkin yang
dia tahu hanya bahwa aku sudah telat 60 menit dari mulai bel berbunyi.
Akhirnya setelah
dia puas memakiku timbul jugalah jiwa keibuannya. Dengan lembut dia tak beri izin
kumengikuti pelajaran tapi malah menganjurkan untuk pergi ke perpustakaan. Aku cukup
mengerti apa maksudnya itu, tak mungkin dengan baju basah kuyup seperti ini aku
masuk kelas dan mengikuti pelajaran maka secepatnya aku pun berjalan menuju perpustakaan.
Dengan langkah kakiku
yang gontai kudekap bahuku karena sudah tak tahan dari rasa dinginnya air
hujan. Bagiku perpustakaan ini terasa tak begitu asing lagi karena setiap hari
jam istirahat aku selalu berada disini untuk membaca buku fiksi. Ditambah lagi
dengan penjaganya pun aku sangat dekat bahkan akrab. Malah aku dan dia punya
satu hobi yang sama yaitu membaca buku karyasastra, tak jarangnya kami pun
selalu bertukar pikiran dan bertukar pendapat.
“Beruntung buku
pelajaranku tak kehujanan soalnya tadi sewaktu berlari tasnya aku peluk sambil
membungkukkan punduk. Jadi air hujan tak sempat masuk ke dalam tasku,” ucapku
pada pak nardiman (penjaga ruang perpustakaan)
di kala kami sedang berbincang-bincang.
Dengan secangkir
teh hangat dan sepotong roti, kita menikmati dinginnya cuaca hari ini sambil duduk di sebuah kursi. Dia
sangat baik sekali padaku bahkan saat seragamku sedang dikeringkan pun dia pinjamkan
baju hangatnya untuk dipakai.
Kesibukan
merapikan baju basah kini sudah selesai dan sekarang waktunya untuk lahap
santapan yang sudah disediakan pak nardiman.
Tidak lama kemudian pun bel pelajaran pertama sudah berdering yang
menandakan bahwa akan ganti pelajaran kedua, aku segera bergegas untuk pergi ke
kelas.
Dengan
tergesa-gesa kuberlari tanpa melihat arah jalan dan kemudian akhirnya, ohh tidaaak…!!!
Tiba-tiba aku menabrak perempuan sebaya di balik pintu perpustakaan.
Aku pun sangat terkejut,
aku pikir dia siapa? Ternyata… Nisa, yaa ampun hawa panas itu seketika membakar
tubuhku, dan keringat dingin pula terasa bercucuran tanpa aku bisa sadari.
Begitu pun dengan jantungku, berdebar dengan kencang sehingga napas menjadi tak
beraturan. Bibirku saat ini bak terkunci, tak ada kata yang sanggup kuungkapkan
kecuali kata maaf yang gelagapan.
Buku-buku “paket”
yang dibawa oleh Nisa terjatuh berserakkan di mana-mana:
“Oh ternyata dia mau mengembalikan buku-buku
itu,” ucapku dalam hati.
Aku pun jadi
salah tingkah, entah apa yang harusnya kukatakan lagi? Padahal berulang kali
aku minta maaf tapi dia hanya berikan senyuman sebagai tanda jawaban dan makin
membuatku seperti lelaki bodoh di depannya.
Di saat
menegangkan kami berdua rapikan buku yang tercecer dan mata kita saling
pandang. Di sana awal kita bercengkrama, dengan memberanikan diri ulurkan
tangan–kuajak dia berkenalan.
Apa kalian tahu?
“ternyata sebenarnya dia sudah tahu
namaku dari dulu.”
Alasannya sih…
katanya ada teman dia yang naksir aku dan temannya itu sering curhat sama dia tentang aku. Tapi aku tak
begitu peduli ucapannya itu, yang pasti perasaanku kini sangat senang, serasa
ingin terbang melayang jauh di atas awan.
Mentari mulai bersinar
kembali beserta langit mendung perlahan mulai pergi. Derasnya air hujan seakan jadi
saksi bisu awal kita bertemu, berbicara, penuh senda gurau, canda dan tawa.
***
Ini semua bukan akhir dari segala kisahku dengannya
justru ini semua adalah awal cerita aku dan dia. Lewat tulisan suci ini aku akan
abadikan hari-hariku bersamanya di dalam satu buku berjudul “Kekasih Terakhir?”.
Semoga dengan adanya semua ini dia dapat
percaya bahwa diriku sangat tulus menyayanginya. Bahkan aku sudah berjanji tak
akan pernah berhenti menunggunya sampai dia mengakui bahwa akulah yang pantas
untuk dia cintai.
Karena dia adalah cinta pertamaku dan juga
aku percaya bahwa dialah belahan jiwa diriku yang terpisah… Kekasih
Terakhirku....
Hari demi hari terus berganti tanpa
kusadari kami pun semakin dekat dan selalu saling berbagi. Awalnya aku
menelepon ke rumahnya dengan alasan ingin mengajaknya berteman dan sesekali aku
juga menanyakan tentang ekskul basket. Tapi dia selalu saja bicara yang sama bahwa
sahabatnya menyukai aku dan kadang malah bercerita tentang kepribadian orang
itu. Tapi aku tak peduli sedikit pun, karena yang aku cintai hanya Nisa dan aku
rela berkorban demi dia.
Sudah banyak
sekali cerita indah kita lewati meski sampai saat ini belum juga aku temukan
celah hati untuk bisa kusinggahi.
Kadang
ketika malam hari datang, aku selalu berdiri di ketinggian rumahku dan menatap
bintang. Tak jarang aku bicara pada bintang dan angin malam tentang rasa cinta
yang semakin mendalam.
Sempat juga aku
pertanyakan kepada sang merah rembulan:
“Kapankah aku dapat mengimbanginya dan
bisakah aku menaklukan hidupnya?”
Sedangkan kutahu
senyumannya itulah yang selalu mengusik tidurku, juga tatapan matanya itulah
yang membunuh suaraku saat aku ingin ungkapkan cintaku kepadanya.
Selain Tuhan,
tak ada yang kutakuti di dunia ini kecuali mengatakan perasaan cintaku pada
Nisa. Malah banyak orang bilang kalau aku adalah jagoan tapi kalau masalah
perempuan–jujur saja aku adalah pecundang. Aku baru sadar bahwa ternyata
cintalah yang bisa mengalahkan egoku dan melembutkan hati perasaanku.
* * *
Akhirnya di hari yang paling bahagia bagiku telah tiba. Hari ini adalah
hari Sabtu, tanggal 02 September tahun 2000:
Sekolah akan melaksanakan acara pelantikan anggota baru semua bidang ekskul.
Tempatnya di hutan alami yang sudah dirombak dan dijadikan tempat berkemah dan
rekreasi yang diberi nama Taman
Cibodas-Cipanas, Cianjur-Jawa Barat.
Semua
ekstrakulikuler akan berangkat pada hari ini jam 14.00 siang. Rencananya kami
akan berkemah 3 hari 2 malam dalam rangka mengikuti penataran fisik dan mental
agar kami dapat lebih mandiri dalam menghadapi tantangan kehidupan ini.
Dan yang paling
membuatku merasa senang adalah aku mengikuti ekskul basketball sama seperti
Nisa. Jadi artinya selama di perkemahan aku pasti akan selalu berada di
dekatnya seperti apa yang kita janjikan sebelumnya.
Waktu berdetak
di angka 2 itu tandanya kami siap berangkat, sebelumnya bus umum sewaan pun
sudah menunggu di depan pintu gerbang sekolah.
Selama di perjalanan jantung kian
berdebar kencang, khayalan pun terus-menerus memaksaku untuk mengenang bayangannya.
Akhirnya
sesampainya aku di tempat tujuan, semua kelompok segera mendirikan tenda tetapi
ada sebagian juga yang cari bahan bakar untuk acara api unggun nanti malam.
Sore hari, aku dan
Nisa memisahkan diri dari teman-teman yang lain dan pergi jalan-jalan sambil melihat
pemandangan alam. Haru nan riang, yang kunantikan akhirnya datang saat Nisa
menggenggam tanganku dan tersenyum senang. Sepanjang sore itu kami putari
hutan, bermain di sungai dan dia berlari manja aku mengejarnya. Sungguh menyenangkan.
Di
saat malam menjelang, acara api unggun mulai dilaksanakan. Kala ini Nisa ada di
sampingku dan kami bernyanyi di hadapan api yang membara. Kuberanikan diri menggenggam
erat jemarinya lalu dia pun tersenyum tersipu malu. Dan kami masih tertawa gembira
diiringi nada-nada merdu dari suara indah petikan melodi gitar.
Tak pernah seumur
hidup kumerasakan hawa sehangat ini, berada di dekat orang yang selama ini aku sayang
adalah hal yang menyenangkan. Entah kenapa aku tak pernah merasa jemu jika
memandang indah matanya, bibirnya dan juga wajahnya?
Dia seperti rembulan
yang menerangi gelap malamku, menenteramkan hatiku dan mendamaikan tidurku. Dia
juga tak jauh beda dengan matahari pagi yang selalu melindungi senyumku,
meredam egoku dan menenangkan amarahku. Andai waktu dapat aku hentikan, mungkin
selamanya aku ingin terus begini. Selalu berada di dekat Nisa, untuk mendengar
suara lembutnya, memandangi tingkahnya dan kehangatan aura tubuhnya.
Andai kali ini
aku sedang bermimpi, mohon jangan pernah untuk bangunkan aku lagi karena aku
masih ingin tinggal di alam mimpi ini. Tapi sayang, aku tak bisa menghentikan
waktu, 2 jam jadi serasa 2 menit jika berada di sisinya. Akhirnya api unggun telah
padam, saatnya semua tidur dan beristirahat dengan nyaman.
Sinar mentari pagi menyoroti
wajahku dan suara gaduh kicauan burung-burung mulai mengusik pendengaranku,
membuatku pun ikut terbangun dan beranjak pergi mencari kamar mandi umum. Pagi
ini sangat indah sekali kawan, di bukit nan pijakan kaki, berdiriku menatap
keramaian yang sedang bernyanyi dan menari. Berkumpul bersama sahabat di rumput
hijau nan sejuk, sarapan pagi setelah itu kembali lagi menjalani hari.
Acara kali ini
yaitu mendaki gunung dengan tujuan untuk menguatkan otot kaki, semua anggota
putera-puteri Basketball sudah siap untuk mengikuti. Perjalanan ini memang
sangat meletihkan tapi ketika Nisa menggenggam tanganku, terasa dunia sanggup aku
topang dan langkah kakiku pun seakan ringan. Asalkan selalu bersama Nisa,
ribuan bahkan jutaan kilometer pun aku akan mampu bertahan karena dia semangat hidupku
menjadi berkembang.
Ketika
perjalanan mulai mendaki, kami pun saling menjaga dan melindungi. Di saat dia
terjatuh, kuangkat dia lebih tinggi, di saat aku lelah letih pun dia berusaha
menopang pundakku dengan hati-hati, dan kami mulai kembali bernyanyi.
Alangkah
senangnya hatiku di hari ini; bisa tertawa ceria, bisa bercanda bersama oh aku
sungguh bahagia. Lalu aku berbisik di telinganya dan berkata:
“Hidupku ini terasa begitu indah bila kamu
selalu ada di sampingku menemani, Nisa.”
Dia senyum tersipu
malu mendengar rayuan mautku dan sesekali mencubit pinggangku bercanda selayaknya
sedang memarahiku.
Tanpa terasa
kami semua tiba di atas puncak gunung, kami mulai melepas lelah sambil
menikmati angin sejuk yang berhembus dari balik rimbun daun. Dan kami pun menghilangkan
rasa gerah di bawah pohon rindang beralaskan rerumputan. Kini serentak membuka
perbekalan berupa makanan dan minuman sambil mendengarkan pembina dan pelatih sedang
berbincang-bincang.
* * *
Saat malam kedua, tibalah acara api unggun dibuka. Seperti biasanya kugenggam
tangan Nisa di kala api mulai membara. Lalu kami bercerita tentang hari-hari
yang telah dilalui bersama. Begitu cepatnya malam menjadi larut dan perasaanku semakin
kalut. Hati kecil ini berkata tentang rasa cinta tapi rasanya mulut ini tidak
sanggup untuk mengeluarkan suara seakan terkunci oleh tatapan matanya:
“Ya ampun… seberapa hebatkah dia hingga dia
mampu meluluhkan aku bahkan mengendalikan rasa takutku?”
Sedangkan sudah
kuketahui tingkah lakunya itulah yang menjadi deritaku di saat malam tiba. Dan
kadang mengusik tidurku hingga aku selalu terjaga dalam buaiannya. Sampai-sampai
aku tak dapat tidur dan enggan pula terbangun, karena pikiranku selalu saja
memaksa agar terus mengkhayalkannya setiap waktu.
Ketika
aku menggenggam tangan Nisa, ingin sekali kuungkapkan bahwa aku sangat
mencintainya. Tapi dengan beriringan dia seperti dapat membaca pikiranku,
sambil berbalik pandang menatap mataku dia pun bicara:
”Betapa bahagianya Nisa bila selalu berada di
samping Angga, sungguh tak pernah Nisa rasakan kedamaian hati yang seperti ini
sebelumnya. Angga, coba kamu tunjuk satu bintang yang paling terang di atas
langit sana! Nisa mau bintang itu menjadi saksi sumpah ini.”
“Maksud Nisa apa sih, Angga gak ngerti?”
tanyaku memotong pembicaraannya.
“Nisa ingin Angga janji akan selalu menjaga
Nisa, selalu ada di samping Nisa di kala terluka dan yang paling penting lagi, Nisa
gak mau kehilangan Angga. Maka dari itu Nisa
juga ingin Angga janji untuk tak mengkhianati persahabatan yang suci ini. Sebab
Nisa sadar, kita gak mungkin dapat bertahan lama kalau pun kita pacaran. Akan
tetapi kita akan selamanya bersama jika kita terikat di dalam tali persahabatan,”
ucap Nisa padaku.
Ohh...
betapa hatiku jadi menggua membakar ujung rasa, kini yang aku nantikan bukan
lagi untuk cinta tapi demi persahabatan selamanya. Seakan dia tidak pernah ingin
mengharapkan aku untuk menjadi kekasih di hatinya. Pupus sudah rasa cintaku
ketika kudengar ucapannya itu:
“Akankah aku bisa menepati semua janjiku?”
tanyaku dalam hati.
Tetapi ya
sudahlah, dengan terpaksa aku pun menyetujui semua maunya walau akhirnya perasaan
cinta ini mungkin akan selalu menyiksaku selama-lamanya seumur hidupku. Karena
aku tak akan bisa berdalih dan menyanggah pintanya itu sebab kutahu bahwa dia
takkan suka dengar ungkapan cintaku.
Bisa dibilang,
aku keduluan ditolak sebelum aku menembak.
Tapi aku tak ingin menyerah, di sisi lain bagian hati kecilku berkata seraya
berjanji pada bintang yang kita tunjuk:
“Di suatu hari nanti aku yakin sekali bisa menaklukan
tingkah liarmu.”
Semua menari,
mereka bernyanyi di tengah hangatnya bara api tetapi tidak untukku, sepertinya
semangatku hanya tinggal untuk saat ini.
Tak
lama kemudian, acara api unggun malam terakhir sudah berakhir dan semua orang
beranjak pergi untuk istirahat di tenda masing-masing. Kini saatnya semua orang
melepas lelah atas segala yang mereka sudah kerjakan di hari ini. Tapi tak demikian
denganku, karena aku tak mungkin akan tenang oleh semua ucapan yang barusan Nisa
katakan.
Sepertinya aku
sudah tak punya kesempatan lagi untuk mendapatkan cintanya. Tapi aku tak ingin
menyalahkan dia, justru mungkin semua ini salahku juga yang tak tahu malu ada
di tempat yang bukan untukku. Malam ini aku benar-benar gelisah, merana dan tak
sadar tetes airmata bercucuran basahi pipiku.
Aku ingat ketika
pertama kali aku berjumpa dengan Nisa. Saat itu aku selalu sembunyi-sembunyi
hanya ingin melihat dia, melihat senyumannya dan tingkah lakunya. Aku ingat ketika
dia memandangku saat kuterjebak di derasnya hujan, dengan senyuman dia
memberikanku jawaban sebagai tanda perhatian. Juga aku pun ingat di saat
pertama kali aku dan Nisa mulai berkenalan di perpustakaan, mungkin dengan
takdir Tuhan akhirnya kita dipertemukan.
Tetapi sekarang
aku sadar; orang yang kita cintai belum
tentu bisa kita miliki dan orang yang kita miliki belum tentu bisa kita
sayangi.
Seharusnya aku
memang tidak berhak untuk meminta balasan atas apa yang selama ini sudah aku
korbankan, dan juga aku tidak berhak menanyakan atas apa yang selama ini dia berikan.
Wajarnya aku harus bersyukur karena sudah berada di sampingnya pun aku begitu senang
dan aku pasti akan merelakan Nisa untuk pergi bersanding bersama lelaki lain.
Sebab bagiku kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga dan kesedihan dia adalah
penderitaanku juga.
Suara bising dari luar tenda
terdengar begitu peka di telingaku, orang berteriak dengan lantang di pagi hari
menyambut hangat sang matahari. Ketika teman satu tendaku membangunkanku, perlahan
aku mulai berdiri dan mencoba untuk langkahkan kaki. Tapi persendianku terasa seakan
hancur berantakan, aku sedikit kurang tidur tadi malam ditambah lagi kemarin
aku mengikuti perjalanan mendaki gunung. Tapi aku coba paksakan lagi untuk langkahkan
kaki dan pergi mandi lalu sarapan memasak mie instant.
Ini adalah hari
terakhir aku berada di sini dan rencananya pukul 11.30 siang kami pun akan
pulang ke rumah masing-masing. Tak biasanya aku merasa sepi seperti sekarang ini,
entah mengapa Nisa mulai menjauh meninggalkanku.
Aku lalu berjalan
sendiri mengelilingi hutan untuk yang terakhir sambil mencari Nisa yang sulit kutemui.
Kesana-kemari aku lelah mencari, mondar-mandir tapi tetap tak ada hasil.
Hingga di sebuah
air terjun aku melihat Nisa bersama seorang lelaki lain, dilihat dari pakaiannya
dia anak Pramuka kelas 3. Tapi aku tidak tahu siapa dia–sampai kucari tahu
keparat itu bernama Lingga:
“Hancur lebur sudah hatiku, hancurlah juga
perasaanku. Sampai jadi berkeping-keping seperti kau koyak jantungku. Khianati kasih
sayang yang aku berikan untukmu, sekejam itu kamu padaku?”
Mungkin inilah
satu paragraf terdalam yang dapat mewakili perasaanku saat ini. Dan mungkin
juga inilah sebenarnya yang jadi satu alasan Nisa, kenapa dia meminta aku berjanji
menjadi sahabatnya selamanya.
Ya sudahlah, aku
pergi saja sebelum kumulai benar-benar patah hati jika terus lihat mereka berdua
sedang asyik bermain air:
“Sembur sana dan
juga sembur sini, heuh… terlalu kekanak-kanakkan,” ucapku kesal lalu pergi ke
tenda.
Ternyata rasa sedih
yang mendalam ini tidak mudah hilang juga dalam pikiran, masih saja terus
terbayang rasa dendam pengkhianatan menyakitkan. Aku seperti ditikam pisau belati
dari belakang dan itu sungguh menyedihkan.
Sejak
saat kejadian tadi itu, aku semakin jauh dengannya. Aku merasa Nisa sudah tak
punya waktu lagi untukku. Apakah salahku dan apa pula dosaku hingga dia pergi
dariku?
“Apa mungkin karena aku kurang tampan, apa
mungkin karena aku ini kurang kaya ataukah hanya karenanya aku tidak sempurna?”
lamunanku sambil duduk di teras tenda.
Waktu yang
ditentukan untuk pulang telah tiba tapi tak kunjung juga aku lihat Nisa.
Akhirnya yang kudapat dari perkemahan ini hanya kesedihan semata, dimana Tuhan
memperlihatkan bidadariku bercumbu dengan lelaki lain. Dan aku hanya bisa diam
tanpa berbuat apa-apa karena aku sadar bahwa aku ini bukan siapa-siapa dia.
Bahkan mungkin bagi dia, aku hanya sebuah mainan usang yang bila sudah bosan
dia tinggalkan.
Selama di perjalanan pulang aku menangis dalam hati sebagai jejak kesedihan
sepanjang jarak menuju rumah.
Ketika
aku sampai di rumah, rasa lelah bukan lagi jadi pikiranku. Tapi yang ada hanya
rasa marah yang membara di lubuk hatiku ini. Akan tetapi rasa rindu rupanya
telah meraja dan mengalahkan egoku sehingga memaksaku untuk sekedar ingin dengarkan
suaranya.
Bodohnya aku telepon
ke rumahnya, untuk bertanya kabar dan keadaannya. Ternyata dia sedang sakit
sehabis pulang berkemah, aku menawarkan diri mau menjenguknya. Bergegaslah aku pun
mandi dan mengganti baju lalu membawa uang tabungan dan membeli buah-buahan
untuk kuberikan padanya.
Dengan hati yang riang gembira aku pergi ke rumahnya bagai seorang mempelai
lelaki yang ingin mempersunting calon istrinya.
Wooww… jujur
saja ini pertama kalinya aku masuk ke rumahnya yang bagiku terlihat megah bak
istana saja. Tidak pernah aku melihat ruangan rumah semewah ini sebelumnya, aku
jadi merasa minder membandingkan antara kehidupanku dan kehidupan dia yang ternyata
jauh berbeda.
Siapa lelaki
yang tak menyukainya mungkin dia orang gila, pendapat aku Nisa itu… sudah cantik,
pintar, baik hati, inner beauty bahkan orangtuanya tajir pula. Apalagi ketika
aku kini masuki kamarnya, seperti memasuki rumahku sendiri yang sederhana.
Aku bukan ingin merendahkan
diri, tapi pula bagiku harta tiada arti. Sebab cinta suci itu yang mau menerima
pasangannya setulus hati dan itulah suatu hal yang kucari.
Aku pun jadi
sanksi kini, apakah Nisa bisa menerimaku apa adanya bila tahu bahwa kehidupan
kita berdua jauh berbeda?
Aku bisa saja menceritakan
harta orangtuaku berupa tanah yang sangat luas tapi apakah itu sebuah keharusan
untuk dapatkan cinta? Padahal yang aku tahu, cinta itu tanpa syarat dan semua
itu juga milik orangtua kita.
Aku tak butuh
wanita lebih melihat harta dan silsilah keluarga dari seorang lelaki. Aku cuma mau
satu wanita yang mencintaiku apa adanya sebab kita hanya pacaran dan masih
sekolah bukan untuk menikah serta berumah tangga.
Aku juga bukan laki-laki
yang suka memikat wanita dengan cara mengajak dia jalan pakai mobil mewah dan
mengajak ke rumah yang megah. Aku pikir memang dengan cara seperti itulah mungkin
saja kebanyakan wanita akan terpikat. Tapi harusnya kamu ragu, sebenarnya
mereka itu terpikat olehmu atau harta orangtuamu?
Saat
ini Nisa sudah ada di sampingku, seraya merebahkan tubuh di balik selimut dia
menyambut aku dengan gurauan dan senyuman. Tapi sayangnya kita tak berdua, ada
seorang wanita sebaya yang juga menjenguk. Sepertinya kumencium persekongkolan
di sini, aku mungkin dijebak saat Nisa perkenalkan aku padanya–barulah aku
sadar bahwa dialah teman Nisa yang selama ini menyukaiku.
Namanya Merry dan lebih lengkapnya Merry Makdhalena Shelvina, dia itu
berwajah manis serta berperawakkan agak tinggi langsing. Aku tak begitu
mempedulikan Merry tapi Nisa selalu memaksaku untuk menembaknya. Entah bagaimana mulanya aku dan Merry berbicara penuh
canda dan mulai merasa bahwa kita memang seiya-sekata.
Ahhh… tapi tetap
saja semua itu tak dapat menggoyahkan hatiku ini pada Nisa, walau pun Nisa
selalu saja memberi kesempatan pada kami untuk bicara berdua.
Di
saat langit biru itu mulai menguning aku berpamitan pulang pada Nisa. Tapi Nisa
malah terus memaksa aku untuk pulang bersama Merry. Karena Nisa begitu sangat
memohon maka aku menerima permintaannya dan mengajak Merry pulang bareng, ternyata
rumah dia memang searah dengan rumahku.
Di
perjalanan pulang aku dan Merry bercerita tentang banyak hal. Aku bisa mengakui
bahwa kami berdua cukup nyambung bila sedang ngobrol. Sebab dia orangnya amat feminim, pendiam, bersahaja dan juga
asyik kalau diajak bicara. Entahlah setan mana yang merasuki tubuhku hingga aku
berkata minta nomor teleponnya dan malam ini aku berjanji akan menghubunginya.
Banyak hal yang
ingin aku ketahui di balik dirinya, karena jujur aku begitu penasaran dengan
alur cerita hidupnya. Dia seperti menyimpan berjuta rahasia dan entah kenapa
aku seperti ingin menggali semuanya tentang dia di balik sikap diamnya. Baru
pertama kali kubertemu dengan seorang perempuan semisterius dia. Terang saja
aku berkata seperti itu sebab benar-benar aneh, bereka-reka kepribadiannya
membuatku selalu ingin tahu.
Malam itu adalah awal aku mendengar
suara Merry lewat telepon, nampak sekali getaran di dada bergucang entah kenapa?
Sebelumnya aku bingung mau bicara apa lagi tapi berhubung dia itu orangnya intelektual jadi tanpa sadar banyak kata-kata
telah keluar. Kami perlahan mulai curhat dari hati ke hati, di mulai dari masalah
cinta, keluarga, masa lalu dan hobi masing-masing.
* * *
3 hari kemudian sejak terakhir kami pulang berkemah, terdengarlah kabar
Nisa sang bidadariku terserang sakit sampai kini belum masuk sekolah. Rasa
rindu sungguh menyiksa bathinku, rasa-rasanya aku ingin sekali bertemu dengannya
dan meluapkan semua kerinduanku.
Sepulang dari sekolah–ku
cepat-cepat pulang ke rumahku. Dikarenakan hari ini Kepala Sekolah sedang mengadakan
rapat mendadak jadi kami siswa kelas satu dibubarkan sekitar pukul 3 sore.
Setibanya aku di
rumah, aku langsung ganti bajuku lalu cuci muka dan bergegas memetik bunga
milik tetangga. Entah kenapa saat ini serasa sungguh berbeda seakan tak ada
beban di kepala dan aku merasa sangat bahagia:
“Mungkinkah ini satu pertanda bahwa cinta
matiku akan diterima oleh Nisa?”
Awalnya aku bercanda,
kurangkai kata-kata cinta di dalam dada. Bila nanti setiba di rumah Nisa–aku
tak gugup untuk mengatakan cinta padanya.
Selama
perjalanan menuju rumahnya, hatiku mulai gelisah dan jantung mulai berdebar
kencang. Karena jujur saja, di dalam hidupku baru kali ini aku ingin bilang
cinta pada wanita yang sudah lama aku suka.
Sesampainyaku di tempat tujuan, aku malah menjadi stress, aku kaget. Aku
melihat Nisa sedang mengantar kepulangan lelaki yang kemarin kulihat di air
terjun dengannya. Aku pun serentak sembunyi di balik dinding samping rumahnya.
Aku melihat di depan pintu gerbang garasinya, lelaki itu mencium kening Nisa
dengan mesra dan pergi mengucap kata cinta. Anjrittt betapa panasnya aku,
seakan kepalaku ingin meledak saat ini. Bunga mawar yang aku bawa itu kulempar
dan kuinjak-injak, hati mungkin telah membencinya tapi aku tak ingin menjauh
darinya. Dengan segenap jiwa aku coba untuk menganggap kejadian itu tak pernah
ada.
Ketika
lelaki keparat itu sudah menjauh dari pandangan, barulah aku pun mau keluar
dari tempat persembunyian. Tetapi aku malah menjadi bingung, hasratku untuk
menemui Nisa seketika menjadi tak ada. Di sisi lainnya, aku sedang berperang
melawan rindu yang terus menekanku tanpa henti, memintaku agar menemui Nisa
walau sekedar dengar suara dan keadaannya saja.
Akhirnya dipergelutan
antara rindu dan ego telah berakhir, waktunya keputusan akhir dari hatiku yang kecil
bicara. Aku melangkahkan kaki menuju pintu rumah memanggil namanya sebagai
jawaban atas semua pertanyaan. Nisa pun keluar rumah dan kagetnya melihatku,
tapi dengan senyumnya itu juga dia menyambut kedatanganku.
Saat ini jam
menunjukkan pukul 4 sore tapi kulihat di sekitar rumah tampak sepi. Ternyata
baru kutahu bahwa kedua orangtua beserta adiknya pergi jalan-jalan sore ini.
Pikiranku pun menjadi semakin picik padanya:
“Di luar rumah saja mereka sudah berani cium-cium
kening apalagi di dalam rumah kali?” ucapku dalam hati.
Sungguh betapa
rasa kecemburuan ini telah membutakan etika. Rupanya Nisa kini sudah sembuh dan
besok dia bilang baru mau mulai masuk sekolah lagi. Dapat kulihat dari raut
wajahnya yang berseri-seri dan kadang juga suka senyum-senyum sendiri. Apakah
gerangan itu yang membuat dia jadi seperti orang gila, mungkinkah karena
“CINTA?”
Tak
lama kemudian, Nisa mengajakku main Playstation di ruang tengah rumah. Kami bercanda,
tertawa dan bernyanyi bersama. Tapi aku sungguh ingin meledak ketika Nisa
selalu saja menceritakan tentang lelaki keparat itu. Rupa-rupanya dia memang
sedang jatuh cinta seperti apa yang sedang aku rasa kepadanya.
Kesekian kalinya
dia menyebut nama itu, aku pun jadi tak dapat bertahan untuk mengungkapkan
perasaan yang sudah lama aku sembunyikan, aku berkata seraya memandang matanya:
“Nisa… aku benar-benar nggak bisa
terus-terusan nyembunyiin perasaan hati ini sama kamu. Setiap kali nama lelaki
itu kamu sebut, maka setiap kali itu pun percikan bara api membakar hatiku. Aku
hanya ingin mendapatkan tempat terindah di dalam hidupmu, dan aku hanya ingin
menjadi seseorang yang teristimewa di dalam hatimu. Aku ingin kamu tahu bahwa
aku ini selalu memujamu dalam setiap detak hela napasku. Hingga kali ini aku
tak dapat bertahan lagi untuk memendam rasa cinta padamu. Aku mau kamu jadi
kekasih pertamaku Nis…!”
Nisa
yang memandangku dalam jarak dekat itu pun langsung ternganga dan sedikit terkesima.
Dia pikir aku hanya bercanda, tapi akhirnya tak lama dia memberiku jawaban
juga, sambil memalingkan wajah dan acuhkan muka dia pun angkat bicara:
”Asal tau aja yaa Ga… aku pun cinta sama
kamu, tapi apakah dengan alasan seperti itu kita berhak untuk saling memiliki? Tentu
tidak khan Ga, yang dicintai itu belum tentu bisa disayangi. Cinta tak selamanya
harus saling memiliki, sebab cinta itu halnya burung jelita, dia berharap dapat
ditangkap tetapi tidak berharap mau disakiti. Lagian kamu tau sendiri khan? Bahwa
sahabatku Merry lebih duhulu menyayangimu sebelum kamu kenal denganku. Dan jika
aku diizinkan untuk memilih maka aku memilih sahabatku daripada memilihmu. Tapi
aku gak mau kehilanganmu karena masalah ini. Jujur saja, saat aku tersadar telah
mulai menyayangimu maka aku pun berlari dari kenyataan dan mencari orang lain
untuk bisa melupakanmu Angga,” ucap Nisa padaku.
Saat
ini aku terlarut dalam haru, kala dengar semua jawaban yang Nisa berikan padaku.
Sejenak aku berpikir, haruskah demi persahabatan Nisa rela mengorbankan
cintanya dan mendustai hatinya yang membuat dia tertekan oleh keadaan menyedihkan?
Andai semua orang dapat mengerti dengan apa yang sudah kita alami ini.
Banyak orang
bilang cinta pertama hanyalah sebuah mitos
cinta monyet yang tak berarti apa-apa. Tapi inilah kisahku, aku anggap paling
indah dalam hidupku. Aku pun kembali berkata pada Nisa:
”Mungkin aku tak akan bisa memiliki kamu sepenuhnya
namun kumohon izinkanlah diriku untuk mencintaimu selamanya. Sebab aku meyakini
selalu bersamamulah jalan hidupku, berada di dekatmulah nyawa kebahagiaanku.
Dan satu hal lagi, aku tak pernah menyesal karena sudah mencintaimu walau
kutahu kamu telah menyakiti hatiku. Tapi yang aku sesali, mengapa tak sejak
dulu aku mengenal kamu, bukan sahabatmu yang lebih dulu mencintaiku?”
Seminggu berlalu sejak saat kejadian itu Nisa makin menjauh dariku,
mungkin dia sudah tak punya waktu lagi untukku. Tapi selalu kuperhatikan dia
tak pernah lepas dari pandanganku, dia nampak senang tersenyum riang bahagia,
dia jalani indah harinya di sekolah dengan kekasih barunya itu. Aku hanya bisa
diam karena memang aku sudah tak diinginkan. Tapi aku tak pernah dendam karena
bagiku melihat dia selalu tersenyum, bernyanyi dan menari membuatku semakin
membahagiakan hati.
Hingga akhir aku masih ingat saat
itu, pada tanggal 21 September 2000.
Tepatnya 2 minggu setelah Nisa meninggalkanku, aku pun memutuskan untuk
menghapus kesedihan dan mencoba belajar mencintai Merry dengan sepenuh hatiku.
Karenanya dia mencintai aku seperti aku amat mencintai Nisa, dia pun tulus berkorban
untukku sama halnya pula aku yang selalu jujur berkorban rasa untuk Nisa.
Mungkin ini telah menjadi jalan takdirku walau pun aku tahu ini bukan akhir
dari segala penantianku demi dapatkan cinta Nisa.
Akhirnya mulai saat itu aku menjalani hari-hariku bersama Merry hampir di
sepanjang pelajaran kelas 1 SMP berlalu. Tapi walau pun demikian aku tak
mengungkapkan cinta padanya hingga hubungan kami tergantung begitu saja dalam
waktu setahun.
Meski Merry senantiasa
selalu memberi aku kesempatan untuk mengungkap cintaku padanya tapi aku tak
pernah tergoda. Walau yang mungkin semua orang ketahui bahwa aku pacaran dengan
Merry, tapi yang sebenarnya bahwa kita tak ada hubungan yang istimewa. Karena
dalam hatiku telah terlukis wajah indah yang tak mungkin tergantikan oleh
kehadiran perempuan lainnya.
Dialah Nisa seorang
yang selalu memberiku kesejukan dalam setiap khayalnya, walau terkadang memberi
luka dalam setiap tawanya.
***
Catatan akhir kisah cinta
pertamaku untuk Nisa:
”Segala hal terindah tentang kita, tak bisa kulihat dan kusentuh
kembali karena semuanya itu hanya bisa kurasakan dengan perasaan HATI.”

So sweet, dalem... clepp..
BalasHapus