SELAMAT TINGGAL
Sejak Nisa kembali, sejak saat itu hari kian berlalu penuh arti. Akhirnya
mimpi yang pernah terjadi 5 tahun yang lalu itu mulai mekar lagi layaknya di
penghujung musim semi. Kami berlari menyongsong mentari, mulai bercerita
tentang hari berkesan selama kami saling pergi.
Meski
waktu begitu cepat berlalu tapi seakan lupa bahwa kami kini sudah dewasa.
Rasa-rasanya aku kembali lebih muda 5 tahun saat berbicara lagi dengannya.
Ada
yang menarik tentang kami kini, bahwa sekarang aku menjadi ketua basket di
SMAku sementara dia pun menjadi salah satu pemain terbaik di sekolahnya. Yang
lebih membuatku amat senang lagi, saat-saat ini klub basket sekolahku dan
sekolah dia sering latihan bersama-sama di lapang basket gedung wismakarya di
jantung kota.
Kalau
di pikir-pikir, aku jadi ingat lagi kenangan aku dan Nisa di lapang basket ini
5 tahun yang lalu–saat aku dan dia pertama kali nonton pertandingan basket.
Sayangnya waktu itu Nisa masih belum mengenalku tetapi aku malah sudah menjadi
pengagum rahasianya.
Pada
dasarnya aku menggilai basket karena terpengaruh oleh Nisa yang sangat hobi
sekali permainan itu. Aku sendiri berjuang mati-matian agar terpilih menjadi
ketua basket karena aku sungguh ingin Nisa bangga melihat perkembangan
permainanku. Ya alhasil aku juga terpilih sebagai pemain terbaik di teamku dan
bahkan di juluki si tangan kidal.
Saat
ini yang sedang membuat aku senang ternyata Tuhan memberi kesempatan padaku lagi
untuk latihan basket bersama Nisa. Rasa-rasanya detik ini aku ingin tiba-tiba jadi
mendadak paling jago di antara semua orang yang sedang latihan disini. Tentu
saja agar aku bisa mencuri sedikit perhatian Nisa tuk melirik padaku.
Sungguh
ku rasakan sejak di hari awal aku menjadi ketua basket dan dekat dengan Nisa
lagi–sejak saat itu pun aku merasa seakan diriku menjadi lebih berharga untuk
semua orang. Kadang aku juga merasa tahun ini seperti tercipta untukku saat ku
rasakan semua orang di sekitarku memujiku dan meninggikan hatiku.
Apalagi
selama berhari-hari ini bahkan berminggu-minggu aku dan Nisa pun sering bersama
kembali, saling menghubungi lewat telepon rumah atau SMSan lewat HP. Tapi tetap
saja ku sadari, tak kulihat sedikit pun celah hatinya untuk bisa ku singgahi.
Tak pernah ku mengerti mengapa saat ini dia belum bisa mencintaiku dan menerima
semua kekuranganku.
Hingga
akhirnya di ujung penantiaku, aku mulai jenuh untuk selalu menunggunya
menyayangiku. Sesungguhnya aku masih bisa bertahan sampai sekarang ini pun: “Coba
kalian bayangkan selama ini aku belum pernah pacaran hanya karena untuk menanti
Nisa mau menjadi kekasih pertamaku.”
Akan tetapi apa
yang sudah dia perbuat padaku? Aku sekarang sudah kelas 2 SMA yang patut malu
karena belum pernah sekali pun merasakan pacaran, sampai-sampai aku sudah muak
dengan anggapan teman-temanku yang bilang bahwa aku “gak laku-laku” juga.
Selama hampir 2
ribu malam terakhir ini aku terluka oleh permainan cinta Nisa, bak ditikam
belati bertubi-tubi seakan hidupku tak punya arti.
Tetapi cukup harus
aku akui: “Semua kepedihan itu telah
terbayar oleh bakat seniku dan menjadi hal yang terbaik untukku kini.” Coba
kalian bayangkan bila aku tidak terluka oleh Nisa? Mungkin aku takkan bisa
menjadi seorang penulis seperti saat
ini.
Apalagi di
banding sebelum mengenal Nisa: “Kala itu
hidupku penuh dengan intrik dan kekerasan,” yang kerjaan sehari-harinya hanya
di habiskan untuk berkelahi, mabuk-mabukkan dan memperbudak banyak lawan.
Beda setelah aku
pertama kali jumpa dengan Nisa: “Dia
telah mengenalkanku pada kelembutan,” terlebih keanggunannya itu bak
seperti malaikat yang memusnahkan segala keangkuhanku. Dia juga telah merubah
hidup aku dengan kelembutan dan perhatiannya, lalu dia pun telah mengajari aku
cara berkasih yang bijaksana.
Sebelumnya aku tak
pernah sekalipun membayangkan akan menjadi lelaki selembut dan seromantis ini.
Ketimbang pekerjaanku setiap malamnya hanya membuat puisi, lagu bahkan melukis
wajah Nisa.
Sungguh
saat-saat bersamanya menjadi saat yang paling berkesanku selama hidup di dunia
ini.
Jika ingin tahu
lebih jelasnya lagi saat-saat pertamaku mengenal Nisa, kalian bisa tonton film
karyaku yang berjudul Terima Kasih Cinta yang
kubuat pada bulan Februari-Maret 2005 di channel youtubeku Angga Nudatar.
Master film itu berdurasi 70 menit sebelum pemotongan dan kisahnya terinspirasi
dari sebuah cerita cintaku bersama Nisa. Di film tersebut sudah ku paparkan
tentang semua cerita hidupku dari ketika aku masih menjadi seorang anak nakal
hingga kini kubisa lembut karenanya.
Aku mengucapkan banyak
terima kasih pada cinta Nisa yang mampu merubah hidupku menjadi lebih berarti,
hingga sampai saat ini aku menjadi sang penyair di awal abad yang mempunyai
kelembutan hati.
***
Dengan bangga,
satu minggu yang lalu aku telah memberikan kaset film TKC itu pada Nisa. Ku katakan
juga padanya bahwa film itu menjadi juara film
terfavorite di ajang Festival Film Pelajar Jawa Barat 2005. Aku pikir Nisa
akan bangga padaku dan aku berangan dia saat itu mau menerima cintaku.
Tapi apa yang
terjadi? Nisa tetap saja menolak cintaku
bahkan aku pun lupa sudah kesekian kalinya aku di tolak olehnya. Aku tak pernah
mengerti apa sebenarnya maunya itu, apa memang selamanya aku ini tak berharga
di matanya?
Akhirnya aku
menangis untuk yang kesekian kalinya. Ini memang bukan hal pertama dia melukaiku
tapi tak pernah sedalam ini. Aku memang sudah biasa dia kecewakan sejak dulu
tapi tak pernah ku rasakan sesakit ini.
Kenapa Nisa tak pernah
mau mencoba untuk mengerti bahwa aku sangat tergila-gila padanya?
Saat ini di
detik inipun aku benar-benar menyerah untuk menaklukkan hatinya lagi.
***
Hingga di ujung suatu
cerita terakhir, selang beberapa hari dari setelah Nisa menolak cintaku
tepatnya pada Tanggal 26 April 2005 aku memutuskan tuk pergi lagi
ke rumahnya–menemui Nisa membicarakan sesuatu.
Aku datang ke rumahnya sekitar jam 7 malam. Saat ini sudah ku bulatkan
tekad untuk mengatakan semuanya tentang segala yang kurasa sebelum aku lega berniat
pergi darinya.
Jika kalian
bertanya kenapa aku ingin pergi meninggalkan Nisa malam ini?
Jawabnya ada di
hatiku, sudah selalu tersimpan selama ribuan malam sejak pertama kali aku jatuh
cinta padanya.
Saat ini aku
sudah ada di rumah Nisa, dia pun sudah berada di depan mataku. Kami bicara di
teras rumah sambil menikmati langit malam yang di penuhi bintang.
Langsung saja
aku utarakan maksudku datang kesini, prihal kepastian cintaku yang terakhir
kali sebelum aku benar-benar pergi.
Aku amat berharap
untuk yang terakhir cintaku–malam ini dapat terjawab agar segala kekecewaan
dalam hatiku selama ini pun dapat terbayarkan.
Tapi lihatlah
sikapnya saat ini, dia tak sedikit juga memperhatikan kata-kataku yang sangat
serius ini. Sungguh membuatku merasa muak dan ingin teriak di depannya. Mengapa
sampai saat ini pun dia tak pernah menghargai perasaanku?
Aku sekarang datang
kesini melainkan hanya untuk memintamu dapat menjawab satu pertanyaanku: “Apakah sampai dengan selama ini kamu pernah
mencintaiku walau hanya sedetik terlintas di otakmu?” itu saja.
Tapi dia masih tetap
tidak begitu ingin memperhatikanku sehingga membuatku makin ingin menangis.
Jauh di lubuk
hati kecilku berkata: “Ini adalah malam
pertamaku paling bahagia bila dia mau jadi kekasihku. Tapi disisi lain, ini
juga menjadi malam terakhirku seandainya dia masih bersikeras mengabaikan
cintaku.”
Sudah kuduga
bahwa dia tak pernah berniat untuk menerima cintaku. Dan mungkin sepanjang dia
mengenalku, tak pernah sekali pun terlintas untuk mencintaiku.
Aku menjadi
makin frustasi saat lihat tingkahnya seperti anak kecil saat ini. Sungguh
hatiku menangis sangat deras ketika dia selalu bercanda-canda di depanku.
Kemudian aku
berkata lagi pada Nisa: “Sebenarnya malam
ini jadi malam terakhir aku menemuimu Nisa. Aku juga berjanji pada kamu untuk
tidak mengganggu kehidupanmu lagi. Sampai
nanti pun andai kita kan bertemu lagi, sebaiknya kita belajar pura-pura untuk saling tak kenal satu
sama lain, itu saja.”
Aku tak tahu
apakah aku bisa menepati sumpah bodohku ini? Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi yang pasti cinta ini tak akan
pernah mati sampai aku kembali menemuinya pun lagi di suatu hari.
Ini adalah kalimat
terakhir sebelum aku pergi melangkah dari rumahnya: “Nisa… aku berikan padamu piala
penghargaan pertama dari karyaku menjadi pemenang film favorite ini sebagai
tanda aku berikan rasa hormat karya dan seni cintaku untukmu.”
Lalu setelah pembicaraanku terakhir itu aku pun beranjak pergi dari
rumahnya tanpa adanya salam perpisahan terucap keluar dari mulutnya. Bahkan
sementara kulihat dia untuk yang terakhir kali wajahnya seperti berseri seakan
tak merasa sedih akan kepergianku ini.
Padahal saat ini
juga, aku ingin sekali dia menjegal langkahku dan berkata: “Jangan tinggalkan aku, aku mohon.”
Atau aku berangan
seandainya saat ini dia menarik erat tanganku dan berkata: “Aku sungguh mencintaimu Angga, dan aku nggak mau kamu pergi.”
Tapi… tapi…
Aachh… persetan. Dia malah membiarkanku pergi begitu saja tanpa dia cegah.
Sungguh menyedihkan, rasanya aku ingin mati saja saat ini.
Berlalu aku pun meninggalkan rumah Nisa dengan perlahan hingga hilang di
ujung pandang. Malam ini aku sendiri berjalan diatas dua roda menuju jalan
raya. Kukayuh sepeda besiku dengan sangat kencang melebihi angin malam lalu
hilang di telan kabut hitam.
Meskipun kini
aku sudah bersumpah tak akan mengganggu hidupnya lagi tapi hati kecilku sempat
berjanji bahwa suatu hari nanti aku pasti kembali. Bukan hanya piala kecil
seperti itu saja yang nanti akan aku berikan untuknya tapi akan ku kabarkan
kepopuleran aku di mata dunia kepadanya. Hingga aku berikan awardku, ku
wariskan semua kekayaan karyaku bila aku mati hanya untuknya. Karena cita-cita
terbesarku adalah ingin menghabiskan waktuku berada di sampingnya, menyandarkan
matiku di peluknya.
Karena sebab itulah
aku menjadikan Ending (film Terima Kasih
Cinta karyaku) jadi bad ending ketika aku harus rela mati demi cinta Nisa,
tapi setidaknya aku bahagia karena dia telah merubah hidupku menjadi lebih baik
ketimbang aku sebelum mengenalnya. Dan di ending film itu aku bahagia karena
bisa mati di pelukkannya. Aku selalu berdoa pada Tuhan jika memang di dunia ini
aku tidak bisa miliki cinta Nisa maka biarkanlah aku mati nanti di dalam
dekapannya.
Selamat tinggal
Nisa: “Meski nanti kau sudah melupakanku
tapi aku takkan pernah berpaling dari cintamu itu. Meski memang aku bukan cinta
pertamamu tapi kau adalah cinta pertama dan terakhir untukku selamanya. Aku
meninggalkanmu karena alasan yang aku rahasiakan (ada di cerita berjudul
Indekost selanjutnya) dan semata-mata juga karena ingin menjemput impianku
sebagai legenda Sang Penyair di awal abad. Ketika aku telah berhasil mewujudkan
mimpiku itu maka aku akan datang untuk kembali menemuimu dan bahkan memintamu tuk
menjawab pertanyaan aku ini; Apakah kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku
nanti?”
Mohon jawab pertanyaanku ini saat aku kembali menemuimu.
***
Aku tuliskan pesan terakhir ini untukmu sebagai ungkapan kesedihanku.
Aku tak menginginkan untuk jauh darimu karena sungguh aku tak bisa tanpamu.
Pesan terakhir dari pena untuk Nisa:
Cianjur, 30 April 2005
Malam ini sangat terasa begitu sunyi–aku benci bila harus terus begini,
aku sungguh jenuh dengan penat yang menyelimuti hati ini. Denting berbunyi dari
balik dinding kamarku seakan ikut mengiringi resah gusarku. Saat ini aku tak
bisa lepaskan rasa lelah, gundah atau pun kantuk–itu semua bukan karena nyamuk
yang menggigit tubuhku tapi karena bayangan masa lalu yang selalu mengganggu
pikiranku.
Andai saja Nisa
tidak menyakiti hatiku mungkin aku takkan menderita seperti ini dan atau aku
sudah terbebas dari penjara yang mengurung semu kisah cintaku lalu aku sudah
terbang jauh ke langit ketujuh. Ahh... tapi semua itu tak akan mungkin terjadi
padaku karena semuanya hanyalah bualan canda saja agar aku merasa terhibur dari
dunia yang jauh mengabur.
Tidak lama
kemudian aku tuliskan kembali tentangmu di sebuah kertas putih ini. Terasa
percuma memang kukenang masa lalu jika semua keindahannya itu tidak mungkin ku
miliki, cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan dan selalu diakhiri oleh
kesakitan.
Bila kamu tidak
percaya, tanyakan saja pada angin yang berhembus bahwasanya aku mencintaimu
dengan hati yang tulus. Meski kusadar mengejarmu ibarat melukis di atas air
yang mengalir. Percuma takkan bisa kupungkir karena aku memanglah binatang
jalang yang menyedihkan. Hingga wajar saja kau tak mau bukakan pintu hati yang
telah lama kuketuk. Tapi tak jadi apa, memang mungkin semua ini salahku juga
yang tidak tahu malu berada di tempat yang bukan untukku. Bahkan wajar saja kau
tidak pernah mau berjalan beriringan bersamaku. Dan pantas kau selalu
menghindar bila aku berkata sayang kepadamu. Ku akui semua itu adalah suatu
alasan yang sungguh sempurna yang selalu hantui kegundahanku.
Dan melemahlah
akhirnya sendi tulang punggungku, rohku seakan terpisah dari jasad dan terbang
bersama resah. Dan biarkan aku pergi jauh serta jangan pernah mencoba untuk
mencariku. Takkan kau temukan aku di atas dalamnya kuburanku karena takkan ada
batu nisan di atas tidur panjangku. Cinta, jiwa dan hatiku kini telah mati
untukmu kecuali satu hal yang tertinggal hanyalah pesan terakhir dari pena: “Niscaya cinta itu akan membawamu datang
kepelukanku, kita nantikan saja hari itu.”
Tiba-tiba nada
jam menyadarkan aku dari lamunan panjang, berderap perlahan ku langkahkan kaki
ke arah menuju suara. Samar-samar terlihat ternyata sekarang sudah pukul 12
malam tapi mengapa aku belum bisa tidur selarut ini?
Tak berapa lama
kemudianpun di akhir cerita malaikat mimpi penuhi segala pintaku ini. Dengan
perlahan tertutuplah bola mataku yang berisi kobaran bara api ini.
***
Waktu berjalan dan berlari semakin cepat, ayam jago kepakkan sayapnya dan siap untuk berteriak. Juga dengan si raja siang yang mulai tampakkan wujudnya bersama sinar pagi yang dibawanya dari balik bilik birunya langit. Semua makhluk Tuhan kini menyambut fajar dengan riangnya tetapi tidak diriku, sepertinya pemberat di mata indahku ini takkan sanggup kuangkat dari pembaringanku di ranjang. Ku sesali kali ini hari panjang tak bisa ku nikmati, yang ada hanya lelahku senantiasa menemani. Aku janjikan pada bunga tidur bahwa bayang wajahmu akan hadir tuk yang terakhir kali di malamku tadi, Nisa.
Begitu panas
membakar tubuh seakan matahari ingin membangunkan lelah lelapku. Aku ikuti apa
yang Ia mau, ku berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu. Awal saat itu semakin
ku sadari bahwa waktu adalah sisa dari kehidupanku.
Saat aku lewati
pintu kamarku rasanya ada sesuatu yang baru “dunia
baru bagiku” dan seketika ingin sekali ku melupakan cinta untuk sementara
lalu bertekad menjemput cita dan harapan di persimpangan jalan. Karena ku
sadari juga pahitnya masa depan dari seorang yang hidupnya hanya menanti sebuah
jawaban yang tak pernah pasti.
Ini adalah hidup
baruku, ku ingin tidak seorangpun yang akan mengganggu–tidak juga denganmu
Nisa.
Kiniku mengerti
tentang sesungguhnya arti hidup yang kekal abadi. Bahwa makna hidup bukan
seperti hijaunya daun yang akan terjatuh di saat ia sudah menguning. Atau hidup
bukan layaknya lilin yang selalu setia menerangi dunia tetapi ketika padam ia
akan dilupa. Hidup bagiku adalah suatu perjuangan yang di mulai sejak kita di
lahirkan. Hargailah sekeranjang buah kehidupan itu dengan hal bertumpu
kebenaran seperti yang pernah kau janjikan pada Tuhan sebelum kau di hidupkan.
Karena hidup adalah waktu dan waktu adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Begitu pun
dengan alunan syair salah satu puisi kesukaanku ini:
Untuk dapat memahami waktu satu tahun
tanyalah pada seorang yang terkurung dalam penjara.
Untuk dapat pahami makna satu bulan
tanyalah pada seorang bunda yang sedang
mengandung bayi pertamanya.
Untuk dapat memahami makna satu usia
tanyalah pada orangtua yang membesarkan anaknya.
Untuk bisa pahami makna satu minggu
tanyalah pada wartawan majalah mingguan.
Untuk dapat mengerti arti satu hari
tanyalah pada seorang pekerja buruh harian.
Untuk bisa mengetahui arti satu jam
tanyalah pada seorang yang tidak sabar
menunggu jawaban.
Untuk bisa mengerti arti satu menit
tanyalah pada seorang pelari yang meraih medali.
Dan untuk bisa mengetahui arti satu detik
tanyalah pada seorang pengemis yang lapar mencari makan.
Maka terasalah
derap roda kehidupan akan terus berputar dan semakin cepat mengejarmu. Maka
janganlah kau mencoba untuk berhenti dari lari karena sebuah waktu akan selalu
siap menerkam jalanmu nanti.
***
Dan kini aku
merasa bagaikan seorang manusia bisu tanpa bicara sepatah kata pun. Bukan
karena aku tidak bisa bicara tapi begitu berat jika aku harus berbicara.
Mungkin tak harus berkata dan apa yang harus ku katakan? Ini memang masalah
hati dan mulut yang tak bisa sembarangan aku ucapkan. Tapi aku tak bisa
terus-terusan begini, mungkin aku perlu waktu untuk bicara–apakah hari ini atau
besok? Aku benar-benar tak tahu.
Mudah-mudahan
Tuhan memberikan waktu untukku karena Dialah Maha yang akan berikan jalanku.
Jika memang Nisa itu adalah suratan takdirku, aku percaya Tuhan tak akan
merenggutnya dariku.
Mungkin bunga
yang di tuai takkan lama lagi bertahan tapi cinta yang kusimpan bahkan sanggup
menembus hati paling dalam. Mungkin bunga yang layu takkan utuh lagi mewangi
karena semua rasa pasti pergi dan tak mungkin terpatri kembali. Seperti hatinya
yang bagai besi yang mudah suka dan mudah pula lupa terhadap orang yang tercinta.
Aku malah seperti
bagai baja padamu Nisa, yang abadi mencinta dan merekat pekat seakan satu jiwa:
“Jagalah bunga itu agar tetap utuh karena
disanalah arti cinta bagiku, tidak bagimukah”.
Aku ingin selalu
denganmu Nisa walau dicerca dan dihina tapi inilah cinta yang minta. Akan aku
tunjukkan cintaku takkan pernah mati walau kau jauh dariku meski kau lupakan
aku bahkan sampai ke ujung dunia pun kukejar dirimu. Aku akan buktikan bahwa
aku selalu setia untuk cintamu, setia untuk rindukanmu dan selalu dambakanmu.
Walau pun seribu bidadari yang akan hampiriku sungguh takkan bisa membuatku
tergoda menduakanmu.
Tetapi justru di akhir jawabanku, ku temukan
celah luka yang akan mungkin selalu kembali menyayat hatiku. Satu minggu yang
lalu itu pun aku lingkari kalendernya 26 April 2005 aku telah menemui Nisa untuk yang terakhir
kalinya dan ku bersumpah padanya takkan mengganggu hidupnya lagi.
Gelabah nan
bimbang karena esa dua tali harapan terputus terbang. Tangisku adalah saksi
gusarku dan bibirku adalah saksi ucapku. Tapi yach sudahlah, enyah saja kau
pergi Nisa toh mungkin itu yang selama ini kau mau. Tak mengapa bila kita
takkan bertemu lagi, asal kau berada di khayalku maka aku sudah cukup
senang–aku bangga mencintaimu.
Hingga ketika
angin malam itu telah berhembus, tak ku rasakan lagi kesejukannya dan ketika
bintang malam tak lagi bersinar–tak ku dapatkan lagi kehangatannya. Ohh… gelap
malam, bawalah rasa rinduku ini terbang. Tak perlu sampaikan pada bulan jika
bulan tak lagi bercahaya. Tak perlu sampaikan pada bintang jika bintang
tertutup awan hitam. Jika semua tak ingin tahu, sampaikan saja salam rinduku
itu pada samudera biru penantianku. Agar terbawa ombak dan beradu dengan
karang, agar semua hancur menjadi buih lalu bersatu dengan alam.
Kadang aku
berpikir bahwa hidup ini tak adil, perempuan yang ku cintai selalu diam tak
peduli. Aku merasa hidupku hampa, tak ada satu pun wanita yang mau dengar cerita:
“Tentang ku terluka, mengeluh dan kecewa
pada duniaku yang tak sempurna”. Padahal aku ingin merasakan cinta seperti
layaknya manusia biasa.
Kini aku akan
tertidur sendiri tanpa rohku yang mengisi ruang jiwaku. Ku biarkan malam ini
berlalu begitu saja tanpa ku nikmati kehangatannya.
***
Disaat
pagi kembali datang maka tak ku izinkan ia memasuki kamarku. Persetan dengan
pagi ini mungkin aku rasa tidak ingin bangun lagi dan biarkanlah aku lepas
kembali bermimpi. Hidup dalam khayalan sendiri lebih menyenangkan daripada
harus terus menjalani kenyataan yang penuh dengan kepedihan.
Ketika
setitik cahaya menerobos kamar di pagi ini seperti tak ada gairah karena aku
tak bisa melihatnya tersenyum lagi. Mungkin karena belum terbiasa, ketika
kubuka jendela–burung-burung seolah enggan untuk bernyanyi dan pandangan alam
yang kulihat seolah ingin mengejekku, semua melihat padaku bagai aku makhluk
lemah.
Bibirku ini
tertutup oleh pilu, ingin aku berteriak memanggil namamu. Tapi ku tahu semua
itu percuma, pagi ini dan seterusnya kau takkan tersenyum lagi padaku hingga
akan ku biarkan pagi tanpa senyuman.
Akhirnya pada Tanggal 26 April
2005. Tepatnya ketika Sang Penyair duduk di ujung kelas 2 SMA. Dia memutuskan
untuk tidak mengganggu hidup Nisa lagi, tapi itu bukan berarti dia takkan
kembali karena dia sempat berjanji dalam hati untuk menemui Nisa lagi ketika
novel KEKASIH TERAKHIR ini selesai
di buat.
Seminggu setelah Sang Penyair sudah
memutuskan untuk tak mengganggu kehidupan Nisa lagi, dia mulai menjalani
hari-harinya di sebuah rumah kost dekat sekolahnya.
Itu salah satu alasan dia ingin
sekali pergi sejauh mungkin dari kehidupan Nisa walau sejarak 16 KM dan mencoba
untuk hidup baru di rumah kost itu. Sampai dengan mencoba menghabiskan satu
tahun terakhir lagi masa pendidikan SMAnya.
Dan apalagi yang terjadi dengan
kisah cinta Sang Penyair ketika menjalani hidup di rumah kost tersebut?
Apabila ingin tahu jawabannya maka
semua cerita itu bisa kalian dapatkan di Novel Kekasih Terakhir 2 yang di mulai
dengan judul Indekost sebuah mahakarya ke 8
Sang Penyair di awal abad (Angga Nudatar).”
Bersambung…
Bagus kisahnya...
BalasHapuswajib baca!
Masa SMA memang hal yang terindah...
BalasHapus