Jumat, 05 Mei 2017

Kekasih Terakhir Eps 3 : Selamat Tinggal




SELAMAT TINGGAL

Sejak Nisa kembali, sejak saat itu hari kian berlalu penuh arti. Akhirnya mimpi yang pernah terjadi 5 tahun yang lalu itu mulai mekar lagi layaknya di penghujung musim semi. Kami berlari menyongsong mentari, mulai bercerita tentang hari berkesan selama kami saling pergi.
            Meski waktu begitu cepat berlalu tapi seakan lupa bahwa kami kini sudah dewasa. Rasa-rasanya aku kembali lebih muda 5 tahun saat berbicara lagi dengannya.
            Ada yang menarik tentang kami kini, bahwa sekarang aku menjadi ketua basket di SMAku sementara dia pun menjadi salah satu pemain terbaik di sekolahnya. Yang lebih membuatku amat senang lagi, saat-saat ini klub basket sekolahku dan sekolah dia sering latihan bersama-sama di lapang basket gedung wismakarya di jantung kota.
            Kalau di pikir-pikir, aku jadi ingat lagi kenangan aku dan Nisa di lapang basket ini 5 tahun yang lalu–saat aku dan dia pertama kali nonton pertandingan basket. Sayangnya waktu itu Nisa masih belum mengenalku tetapi aku malah sudah menjadi pengagum rahasianya.
            Pada dasarnya aku menggilai basket karena terpengaruh oleh Nisa yang sangat hobi sekali permainan itu. Aku sendiri berjuang mati-matian agar terpilih menjadi ketua basket karena aku sungguh ingin Nisa bangga melihat perkembangan permainanku. Ya alhasil aku juga terpilih sebagai pemain terbaik di teamku dan bahkan di juluki si tangan kidal.
            Saat ini yang sedang membuat aku senang ternyata Tuhan memberi kesempatan padaku lagi untuk latihan basket bersama Nisa. Rasa-rasanya detik ini aku ingin tiba-tiba jadi mendadak paling jago di antara semua orang yang sedang latihan disini. Tentu saja agar aku bisa mencuri sedikit perhatian Nisa tuk melirik padaku.
            Sungguh ku rasakan sejak di hari awal aku menjadi ketua basket dan dekat dengan Nisa lagi–sejak saat itu pun aku merasa seakan diriku menjadi lebih berharga untuk semua orang. Kadang aku juga merasa tahun ini seperti tercipta untukku saat ku rasakan semua orang di sekitarku memujiku dan meninggikan hatiku.
            Apalagi selama berhari-hari ini bahkan berminggu-minggu aku dan Nisa pun sering bersama kembali, saling menghubungi lewat telepon rumah atau SMSan lewat HP. Tapi tetap saja ku sadari, tak kulihat sedikit pun celah hatinya untuk bisa ku singgahi. Tak pernah ku mengerti mengapa saat ini dia belum bisa mencintaiku dan menerima semua kekuranganku.
            Hingga akhirnya di ujung penantiaku, aku mulai jenuh untuk selalu menunggunya menyayangiku. Sesungguhnya aku masih bisa bertahan sampai sekarang ini pun: “Coba kalian bayangkan selama ini aku belum pernah pacaran hanya karena untuk menanti Nisa mau menjadi kekasih pertamaku.”
Akan tetapi apa yang sudah dia perbuat padaku? Aku sekarang sudah kelas 2 SMA yang patut malu karena belum pernah sekali pun merasakan pacaran, sampai-sampai aku sudah muak dengan anggapan teman-temanku yang bilang bahwa aku “gak laku-laku” juga.
Selama hampir 2 ribu malam terakhir ini aku terluka oleh permainan cinta Nisa, bak ditikam belati bertubi-tubi seakan hidupku tak punya arti.
Tetapi cukup harus aku akui: “Semua kepedihan itu telah terbayar oleh bakat seniku dan menjadi hal yang terbaik untukku kini.” Coba kalian bayangkan bila aku tidak terluka oleh Nisa? Mungkin aku takkan bisa menjadi seorang penulis seperti saat ini.
Apalagi di banding sebelum mengenal Nisa: “Kala itu hidupku penuh dengan intrik dan kekerasan,” yang kerjaan sehari-harinya hanya di habiskan untuk berkelahi, mabuk-mabukkan dan memperbudak banyak lawan.
Beda setelah aku pertama kali jumpa dengan Nisa: “Dia telah mengenalkanku pada kelembutan,” terlebih keanggunannya itu bak seperti malaikat yang memusnahkan segala keangkuhanku. Dia juga telah merubah hidup aku dengan kelembutan dan perhatiannya, lalu dia pun telah mengajari aku cara berkasih yang bijaksana.
Sebelumnya aku tak pernah sekalipun membayangkan akan menjadi lelaki selembut dan seromantis ini. Ketimbang pekerjaanku setiap malamnya hanya membuat puisi, lagu bahkan melukis wajah Nisa.
Sungguh saat-saat bersamanya menjadi saat yang paling berkesanku selama hidup di dunia ini.
Jika ingin tahu lebih jelasnya lagi saat-saat pertamaku mengenal Nisa, kalian bisa tonton film karyaku yang berjudul Terima Kasih Cinta yang kubuat pada bulan Februari-Maret 2005 di channel youtubeku Angga Nudatar. Master film itu berdurasi 70 menit sebelum pemotongan dan kisahnya terinspirasi dari sebuah cerita cintaku bersama Nisa. Di film tersebut sudah ku paparkan tentang semua cerita hidupku dari ketika aku masih menjadi seorang anak nakal hingga kini kubisa lembut karenanya.
Aku mengucapkan banyak terima kasih pada cinta Nisa yang mampu merubah hidupku menjadi lebih berarti, hingga sampai saat ini aku menjadi sang penyair di awal abad yang mempunyai kelembutan hati.

***
Dengan bangga, satu minggu yang lalu aku telah memberikan kaset film TKC itu pada Nisa. Ku katakan juga padanya bahwa film itu menjadi juara film terfavorite di ajang Festival Film Pelajar Jawa Barat 2005. Aku pikir Nisa akan bangga padaku dan aku berangan dia saat itu mau menerima cintaku.
Tapi apa yang terjadi?  Nisa tetap saja menolak cintaku bahkan aku pun lupa sudah kesekian kalinya aku di tolak olehnya. Aku tak pernah mengerti apa sebenarnya maunya itu, apa memang selamanya aku ini tak berharga di matanya?
Akhirnya aku menangis untuk yang kesekian kalinya. Ini memang bukan hal pertama dia melukaiku tapi tak pernah sedalam ini. Aku memang sudah biasa dia kecewakan sejak dulu tapi tak pernah ku rasakan sesakit ini.
Kenapa Nisa tak pernah mau mencoba untuk mengerti bahwa aku sangat tergila-gila padanya?
Saat ini di detik inipun aku benar-benar menyerah untuk menaklukkan hatinya lagi.

***
Hingga di ujung suatu cerita terakhir, selang beberapa hari dari setelah Nisa menolak cintaku tepatnya pada Tanggal 26 April 2005 aku memutuskan tuk pergi lagi ke rumahnya–menemui Nisa membicarakan sesuatu.
Aku datang ke rumahnya sekitar jam 7 malam. Saat ini sudah ku bulatkan tekad untuk mengatakan semuanya tentang segala yang kurasa sebelum aku lega berniat pergi darinya.
Jika kalian bertanya kenapa aku ingin pergi meninggalkan Nisa malam ini?
Jawabnya ada di hatiku, sudah selalu tersimpan selama ribuan malam sejak pertama kali aku jatuh cinta padanya.
Saat ini aku sudah ada di rumah Nisa, dia pun sudah berada di depan mataku. Kami bicara di teras rumah sambil menikmati langit malam yang di penuhi bintang.
Langsung saja aku utarakan maksudku datang kesini, prihal kepastian cintaku yang terakhir kali sebelum aku benar-benar pergi.
Aku amat berharap untuk yang terakhir cintaku–malam ini dapat terjawab agar segala kekecewaan dalam hatiku selama ini pun dapat terbayarkan.
Tapi lihatlah sikapnya saat ini, dia tak sedikit juga memperhatikan kata-kataku yang sangat serius ini. Sungguh membuatku merasa muak dan ingin teriak di depannya. Mengapa sampai saat ini pun dia tak pernah menghargai perasaanku?
Aku sekarang datang kesini melainkan hanya untuk memintamu dapat menjawab satu pertanyaanku: “Apakah sampai dengan selama ini kamu pernah mencintaiku walau hanya sedetik terlintas di otakmu?” itu saja.
Tapi dia masih tetap tidak begitu ingin memperhatikanku sehingga membuatku makin ingin menangis.
Jauh di lubuk hati kecilku berkata: “Ini adalah malam pertamaku paling bahagia bila dia mau jadi kekasihku. Tapi disisi lain, ini juga menjadi malam terakhirku seandainya dia masih bersikeras mengabaikan cintaku.”
Sudah kuduga bahwa dia tak pernah berniat untuk menerima cintaku. Dan mungkin sepanjang dia mengenalku, tak pernah sekali pun terlintas untuk mencintaiku.
Aku menjadi makin frustasi saat lihat tingkahnya seperti anak kecil saat ini. Sungguh hatiku menangis sangat deras ketika dia selalu bercanda-canda di depanku.
Kemudian aku berkata lagi pada Nisa: “Sebenarnya malam ini jadi malam terakhir aku menemuimu Nisa. Aku juga berjanji pada kamu untuk tidak mengganggu kehidupanmu lagi. Sampai  nanti pun andai kita kan bertemu lagi, sebaiknya kita  belajar pura-pura untuk saling tak kenal satu sama lain, itu saja.”  
Aku tak tahu apakah aku bisa menepati sumpah bodohku ini? Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi yang pasti cinta ini tak akan pernah mati sampai aku kembali menemuinya pun lagi di suatu hari.
Ini adalah kalimat terakhir sebelum aku pergi melangkah dari rumahnya: “Nisa… aku berikan padamu piala penghargaan pertama dari karyaku menjadi pemenang film favorite ini sebagai tanda aku berikan rasa hormat karya dan seni cintaku untukmu.”
Lalu setelah pembicaraanku terakhir itu aku pun beranjak pergi dari rumahnya tanpa adanya salam perpisahan terucap keluar dari mulutnya. Bahkan sementara kulihat dia untuk yang terakhir kali wajahnya seperti berseri seakan tak merasa sedih akan kepergianku ini.
Padahal saat ini juga, aku ingin sekali dia menjegal langkahku dan berkata: “Jangan tinggalkan aku, aku mohon.”
Atau aku berangan seandainya saat ini dia menarik erat tanganku dan berkata: “Aku sungguh mencintaimu Angga, dan aku nggak mau kamu pergi.”
Tapi… tapi… Aachh… persetan. Dia malah membiarkanku pergi begitu saja tanpa dia cegah. Sungguh menyedihkan, rasanya aku ingin mati saja saat ini.
Berlalu aku pun meninggalkan rumah Nisa dengan perlahan hingga hilang di ujung pandang. Malam ini aku sendiri berjalan diatas dua roda menuju jalan raya. Kukayuh sepeda besiku dengan sangat kencang melebihi angin malam lalu hilang di telan kabut hitam.
Meskipun kini aku sudah bersumpah tak akan mengganggu hidupnya lagi tapi hati kecilku sempat berjanji bahwa suatu hari nanti aku pasti kembali. Bukan hanya piala kecil seperti itu saja yang nanti akan aku berikan untuknya tapi akan ku kabarkan kepopuleran aku di mata dunia kepadanya. Hingga aku berikan awardku, ku wariskan semua kekayaan karyaku bila aku mati hanya untuknya. Karena cita-cita terbesarku adalah ingin menghabiskan waktuku berada di sampingnya, menyandarkan matiku di peluknya.
Karena sebab itulah aku menjadikan Ending (film Terima Kasih Cinta karyaku) jadi bad ending ketika aku harus rela mati demi cinta Nisa, tapi setidaknya aku bahagia karena dia telah merubah hidupku menjadi lebih baik ketimbang aku sebelum mengenalnya. Dan di ending film itu aku bahagia karena bisa mati di pelukkannya. Aku selalu berdoa pada Tuhan jika memang di dunia ini aku tidak bisa miliki cinta Nisa maka biarkanlah aku mati nanti di dalam dekapannya.
Selamat tinggal Nisa: “Meski nanti kau sudah melupakanku tapi aku takkan pernah berpaling dari cintamu itu. Meski memang aku bukan cinta pertamamu tapi kau adalah cinta pertama dan terakhir untukku selamanya. Aku meninggalkanmu karena alasan yang aku rahasiakan (ada di cerita berjudul Indekost selanjutnya) dan semata-mata juga karena ingin menjemput impianku sebagai legenda Sang Penyair di awal abad. Ketika aku telah berhasil mewujudkan mimpiku itu maka aku akan datang untuk kembali menemuimu dan bahkan memintamu tuk menjawab pertanyaan aku ini; Apakah kamu mau menjadi ibu dari anak-anakku nanti?”
Mohon jawab pertanyaanku ini saat aku kembali menemuimu.

***
Aku tuliskan pesan terakhir ini untukmu sebagai ungkapan kesedihanku. Aku tak menginginkan untuk jauh darimu karena sungguh aku tak bisa tanpamu.
Pesan terakhir dari pena untuk Nisa:
Cianjur, 30 April 2005
Malam ini sangat terasa begitu sunyi–aku benci bila harus terus begini, aku sungguh jenuh dengan penat yang menyelimuti hati ini. Denting berbunyi dari balik dinding kamarku seakan ikut mengiringi resah gusarku. Saat ini aku tak bisa lepaskan rasa lelah, gundah atau pun kantuk–itu semua bukan karena nyamuk yang menggigit tubuhku tapi karena bayangan masa lalu yang selalu mengganggu pikiranku.
Andai saja Nisa tidak menyakiti hatiku mungkin aku takkan menderita seperti ini dan atau aku sudah terbebas dari penjara yang mengurung semu kisah cintaku lalu aku sudah terbang jauh ke langit ketujuh. Ahh... tapi semua itu tak akan mungkin terjadi padaku karena semuanya hanyalah bualan canda saja agar aku merasa terhibur dari dunia yang jauh mengabur.
Tidak lama kemudian aku tuliskan kembali tentangmu di sebuah kertas putih ini. Terasa percuma memang kukenang masa lalu jika semua keindahannya itu tidak mungkin ku miliki, cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan dan selalu diakhiri oleh kesakitan.
Bila kamu tidak percaya, tanyakan saja pada angin yang berhembus bahwasanya aku mencintaimu dengan hati yang tulus. Meski kusadar mengejarmu ibarat melukis di atas air yang mengalir. Percuma takkan bisa kupungkir karena aku memanglah binatang jalang yang menyedihkan. Hingga wajar saja kau tak mau bukakan pintu hati yang telah lama kuketuk. Tapi tak jadi apa, memang mungkin semua ini salahku juga yang tidak tahu malu berada di tempat yang bukan untukku. Bahkan wajar saja kau tidak pernah mau berjalan beriringan bersamaku. Dan pantas kau selalu menghindar bila aku berkata sayang kepadamu. Ku akui semua itu adalah suatu alasan yang sungguh sempurna yang selalu hantui kegundahanku.
Dan melemahlah akhirnya sendi tulang punggungku, rohku seakan terpisah dari jasad dan terbang bersama resah. Dan biarkan aku pergi jauh serta jangan pernah mencoba untuk mencariku. Takkan kau temukan aku di atas dalamnya kuburanku karena takkan ada batu nisan di atas tidur panjangku. Cinta, jiwa dan hatiku kini telah mati untukmu kecuali satu hal yang tertinggal hanyalah pesan terakhir dari pena: “Niscaya cinta itu akan membawamu datang kepelukanku, kita nantikan saja hari itu.”
Tiba-tiba nada jam menyadarkan aku dari lamunan panjang, berderap perlahan ku langkahkan kaki ke arah menuju suara. Samar-samar terlihat ternyata sekarang sudah pukul 12 malam tapi mengapa aku belum bisa tidur selarut ini?
Tak berapa lama kemudianpun di akhir cerita malaikat mimpi penuhi segala pintaku ini. Dengan perlahan tertutuplah bola mataku yang berisi kobaran bara api ini.
                        ***



Waktu berjalan dan berlari semakin cepat, ayam jago kepakkan sayapnya dan siap untuk berteriak. Juga dengan si raja siang yang mulai tampakkan wujudnya bersama sinar pagi yang dibawanya dari balik bilik birunya langit. Semua makhluk Tuhan kini menyambut fajar dengan riangnya tetapi tidak diriku, sepertinya pemberat di mata indahku ini takkan sanggup kuangkat dari pembaringanku di ranjang. Ku sesali kali ini hari panjang tak bisa ku nikmati, yang ada hanya lelahku senantiasa menemani. Aku janjikan pada bunga tidur bahwa bayang wajahmu akan hadir tuk yang terakhir kali di malamku tadi, Nisa.
Begitu panas membakar tubuh seakan matahari ingin membangunkan lelah lelapku. Aku ikuti apa yang Ia mau, ku berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu. Awal saat itu semakin ku sadari bahwa waktu adalah sisa dari kehidupanku.
Saat aku lewati pintu kamarku rasanya ada sesuatu yang baru “dunia baru bagiku” dan seketika ingin sekali ku melupakan cinta untuk sementara lalu bertekad menjemput cita dan harapan di persimpangan jalan. Karena ku sadari juga pahitnya masa depan dari seorang yang hidupnya hanya menanti sebuah jawaban yang tak pernah pasti.
Ini adalah hidup baruku, ku ingin tidak seorangpun yang akan mengganggu–tidak juga denganmu Nisa.
Kiniku mengerti tentang sesungguhnya arti hidup yang kekal abadi. Bahwa makna hidup bukan seperti hijaunya daun yang akan terjatuh di saat ia sudah menguning. Atau hidup bukan layaknya lilin yang selalu setia menerangi dunia tetapi ketika padam ia akan dilupa. Hidup bagiku adalah suatu perjuangan yang di mulai sejak kita di lahirkan. Hargailah sekeranjang buah kehidupan itu dengan hal bertumpu kebenaran seperti yang pernah kau janjikan pada Tuhan sebelum kau di hidupkan. Karena hidup adalah waktu dan waktu adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Begitu pun dengan alunan syair salah satu puisi kesukaanku ini:
Untuk dapat memahami waktu satu tahun
tanyalah pada seorang yang terkurung dalam penjara.
Untuk dapat pahami makna satu bulan
tanyalah pada seorang bunda yang sedang mengandung bayi pertamanya.
Untuk dapat memahami makna satu usia
tanyalah pada orangtua yang membesarkan anaknya.
Untuk bisa pahami makna satu minggu
tanyalah pada wartawan majalah mingguan.
Untuk dapat mengerti arti satu hari
tanyalah pada seorang pekerja buruh harian.
Untuk bisa mengetahui arti satu jam
tanyalah pada seorang yang tidak sabar menunggu jawaban.
Untuk bisa mengerti arti satu menit
tanyalah pada seorang pelari yang meraih medali.
Dan untuk bisa mengetahui arti satu detik
tanyalah pada seorang pengemis yang lapar mencari makan.
Maka terasalah derap roda kehidupan akan terus berputar dan semakin cepat mengejarmu. Maka janganlah kau mencoba untuk berhenti dari lari karena sebuah waktu akan selalu siap menerkam jalanmu nanti.
                                    ***
Dan kini aku merasa bagaikan seorang manusia bisu tanpa bicara sepatah kata pun. Bukan karena aku tidak bisa bicara tapi begitu berat jika aku harus berbicara. Mungkin tak harus berkata dan apa yang harus ku katakan? Ini memang masalah hati dan mulut yang tak bisa sembarangan aku ucapkan. Tapi aku tak bisa terus-terusan begini, mungkin aku perlu waktu untuk bicara–apakah hari ini atau besok? Aku benar-benar tak tahu.
            Mudah-mudahan Tuhan memberikan waktu untukku karena Dialah Maha yang akan berikan jalanku. Jika memang Nisa itu adalah suratan takdirku, aku percaya Tuhan tak akan merenggutnya dariku.
Mungkin bunga yang di tuai takkan lama lagi bertahan tapi cinta yang kusimpan bahkan sanggup menembus hati paling dalam. Mungkin bunga yang layu takkan utuh lagi mewangi karena semua rasa pasti pergi dan tak mungkin terpatri kembali. Seperti hatinya yang bagai besi yang mudah suka dan mudah pula lupa terhadap orang yang tercinta.
Aku malah seperti bagai baja padamu Nisa, yang abadi mencinta dan merekat pekat seakan satu jiwa: “Jagalah bunga itu agar tetap utuh karena disanalah arti cinta bagiku, tidak bagimukah”.  
Aku ingin selalu denganmu Nisa walau dicerca dan dihina tapi inilah cinta yang minta. Akan aku tunjukkan cintaku takkan pernah mati walau kau jauh dariku meski kau lupakan aku bahkan sampai ke ujung dunia pun kukejar dirimu. Aku akan buktikan bahwa aku selalu setia untuk cintamu, setia untuk rindukanmu dan selalu dambakanmu. Walau pun seribu bidadari yang akan hampiriku sungguh takkan bisa membuatku tergoda menduakanmu.
Tetapi justru di akhir jawabanku, ku temukan celah luka yang akan mungkin selalu kembali menyayat hatiku. Satu minggu yang lalu itu pun aku lingkari kalendernya 26 April 2005 aku telah menemui Nisa untuk yang terakhir kalinya dan ku bersumpah padanya takkan mengganggu hidupnya lagi.
Gelabah nan bimbang karena esa dua tali harapan terputus terbang. Tangisku adalah saksi gusarku dan bibirku adalah saksi ucapku. Tapi yach sudahlah, enyah saja kau pergi Nisa toh mungkin itu yang selama ini kau mau. Tak mengapa bila kita takkan bertemu lagi, asal kau berada di khayalku maka aku sudah cukup senang–aku bangga mencintaimu.
Hingga ketika angin malam itu telah berhembus, tak ku rasakan lagi kesejukannya dan ketika bintang malam tak lagi bersinar–tak ku dapatkan lagi kehangatannya. Ohh… gelap malam, bawalah rasa rinduku ini terbang. Tak perlu sampaikan pada bulan jika bulan tak lagi bercahaya. Tak perlu sampaikan pada bintang jika bintang tertutup awan hitam. Jika semua tak ingin tahu, sampaikan saja salam rinduku itu pada samudera biru penantianku. Agar terbawa ombak dan beradu dengan karang, agar semua hancur menjadi buih lalu bersatu dengan alam.
Kadang aku berpikir bahwa hidup ini tak adil, perempuan yang ku cintai selalu diam tak peduli. Aku merasa hidupku hampa, tak ada satu pun wanita yang mau dengar cerita: “Tentang ku terluka, mengeluh dan kecewa pada duniaku yang tak sempurna”. Padahal aku ingin merasakan cinta seperti layaknya manusia biasa.
Kini aku akan tertidur sendiri tanpa rohku yang mengisi ruang jiwaku. Ku biarkan malam ini berlalu begitu saja tanpa ku nikmati kehangatannya.
                        ***   
            Disaat pagi kembali datang maka tak ku izinkan ia memasuki kamarku. Persetan dengan pagi ini mungkin aku rasa tidak ingin bangun lagi dan biarkanlah aku lepas kembali bermimpi. Hidup dalam khayalan sendiri lebih menyenangkan daripada harus terus menjalani kenyataan yang penuh dengan kepedihan.
            Ketika setitik cahaya menerobos kamar di pagi ini seperti tak ada gairah karena aku tak bisa melihatnya tersenyum lagi. Mungkin karena belum terbiasa, ketika kubuka jendela–burung-burung seolah enggan untuk bernyanyi dan pandangan alam yang kulihat seolah ingin mengejekku, semua melihat padaku bagai aku makhluk lemah.
Bibirku ini tertutup oleh pilu, ingin aku berteriak memanggil namamu. Tapi ku tahu semua itu percuma, pagi ini dan seterusnya kau takkan tersenyum lagi padaku hingga akan ku biarkan pagi tanpa senyuman.
Akhirnya pada Tanggal 26 April 2005. Tepatnya ketika Sang Penyair duduk di ujung kelas 2 SMA. Dia memutuskan untuk tidak mengganggu hidup Nisa lagi, tapi itu bukan berarti dia takkan kembali karena dia sempat berjanji dalam hati untuk menemui Nisa lagi ketika novel KEKASIH TERAKHIR ini selesai di buat.
Seminggu setelah Sang Penyair sudah memutuskan untuk tak mengganggu kehidupan Nisa lagi, dia mulai menjalani hari-harinya di sebuah rumah kost dekat sekolahnya.
Itu salah satu alasan dia ingin sekali pergi sejauh mungkin dari kehidupan Nisa walau sejarak 16 KM dan mencoba untuk hidup baru di rumah kost itu. Sampai dengan mencoba menghabiskan satu tahun terakhir lagi masa pendidikan SMAnya.
Dan apalagi yang terjadi dengan kisah cinta Sang Penyair ketika menjalani hidup di rumah kost tersebut?
Apabila ingin tahu jawabannya maka semua cerita itu bisa kalian dapatkan di Novel Kekasih Terakhir 2 yang di mulai dengan  judul Indekost sebuah mahakarya ke 8 Sang Penyair di awal abad (Angga Nudatar).”
Lanjutannya ada di:
anudatar.blogspot.com
Bersambung…





2 komentar:

anudatar.blogspot.com kekasih terakhir 2 eps 4 : indekost

Kekasih Terakhir 3 Eps 10: Wasiat Sang Penyair

  Wasiat Sang Penyair                CATATAN AKHIR   TAHUN 2006                                                                   SURAT ...