Minggu, 06 September 2020

Kekasih Terakhir 3 Eps 9: Last Girl n 4ever

 

Last Girl ‘n 4ever

 

Yogyakarta: Rabu, 18 Oktober 2006

Pukul: 23.45 malam

 

Kegelapan malam ketika ini seakan mengerti kesedihanku, ketiadaan bulan dan bintang bagai berkabung dengan kematian jiwaku, dan aku bagaikan pelampung di lautan tanpa sebarang haluan.

Terombang-ambing dibawa arus kehidupan …

Sekali lagi aku dilanda kebingungan

Apakah ini dikatakan realiti kehidupan,

Aku keliru mengapa lambaian kebahagiaan

Tidak hadir dalam diriku …

Namun yang tinggal hanyalah kedukaan demi kedukaan, apa yang aku impikan tidak menjadi kenyataan, semuanya hilang, bagaikan debu yang bertaburan …

Musnah segala impian dan harapan

Musnah bagai dilanda badai

Bagai lenyap di segenap pandangan,

Harapan masih ku damparkan

Seluas-luasnya. Seperti luasnya lautan …

Namun kehidupan mengajarku

Kebahagiaan harus ku cari

Ya! Akan ku cari, kebahagiaan,

Yang membawa seribu satu arti

Aku tidak akan mengalah lagi

Akhirnya aku akui inilah realiti kehidupan

 

Aku telah melewati sebuah masa perih;di saat aku di caci, di sakiti, di hina dan dibuang oleh semua orang yang mengaku bernama teman.

 

Ketika ini aku sedang duduk di kursi beranda rumah lantai 3 sambil menatap langit yang tak berbintang:

Jika kalian sudah membaca Novel Kekasih Terakhir ini dari awal (dari mulai halaman pertama sampai dengan halaman ini), maka sepenuhnya kalian sudah mengenalku lebih jauh. Dan inilah aku, manusia yang tak berharga untuk ada di dunia. Hingga wajar saja semua orang tak memperdulikan keberadaanku di sekitar mereka, aku seperti sampah atau bahkan lebih hina dari kotoran unggas yang menjijikan bagi mereka.

Ibuku, satu-satunya orang yang sangat memperhatikanku sudah meninggal dunia sejak 102 hari yang lalu (8 Juli 2006). Sementara pada hari ke-8 kematian ibu waktu itu, aku meninggalkan rumah dan bekerja bersama mbak Suesih di Jakarta. Mulai saat itu aku menjadi tulang punggung keluarga (kedua adikku) karena ayahku pergi meninggalkan kami. Rasanya terlalu pedih bila aku harus mengingat kembali kenangan suram itu. Tapi untunglah … aku masih bisa bertahan hidup dan menghidupi kedua adikku di rumah sampai saat ini. Karena setiap bulannya aku selalu mentrasfer uang ke nomor rekening adikku Indra untuk biaya sekolah mereka.

Aku tak bisa bayangkan jika seandainya waktu itu tak ada Mbak Suesih M. Tomlinson-mungkin kini aku sudah dipenjara akibat membunuh ayah kandungku sendiri, atau paling tidak aku akan menjadi gembel dijalanan yang hidup dari hasil mengemis.

Kalian mau tahu awal ceritanya kenapa aku meninggalkan rumah dan bekerja sejak 3 bulan yang lalu?

Apa kalian juga mau tahu kenapa aku sampai bisa tinggal di rumah Mbak Suesih selama ini, padahal dia bukan saudaraku ataupun kenalanku?

Baiklah aku akan menceritakan kembali secara singkat pada kalian, jika kalian belum sempat membaca judul “Teruntuk, ibu di surga dan Tunggu aku … Jakarta” pada kisah di Novel kekasih terakhir ini.

Semua berawal pada sebuah pagi di hari ke-8 kematian ibuku. Waktu itu aku menggenggam samurai kesayanganku dengan niat ingin membunuh ayahku, karena kau tahu hanya dia seoranglah yangharus bertanggungjawab atas kematian ibuku. (untuk lebih jelasnyalagi, jika kalian ingin mengetahuicerita itu maka kalian baca sajajudul “Tunggu Aku… Jakarta” karena di sana sudah kuceritakan alasanku kenapa ingin membunuh ayahku).

Pada intinya setelah aku meninggalkan rumah, aku hidup bersama Mbak Suesih. Kenapa aku sampai bisa mengikuti Mbak Suesih? Jika belum tahu jawabannya, coba kalian baca-baca lagi di tengah halaman judul “Tunggu Aku … Jakarta”.

Yang pasti saat ini; aku masih mengidap npenyakit Skewsophenia yang sudah mulai ku derita sejak aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Ketika aku masi ada di Jakarta, (2 bulan tinggal di Jakarta) MbakSuesih membawaku berobat ke salah satu temannya waktu kuliah di Universitas Indonesia (UI)-yang kebetulan dia seorang psikiater. Namanya Dr. Harry Budiono Sp. KJ dan aku sering banyak berkonsultasi padanya tentang kepribadianku yanganeh;”pasalnya akhir-akhir ini aku sering bicara pada hatiku sendiri seperti kawan yang sedang ada di depan mataku, disamping itu aku juga sering melihat sosok orang yang selalu aku impikan nampak nyata ada di depanku. Dengan kata lain, aku sudah tidak bisa membedakan lagi antara sebuah ‘khayalan dan kenyataan’. Yang pasti satu hal yang selalu ku ingat adalah mimpi burukyang sama, yaitu orang yang sangat kusayangi akan mati di depanku (meninggalkanku sendiri) dan aku selalu takut akan kehilangan mereka-setelah sebelumnya aku ditinggal mati oleh sepupu sekaligus sobatku Danu, adik lelaki paling kecilku Gilang, sahabat sepermainanku Yudi, kakak angkatku sekaligus penyelamatku Andi, kakak tiriku yang ikut membiayai sekolah dan hidupku Kak Yusuf, dan setelah 10 hari kak Yusuf meninggal akhirnya disusul oleh kematian ibuku”. Satu sama lain meninggal dunia dengan jarak yang cukup dekat dalam beberapa tahun ini. Bahkan sebelum ibuku meninggal, 3 bulan sebelumnya kakak kandung perempuan dari ibuku meninggal dunia duluan. Dalam satu tahun saja dan tiap tahun sebelumnya aku bisa menghadiri 7 sampai 8 acara kematian temanku, atau pun eluargaku. Sejak dari mulai itu aku selalu trauma dengan kematian, aku sangat takut ditinggalkan oleh orang-orang yang peduli padaku-perhatianpadaku-da saying padaku.

“Selama ini aku selalu baik pada semua orang, aku selalu memberikan semua milikku pada mereka saat mereka memintanya. Kadang aku juga selalu membelikan barang-barang yang temanku inginkan, aku tak peduli meski mereka hanya memanfaatkanku-menguras semua uangku-karena asal mereka bahagia oleh kebaikanku maka aku pun akan ikut bahagia karena mereka selalu ada disampingku”.

“Satu hal yang kutakutkan adalah kehilangan mereka, ketika di satu waktu mereka akan eninggalkanku atau bahkan tak mau lagi jadi temanku (aku selalu takut mereka akan memusuhiku)”.

Pernah disuatu ketika aku berada dikerumunan kawan-kawan Nisa selama beberapa bulan. Saat itu hari-hari hidupku sempat ku habiskan bersama mereka.

Dari mulai sepulang sekolah (kelas 2 SMP) aku dan mereka selalu bermain bersama di rumah salah satu orang dari kelompok kami. Aku sungguh sangat menyayangi mereka (sebagai sahabatku) walau di akhir cerita mereka semua memusuhiku karena satu masalah yang tak ku tahu.

Padahal selama berkawan dengan mereka (Windha, Putri, Sally, Nisa) aku selalu memberikan apa saja yang aku punya. Dan sebatas aku mampu-aku selalu melakukan apa saja keinginan mereka, membelikan barang-barang yang mereka minta. Di dasar hatiku pernah sekali aku menginginkan menjadi orang yang paling berharga di hati mereka, di tempatkan di tempat yang paling istimewa di perjalanan hari-hari hidup mereka.

Tapi semua harus berakhir juga saat mereka mencoba untuk memusuhiku karena satu masalah; “Aku memang pernah janji pada mereka waktu itu, bahwa aku kan meneraktir mereka bila mereka juara pertama di ajang pertandingan basket antar SMP waktu itu. Dan ketika mereka menang jadi juara pertama-mereka pun memaksaku untuk menepati janji yang pernah ku ucapkan. Tapi saat itu sayangnya adikku Gilang baru saja meninggal dunia, jadi jatah keuanganku terkuras untuk biaya pemakaman dan yang lainnya. Jadi aku tak bisa menepati janjiku pada mereka, sehingga mereka semua marah dan memusuhiku, memakiku dan satu kaliamt yang keluar dari mulut mereka masih terngiang di telingaku sampai sekarang. Mereka bilang padaku bahwa aku adalah “Orang Munafik” yang suka mengingkari janji. Andai saja mereka tahu dan menanyakan mengapa aku bisa sampai ingkar janji pada mereka. Tapi sayangnya mereka tak tahu dan tak mau tahu meski adikku meninggal dunia, bahkan Nisa salah satu dari mereka ikut memusuhiku dan terlebih lagi Nisa tak pernah peduli meski dia tahu adikku yang paling kecil itu meninggal dunia saat itu.

Sejak hari itu aku dan mereka (Nisa dan kawan-kawannya) sudah tak lagi berteman, mereka memusuhiku hanya aku tak bisa menepati janjiku untuk mentraktir mereka dan membelikan barang-barang yang mereka minta. Sejak di hari itu pun aku memutuskan untuk menerima kenyataan pahit itu walau sesungguhnya aku benar-benar menyayangi mereka dengan tulus (sebagai sahabat pertamaku yang paling indahdan menyenangkan).

Sebenarnya diawal-awal aku berteman dengan mereka-aku sudah mengidap Fobia yang berlebihan, aku selalu takut bila harus ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat aku sayangi. Tapi apa mau dikata, waktu itu mereka tetap saja memusuhiku dan tak memperdulikanku lagi setelah cerita indah pernah kami lewati sama-sama beberapa bulan sebelumnya. Mungkin sejak saat itu pun keperibadianku mulai berubah, buktinya sampai sekarang aku tak lagi mau berteman dan tak pernah percaya lagi pada seorang teman. Karena aku selalu takut akan kehilangan orang (teman) yang akan terlanjur kusayangi nanti, aku selalu takut akan dimusuhi oleh orang (sahabat) yang terlanjur sudah kusayangi nanti. Maka dari itu aku memutuskan untuk tak lagi mau berteman sampai sekarang, bahkan salah satu alasan kenapa sampai sekarang aku tidak mau “pacaran” karena aku selalu takut akan kehilangan orang itu yang akan terlanjur kusayangi nanti.

Aku tak pernah tahu sampai kapan rasa ketakutanku ini akan hilang. Tapi yang pasti hanya ada satu orang yang tersisa kini-yang kutakuti dia pun akan meninggalkanku dan menghilang tanpa jejak. Orang itu adalah Anisa Yuniar Purnama (Nisa) dan hanya dia satu-satunya “wanita terakhir dan untuk selamanya” yang aka kusayangi hingga aku mati nanti.

Meski aku dan Nisa sudah setahun lebih tak lagi berkomunikasi dan berjumpa tapi aku tak pernah merasa gelisah. Karena bila kau sangat sedang merindukannya, maka aku akan menulis (puisi, lagu, cerpen, melukis wajahnya, membuat novel dan scenario fim) yang bercerita tentangnya agar aku bisa mengobati rasa kerinduanku terhadapnya. Ditambah lagi bila aku sedang sangat ingin mendengar suaranya, maka aku akan menelepon dia tanpa aku harus mengeluarkan sedikit pun auara. Ya … aku sering melakukannya, kadang aku sengaja menelepon ke handphonnya  atau ke telepon rumahnya hanya sekedar ingin mendengar suaranya yang lembut itu. Mungkin dia selamanya tak akan pernah menduga bahwa akulah sipenelepon misterius yang selalu tak mau bicara itu. Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengannya seperti dulu, tapi sayangnya aku sudah terlanjur berjanji untuk tak mengganggu hidupnya lagi (coba lihat dan baca judul “Selamat tinggal (Nisa) untuk mengetahui kenapa kau meninggalkan Nisa setahun yang lalu itu).

Yang pasti dari semua ini, bahwa hanya ada satu wanita yang akan ku cintai dari kesekian wanita yang akan kutemui nanti. Dialah Nisa dan aku selalu percaya bahwa dialah belahan jiwaku yang hanya tercipta di dunia ini untuk menjadi kekasih terakhirku.

Coba kalian sekarang berpikir, aku yang sebagai penulis-mengapa dari mulai halaman pertama di novel ini aku selalu menulis tentang Nisa, mengapa selalu ada nama “Nisa” di setiap halaman novel kekasih terakhir ini?

Alasannya karena aku ingin menyampaikan pada kalian bahwa hanya ada satu wanita yaitu Nisa yang aku cintai dalam seluruh hidupku, dan akan kuceritakan pada dunia tentang kecantikannya yang melebihi ratu cleopatra atau pun sang mandudari surga. Dan takan ada kisah cinta yang paling abadi di dunia ini selain hubungan antara aku dan Nisa. Kami berdua akan menjadi simbol keagungan cinta yang takan pernah padam hingga akhir masa. Kami adalah jelmaan dewa-dewi cinta yang akan menebarkan benih-benih asmara pada setiap insane yang sedang terluka karena kejamnya dunia. Dan bahkan kami berdua juga bisa menjadi pelangi yang akan orang rindukan di setiap detik kepedihan hidup mereka setelah turunnya hujan. Karena aku dan Nisa adalah malaikat bersayap satu yang hanya akan bisa terbang bila kita berdua saling berpelukan.

Andai saja Nisa mengetahui semua ini, mungkin dia takan menolak cintaku lagi untuk yang … entah kesekian kalinya. Tapi hebatnya aku selalu percaya bahwa suatu hari dia pasti akan menjadi ibu dari anak-anakku nanti, ya … aku selalu yakin itu, kita nantikan saja hari itu, hari dimana Nisa akan menjadi istriku.

Mimpi-mimpiku sebelumnya memang tak pernah menjadi nyata, tapi mimpiku tentang Nisa pasti akan terwujud menjadi kenyataan.

“Dimana hari itu, akan datang sebuah sore aku dan Nisa akan duduk di kursi taman halaman rumah kami seraya menikmati sebuah langit sore yang indah. Bersama secangkir the hangat kami berdua menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang sambil mengenang cerita di masa lalu yang penuh canda.

Ya … hari itu pasti akan datang, di sebuah sore saat kami bermain dengan anak-anak kami di taman. Akan ku dongengkan juga tentang ibu mereka (Nisa) pada anak-anakku setiap mereka akan menjelang tidur, ku ceritakan pada mereka tentang kecantikan Nisa (Ibu mereka) di kala masih muda. Tidak lupa akan ku perlihatkan juga novel-novel karyaku pada anak-anakku yang bercerita tentang kisah cinta ayah dan ibu mereka di kala remaja. Ya … hari itu pasti akan dating, kita nantikan saja hari itu, hari dimana Nisa akan menjadi ibu dari anak-anakku nanti …”.

 

 

 

 

¬ ¬ ¬

 

 

 

Tersentak ku tersadar dari lamunan panjang masa lampau, seketika rohku telah kembali dari berkelana ke sebuah mimpi. Rupanya ku terhanyut oleh imajinasi-imajinasi yang tidak mau berhenti memutari isi kepalaku ini.

Dan seperti inilah seseorang dengan penyakit skewsophenia, aku takan pernah berhenti berhayal seakan tak pernah rela meninggalkan cerita indah di masa lampau. Kita takan pernah tahu kapan kita akan menemukan kebahagiaan, tapi bagi seorang skewsophenia-kebahagiaan itu mudah di dapatkan di dalam alam imajinasinya sendiri. Itulah yang kurasakan sebagai seseorang yang mengidap skewsophenia tingkat tinggi. Dengan kata lain, tanpa kesadaran orang-aku telah menciptakan sebuah dunia nyata di dalam dunia khayal, dan aku juga bisa menciptakan dunia khayal di dalam dunia nyata. Sehingga terkadang orang sepertiku tidak bisa membedakan antara kedua dunia itu. Akhirnya dengan tidak sadar aku telah hidup di kedua dunia itu secara bersamaan, hingga kenyataan dan khayalan semakin sulit untuk dibedakan.

Dan untuk itulah aku berada di sisni;

Di kota besar Yogyakarta (di rumah orang tua Mbak Suesih, managerku di dunia penulis).

Sudah hampir sebulan ini aku tinggal di Yogyakarta setelah sebelumnya 2 bulan aku tinggal di rumah milik Mbak Suesih di Jakarta.

Aku masih ingat ketika awal datang kesini (Yogyakarta) sebulan yang lalu. Karena Mbak Suesih orang jawa jadi waktu itu dia harus “sungkeman” kepada orang tuanya sebelum melaksanakan puasa ramadhan sebualn penuh. Jadi terpaksa dia pulang dulu.ke Yogyakarta saat itu, dan aku yang sedang merantau dari rumahku-dia ajak juga sembari ingin mengobati penyakit skewsophenia (kejiwaan) yang sudah menyiksaku selama ini. Karena waktu itu Mbak Suesih bilang kalau ayahnya punya ilmu tinggi dan ilmu kebatinan yang pasti bisa menyembuhkan penyakit ini.

Dan memang benar, setelah hampir sebulan aku diobati oleh ayahnya-aku merasa agak baikan sekarang.

Sampai saat ini, tanggal 18 Oktober 2006, aku masih rutinan untuk berobat padanya.

Sempat aku pernah di “Ruqyah” karena ternyata katanya ada jin yang bersemayam di aliran darahku. Jin itu ternyata salah satunya yang menyebabkan aku jadi berperilaku aneh. Selebihnya diakibatkan oleh Fobia yang kuderita akibat kegagalan hidup yang kujalani.

Tapi tenang saja, sekarang aku sudah hampir 95% dinyatakan sembuh dan hanya sedikit kemungkinan akan kambuh.

 

Sekarang aku masih ada di beranda rumah lantai 3 sambil menatap langit hitam yang mulai berbintang;

Aku telah terbiasa hidup sendiri dalam kesunyian malam seperti saat-saat ini. Berpayung awan kelam, bermahkotakan sang rembulan-ku menangus mengingat sebuah kenangan.

Sudah hampir sebulan ini aku tinggal di Yogyakarta,dan tak terasa tinggal 6 hari lagi kemenangan akan datang (lebaran Idul Fitri agamaku). Ach … tapi itu sudah tak ada gunanya lagi buatku; ibuku sudah meninggal 3 bulan yang lalu, sementara tak ada satu pun orang yang kini peduli akan nasibku. Aku merasa sudah sebatang kara sekarang, sedangkan rumahku-kutinggalkan sejak seminggu di hari kematian ibu.

Dan hingga saat ini pun aku masih membenci ayahku, karena hanya dia seorang yang harus bertanggungjawab atas kematian (Ibu, orang yang paling ku sayangi dalam hidupku).

Rasanya percuma saja aku ‘pulang kampung’ pada hari lebaran Idul Fitri kali ini, karena sudah tidak ada lagi orang yang harus kusembah kakinya lagi sambil menangis meminta ampun. Selain itu tak ada satu pun dari temanku yang merindukanku untuk pulang, da memang kusadari-aku terlalu hina dan menjijikan untuk diperhatikan orang lain.

Tapi ada yang membuatku menjadi bijak saat kuingat kembali wajahnya, seorang perempuan yang selalu kucintai setiap hari-dari semenjak 6 tahun yang lalu. Tak pernah sekali pun aku berpaling dari cintanya, karena memang hatiku sudah kuikrarkan hanya untuknya. Dan aku selalu percaya; “Dia (Nisa) akan menjadi sebuah kisah ‘Cinta Pertamaku’ yang paling indah, akan menjadi cerita ‘Pacar Pertamaku’ yang mengesankan, dan akan menjadi legenda ‘Kekasih Terakhirku’ hingga dunia akan terkesima saat mendengar perjalanan cinta antara aku dan dia.

Tak mengapa meski selama 6 tahun aku belum bisa memiliki cintanya, tak mengapa bila seumur hidupnya dia takan pernah mau mencintaiku. Karena aku akan selalu percaya “bahwa dia akan menjadi perempuan terakhir dan untuk selamanya dalam sepanjang alur cerita hidupku, itu saja yang ingin ku katakan”.

Dan kini; malam ini aku makin larut dalam masa lalu bersamamu (Nisa). Hingga ada saja kata-kata puitis yang terlontar dari mulutku, sepertinya nyanyian rindu ini memang pantas ku senandungkan untukmu. Semoga angin malam yang berhembus ini bisa menyampaikan kerinduanku padanya dan semoga saja dia merindukanku juga dibalik mimpinya, di malam yang indah ini;

 

Dia seorang (Nisa)

Tergambar nostalgia lalu

penuh bunga dan duri,

penuh tawa dan air mata,

      Dia seorang

      tergambar wajah

      di mata dan di hati

      dengan wajah penuh makna menyimpan

      seribu soalan

Membawa seribu jawaban Dia aku seorang

wajah-wajah dulu merobek hatiku yang semakin layu.

 

Apakah yang kurasakan malam ini sama dengan apa yang Nisa rasakan ? Ach … terlalu bodoh bila  ku berpikiran dia akan semudah itu merindukanku.

Karena yang selama ini ku rasakan saat-saat menunggunya hanyalah sebuah kesedihan, kekecewaan.

Tak pernah sekali pun Nisa mempedulikanku, mungkin sampai aku mati nanti.

Terakhir aku mendengar kabar Nisa (tiga bulan yang lalu) bahwa dia saat itu sedang “Pacaran” dengan seorang lelaki yang baru kelas 3 SMP sementara Nisa mau masuk kuliah saat itu. Aku tidak tahu alasan Nisa mencintai lelaki itu tapi yang aku tahu bahwa lelaki itu ‘keturunan indo’ alias anak blesteran. Mungkin bisa kubayangkan bahwa lelaki itu sangat tampan sekali, berkulit putih, tinggi dan gaul. Meski Nisa lebih tua 3 tahun darinya, tapi kata temanku mereka sangat cocok sekali-dan bahkan perbedaan umur itu tak sedikit pun kelihatan karena ternyata lelaki itu bisa mengimbangi pergaulan Nisa.  Dan yang lebih menyedihkan lagi, saat itu di hari kematian ibuku, aku ingin sekali menemui Nisa untuk memeluknya dan mencurahkan segala tangisanku di bahunya. Tapi aku juga sadari bahwa semua itu takan mungkin terjadi, karena dulu aku telah berjanji takan pernah menganggu kehidupannya lagi.  Apalagi aku tahu bahwa saat itu dia sedang mesra-mesranya pacaran dengan lelaki keturunan indo itu. Mungkin sampai sekarang Nisa belum mengetahui kematian ibuku dari sejak 3 bulan yang lalu itu (8 Juli 2006), tapi sepertinya meskipun dia sudah mengetahuinya-tetap saja dia takan pernah mau peduli dengan apapun yang akan terjadi dalam hidupku.

Aku tidak pernah tahu bagaiman caranya agar Nisa mau mencintaiku? Sementara sejak 6 tahun yang lalu aku selalu berusaha untuk memikat hatinya, meski entah sampai berapa kali cintaku selalu ditolak olehnya, aku  sadar bahwa Nisa takan pernah peduli dan mau mendengarkan cerita kesedihanku selama ini, dan hanya menjadi seorang “Penulis” dan menulis novel ini pilihan terakhirku untuk mencurahkan segala tangisanku. Dan ku akui, buku ini adalah sahabat sejatiku yang paling mengerti isi hatiku. Buku ini tak pernah mengeluh saat siang higga malam aku selalu menangis di atas kertasnya. Dan buku ini telah menghidupiku, saat ku tulis kata-kata cinta di atasnya sampai berbentuk novel dan ku jual hingga ku hasilkan upah uang daripadanya.

Malam kian petang kini, pukul 01.30 pagi dan aku masih berdiri di sini menatap langit yang mulai penuh bintang.

Dan tak lam kemudian ada orang yang menyadarkan lamunanku, dia adalah Mbak Suesih M. Tomlinson (Managerku). Nama belakang yang di sandangnya itu adalah nama panjang Suaminya yang berasal dari London-Inggris.

Derap langkah Mbak Suesih semakin dekat menghampiriku di beranda rumah lantai 3 kamarku. Dia menyapaku dan ingin berbagi cerita tentang hal-hal yang menyangkut kegundahanku.

“ Apakah kamu rindu untuk pulang?”. Tanya Mbak Suesih.

Dan aku hanya terdiam membisu menanggapi ucapannya itu, tapi sesekali ku isyaratkan isi hatiku lewat udara yang merambat.

“ Aku… menangis dalam kegembiraan, kegembiraan yang penuh kepalsuan. Aku… menangis dalam ketawa-ketawa yang berpura-pura, ingin hari ini gembira-gembira untuk selamanya”. Ucapku pada udara yang merambat ke telinga Mbak Suesih.

Mbak Suesih pun menjawab dengan sajak kehidupan yang sungguh mengesankanku.

“Aku pernah seusiamu J… Aku lebih bisa tahu bagaimana rasanya terjatuh dalam Lumpur hidup. Berbicara dengan kegagalan akan membuatmu bertambah kuat dalam menghadapi arus kehidupan. Kau tak pernah tahu akan gagal sebeumnya dan kau pun takan pernah tahu akan berhasil lewati sesudahnya. Inilah hidup… masa lalu hanya sekedar untuk di kenang, masa sekarang cobalah untuk dinikmati sementara masa depan… biarlah itu hanya menjadi rahasia Tuhan”.Petuah bijak Suesih padaku.

Aku masih ingat dulu Mbak Suesih pernah curhat tentang masa lalunya padaku :

“Mbak Suesih adalah orang kaya di Yogyakarta,  sedangkan di Jakarta pun mbak Suesih punya rumah mewah dan megah. Sebagian rumahnya yang di Jakarta itu dia jadikan perusahaan konveksi (membuat dan menjahit pakaian). Dia punya pegawai sampai belasan orang dan mendapatkan omset hingga jutaan rupiah setiap harinya. Mbak suesih di Jakarta tinggal bersama adik perempuannya, sementara 6 bulan sebelumnya mbak Suesih baru bercerai dengan suaminya yang berasal dari dari Inggris itu. Alasan perceraiannya sangat menyedihkan sekali, sahabat mbak Suesih sendirilah yang merebut suaminya itu dengan cara menggunakan “Perdukunan” alias guna-guna. Mbak Suesih sendiri pun ikut “diguna-guna” hingga dia pernah di ambang kematian akibat ilmu santet kiriman sahabatnya itu. Tapi untunglah saat itu mbak Suesih selamat dari kematian, walau akhirnya suaminya itu harus meninggalkan mbak Suesih dan menikah lagi dengan sahabat (Penghianat) mbak Suesih itu. Tapi sejak saat itu mbak Suesih sudah belajar menyerahkan semuanya pada Tuhan, dan kini mbak Suesih ingin menjalani hari-hari kedepan tanpa menyimpan dendam dan menyebarkan virus permusuhan. Akhirnya setelah mbak Suesih bertemu denganku, baru ku jelajahi kehidupan mbak Suesih yang penuh kontroversi akhir-akhir ini. Aku memang baru 3 bulan ini mengenal mbak Suesih dan tinggal di satu rumah bersamanya. Tapi aku terasa sudah sangat memahaminya, bahkan ku pahami bahwa mbak Suesih kembali frustasi dengan pemikiran hidupnya. Setelah aku mengenal mbak Suesih selama ini, ternyata mbak Suesih adalah seorang  “Tante Girang” yang selalu ingin hidup dalam kesenangan. Setiap malam dia pergi clubbing, mabuk-mabukan, poya-poya, dan selalu bersenang-senang bersama lelaki muda peliharaannya. Mbak Suesih mengaku padaku bahwa semua yang sudah dilakukannya itu semata-mata “Stress” akibat suaminya direbut sahabatnya sendiri. Aku selalu mencoba menyadarkan mbak Suesih untuk berubah tapi ternyata aku butuh waktu untuk menyadarkannya tentang hal ini. Padahal aku sudah menganggap mbak Suesih dewi penyelamatku, peri baik hatiku dan panutan hidupku. Begitupun dengan mbak Suesih yang sudah menganggapku sebagai adik kandungnya (Yang berbakat dan berprestasi), apalagi mbak Suesih memang benar-benar tak punya adik lelaki”.

Sekarang orang yang ku ceritakan tadi pada kalian (Mbak Suesih) ada di depan matakku. Kami saat ini saling terdiam, duduk di beranda lantai 3 sambil menatap langit yang penuh bintang:

Sekali lagi ku dengar mbak Suesih bertanya padaku seperti barusan :

“Apakah kamu rindu untuk pulang…?” Tanya mbak Suesih padaku lagi.

Aku jawab untuk yang kesekian kalinya untuk lebih menegaskan semuanya :

“Aku tidak bisa memahami dengan apa yang ada di dalam lubuk hatiku. Jika benar ini waktu yang tepat untuk pulang dan menyelesaikan semua masalah, maka aku akan pulang. Pulang ke rumahku bukan sebagai seorang ‘Penulis’ tapi sebagai anak yang harus berbakti pada kedua orang tuaku. Akhirnya aku jugalah yang harus menyelesaikan semua masalah yang telah aku buat (Lihat dan baca judul ‘Tunggu Aku …Jakarta’ untuk mengetahui apa alasan si penulis pergi meninggalkan rumah). Mungkin besok pagi aku akan pulang ke rumahku, ke kotaku yang sudah ku tinggalkan sejak 3 bulan yang lalu, seminggu setelah hari kematian Ibuku tercinta”. Tegasku pada mbak Suesih.

  Beberapa menit kemudian setelah aku dan mbak Suesih selesai berbincang-bincang, mulai terdengar suara orang-orang yang berkeliling membangunkan (Umat Islam sekitar) agar siap-siap masak untuk acara sahur. Tak terasa puasa kali ini tinggal 5 hari lagi, tapi sampai saat ini tak pernah sekali pun ku rasakan kesan yang paling indah pada bulan Ramadhan ini. Mungkin karena hampir sebulan terakhir ini aku menjalani puasa tidak lagi dengan (Almarhumah) Ibuku. Aku merasa seperti sebatang kara kini, berjalan tanpa tujuan, berpikir tanpa arahan dan untuk siapa aku hidup kini kalau bukan untuk (Kedua Adik kandungku) dan ‘Nisa’ aku ingin bertahan hidup. Dan ku harap  bila ku tiba nanti di kotaku, aku bisa kembali melihatnya (Nisa) setelah setahuh lebih ini ku tak jumpa lagi dengannya. Tentu saja setiap hari aku selalu merindukannya (Nisa) sejak terakhir di hari itu (tanggal 26 April 2005, lihat dan baca di judul ‘Selamat Tinggal (Nisa)’ untuk mengetahui apa alasan si penulis meninggalkan Nisa).

Dan ketika ini pukul 02.35 pagi Mbak Suesih menarik tangan ku dan mengajakku untuk sahur yang terakhir di rumah orang tuanya ini (Yogyakarta). Mungkin di acara sahur kali ini ada yang berbeda dariku, setelah hampir sebulan aku tinggal di rumah ini ternyata aku harus pergi juga meninggalkan semua kenangan yang pernah ada di rumah yang sangat mewah dan megah ini.

Makanan pun sudah siap dihidangkan oleh ke 3 pembantu di rumah ini. Dan seperti biasa, kami makan sahur sambil berbincang-bincang tentang cerita lucu untuk di obrolkan di meja makan. Tentu saja kali ini aku yang bicara prihal ke pulanganku besok pagi pada mereka. Langsung ku utarakan maksud hatiku untuk bicara bahwa yang pertama, Aku senang sekali bisa mengenal sebuah keluarga yang sangat harmonis seperti keluarga mereka. Selama hampir sebulan aku menjalani puasa di bulan Ramadhan ini bersama mereka-mereka yang selalu membuatku merasa berharga, tak henti-hentinya mereka perhatikanku layaknya bagian dari keluarga. Meski padahal aku tak  punya sedikit pun hubungan darah dengan mereka, tapi mereka semua sungguh tulus, baik hati dan ikhlas sekali dalam merawatku, memberiku tempat berteduh di rumah mewah ini.

Sekali lagi aku tak bisa bayangkan, jika aku tak pernah bertemu dengan mbak Suesih mungkin aku sudah mati saat itu, atau paling tidak aku sudah membunuh ayahku sendiri waktu itu. Untung saja Tante Yanti (sepupu jauhku) yang juga sobat paling dekat mbak Suesih datang berdua ke rumahku untuk ngelayad Alm. Ibuku saat itu, saat aku ingin mnembas leher ayahku dengan samurai. Akhirnya aku pergi bekerja di Jakarta dan meninggalkan rumah untuk mencari ung agar aku bisa menyekolahkan kedua adikku, karena ayahku sudah tidak mau bertanggung jawab lagi pada kami. Awalnya aku pergi ke Jakarta untuk mencari kerja tapi ternyata susah untuk dapat pekerjaan. (Tapi untung saja saat itu mbak Suesih waktu di rumahku sempat memberi kartu namanya padaku supaya aku tinggal dan bekerja bersamanya di Jakarta). Akhirnya aku baru kepikiran untuk mencari alamat mbak Suesih dan ternyata sesuai dengan alamat di kartu namanya. Hingga sekarang tanpa ku sadari aku telah hidup menumpang bersama mbak Suesih selama 3 bulan terakhir ini.

Dan baru mulai bulan lalu aku di ajak mbak Suesih untuk tinggal sementara di Yogyakarta, di rumah orang tuanya.

Hingga sampai sekarang aku terdampar di sini, di Yogyakarta aku di obati oleh ayah mbak Suesih yang sudah berumur 104 tahun itu. Tentu saja kalian sendiri sudah tahun penyakitku bukan? Kesanku selama mengenal Ayah mbak Suesih, dia seorang bapak yang baik, perhatian, bertanggung jawab dan aku percaya pada ilmu kebathinannya yang bisa mengobati “Fsikisku” ini. Dan memang sampai saat ini aku merasa ada yang berubah dari sisi mentalku, aku lebih bisa mengendalikan emosiku dan lebih bisa menerima kenyataan hidupku.

Selain Ayah mbak Suesih, di rumah ini juga tinggal Tantenya (adik Alm. Ibunya) dan adik perempuannya mbak Suesih. Sementara kedua kakak lelaki mbak Suesih tinggal di luar negeri, ada yang di Jepang dan ada yang di Singapura. Sementara keluarga besarnya yang lain tinggal di Jerman dan Inggris. Jadi kebanyakkan yang sekarang tinggal di rumah ini hanya pembantu, supir, satpam dan tukang kebun saja. Kalau di pikir-pikir, aku begitu pusing dan bingung dengan silsilah keluarga besar mbak Suesih. Yang sedikit ku ketahui bahwa Almarhumah ibu mbak Suesih adalah istri termuda ayahnya, hanya itu saja.

Akhirnya aku sudah mengungkapkan semua maksud hatiku pada keluarga mbak Suesih, bahwasanya besok pagi aku akan pulang ke rumahku di Cianjur, aku ingin menyelesaikan semua masalahku karena aku tak ingin jadi pecundang yang selamanya lari dari masalah dan kenyataan hidup. Aku tidak boleh menelantarkan kedua adikku yang seharusnya ku jaga, kulindungi dan kubimbing sepeninggal ibuku.

Beberapa menit kemudian, aku menyudahi makan sahur, lalu aku bergegas ke kamarku untuk membereskan pakaian dan siap-siap pulang. Sebelumnya aku sudah pamitan kepada semua keluarga beserta pembantu mbak Suesih di acara makan sahur barusan.

Saat ini waktu menunjukkan pukul 02.50 pagi. Terlalu dini bagiku untuk pergi ke Station kereta api pagi ini. Jadi aku meminta izin pada mbak Suesih untuk jalan-jalan mengelilingi daerah ini untuk yang terakhir kali. Tapi ternyata mbak Suesih malah meminjamiku mobil sedan mewahnya untuk ku bawa jalan-jalan mengitari kota ini. Aku pun tak menolak tawarannya itu karena sebenarnya aku ingin sekali pergi ke tempat favoriteku  yang agak jauh dari sini. Aku segera mengendarai mobil sedan merah mewah itu sendiri dan pergi ke suatu tempat yang biasa ku datangi dikala sedih itu.

Tiba sampai tujuan, aku keluar dari mobil dan duduk terlentang di atas mobil sambil menatap banyak bintang di langit. Inilah tempat yang ku maksud, aku tak tahu apa tahu apa nama tempat ini tapi aku biasa memanggilnya “Bukit Bintang” karena di sini selalu ada banyak bintang setiap malamnya. Tempat ini ada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan, tempat yang di penuhi rumput dan ilalang liar. Terkadang di sini banyak kunang-kunang dan serangga malam yang sangat lucu dan memperindah suasana. Tempat ini juga tidak begitu gelap karena lampu-lampu kota di bawah sana nampak berkelipan menerangi tempat sunyi ini. Ya… di sini (di bukit bintang) aku biasa melamun sendiri sambil menunggu ada bintang jatuh agar aku bisa minta pengharapan darinya. Kadang aku bernyanyi sendiri untuk sekedar menghibur sepi dan luka di hati, kadang ku menari di temani bintang-bintang dalam persembunyian malam. Terkadang ku berpikir, aku memang hina yang tak punya kebanggaan untuk bisa ku tunjukkan pada semua orang. Dan selamanya aku akan menjadi seorang ‘Pecundang’ yang tak mampu memperlihatkan wajahku pada orang lain. Bahkan untuk melihat diriku sendiri di cermin pun… “Aku tak sanggup”. Karena ku sadar betapa menyedihkannya aku di hadapan semua orang (Betapa tak berharganya aku bagi semua orang). Sementara ada 2 perempuan yang paling ku cintai dalam hidupku ini, yang pertama Almarhumah Ibuku dan yang kedua Nisa cinta pertamaku. Hanya bersamanya hidupku merasa lebih berarti, dan saat berada di dekatnya aku merasa menjadi diriku yang seutuhnya, yang bisa menerima diri apa adanya.

Aku masih di sini, tidur-tiduran di atas mobil sambil melamun mengenang masa lampau yang indah, bersama Ibuku di kala ku masih kecil dulu. Seraya berkhayal aku mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celanaku, ku ambil satu batang dank u nyalakan dengan api sebelum akhirnya ku isap. Rokok ini perlahan-lahan. (Asal kalian tahu bahwa aku sudah mulai merokok sejak kelas 6 SD, tapi itu nggak berlangsung lama karena dari semenjak akhir kelas 1 SMP aku sudah berhenti menjadi perokok aktif hingga sekarang. Tapi ternyata minggu-minggu ini aku kadang kembali merokok walau nggak tiap hari, aku juga nggak tahu kenapa aku harus kembali merokok, tapi ternyata yang kurasakan setelah merokok aku bisa berpikiran dingin dan tenang).

Ku isap rokok ini sambil melamun dan menatap bintang, begitu tenang suasana di sini, rembulan bercahaya menerangi tempat yang sunyi ini, serangga malam bernyanyi menyambut pagi yang takan lama lagi.

Beberapa isapan rokok terakhir ini menyadarkanku pada amanat Ibu dulu, “Bahwa Ibu nggak suka kalau aku menjadi perokok meski aku sudah dewasa dan bekerja, itulah alasanku berhenti merokok saat akhir kelas 1 SMP hingga sekarang”.

Aku pun kini langsung membuang setengah rokokku yang sedang ku isap, sebelum akhirnya ku buang juga sebungkus rokokku yang ada di dalam saku celanaku. Ternyata kini aku baru sadar kenapa saat itu Almarhumah Ibuku tak menginginkanku menjadi seorang perokok? Karena Ibu nggak pernah mau punya seorang anak pecundang yang bisanya cumin merokok doang demi bisa lari dari masalah. Ibu nggak pernah mengajarkanku untuk menjadi seorang pengecut yang menjadikan rokok sebagai bahan pelampiasan ketika aku sedang di landa kesedihan dan beban hidup yang terlampau berat. Ibu selalu menginginkanku untuk menghadapi problema hidup ini tanpa harus lari atau menghadapi problema hidup ini tanpa harus lari atau sembunyi dari masalah dan kenyataan hidup yang getir. Bagiku Ibu memang seorang wanita perkasa yang tak pernah gentar untuk melawan penderitaan hidupnya. Demi mempertahankan mahligai rumah tangganya, Ibu rela selalu dikhianati ayah yang suka selingkuh dengan memelihara banyak wanita. Bahkan demi mempertahankan harga dirinya, Ibu berani mati karena tidak pernah mau di madu atau di dua oelh istri muda ayah. Ibu memang patut untuk ku kagumi, dan seharusnya Ibu nggak patut mati, karena yang seharusnya mati itu adalah ayahku, itu sebabnya aku ingin membunuh ayah waktu itu.

Tapi sudahlah, aku terlalu lelah utnuk memperdebatkan hal ini, semakin terus ku ceritakan tentang ayahku semakin aku dendam dan sangat membencinya.

Malam semakin memutih, pagi ini waktu sudah hampir jam 04.00 shubuh. Aku sudah merasa mengantuk dan tak tersadar aku telah tertidur di atas mobil seperti biasanya. (Aku selalu tidur di tempat ini ‘Bukit Bintang’ setiap kali aku datang ke sini dalam keadaan sedih).

Nggak ceritanya sekarang udah jam 7 pagi. Waktunya aku pulang ke rumah Mbak Suesih untuk mengembalikan mobil ini, sebelum akhirnya aku pulang ke kota tercintaku nan jauh di sana (kota Cianjur-Jabar). Aku kendarai mobil sedan merah mewah ini dengan laju tenang menuju tujuan, rumah Mbak Suesih dari sini cuman sekitar 3 KM doang. Sebenarnya aku masih agak ngantuk soalnya malam tasi aku hanya tidur selama 3 jam, tapi gimanapun juga aku sudah terlanjur bilang akan pulang hari sekarang. Di perjalanan pulang menuju rumah mbak Suesih, aku cuman nguap-nguap doang sambil mengendarai mobil dan dengerin musik dengan lagu yang gedebrak-gedebruk, nggak ngerti.

Sampai aku tiba di rumah mbak Suesih 20 menit kemudian, ku parkirkan mobil di garasi seperti 3 mobil mewah yang berjajar lainnya di sana. Kemudian aku bergegas ke lantai 3 kamarku untuk membawa barang-barangku sebelum akhirnya aku pamit pulang. Segera ku siap berangkat, ku temui mbak Suesih terlebih dulu di kamarnya untuk pamitan. Aku sudah memahami kebiasaan mbak Suesih, kalau sekarang ini dia pasti lagi tidur dan biasanya baru bangun sekitar pukul 10 pagi. Tapi kali ini aku ingin bangunin dia untuk sekedar ingin bicara yang terakhir kalinya sebelum aku pulang.

Ku masuki kamarnya dengan membawa secangkir kopi hangat kesukaannya yang biasa dia minum saat pertama kali dia terbangun. Ku panggil-panggil ‘mbak Suesih’ dengan lembut agar dia tidak kaget, akhirnya nggak lama setelah itu dia bangun dan melihatku sambil tersenyum.

“Jadi pulang sekarang J…?” Tanya mbak Suesih.

“Nggak, tahun depan he he… ya iyalah sekarang, ya udah minum dulu kopinya nih, mumpung masih anget”, jawabku sambil celoteh.

Mbak Suesih pun terbangun dan langsung minum kopi hangat yang jadi kebiasannya selama aku mengenalnya. Tapi yang aku nggak suka, dia harus minum kopi itu sambil merokok, dan kutanya dia nggak bisa ngehilangin kebiasaan jeleknya itu. Sejak di campakkan suaminya 6 bulan yang lalu.

Sebelum akhirnya rokok itu diisap, aku segera merebutnya tanpa banyak berkata-kata.

“(ku gelengkan kepala) Nggak boleh… kali ini mbak harus nurut apa kata J, kesehatan paru-paru mbak itu lebih penting dan J nggak mau kalau sampai nanti mbak batuk-batuk lagi. Merokok itu nggak bakal bisa nyeleseiin semua masalah, yang ada malah nambah masalah baru. Emang mbak udah lupa cara baca yach, ya udah sekarang J bacain buat mbak”. Mbak dengar khan? Merokok itu cuman bikin kita mati dengan cara perlahan. Pokoknya J nggak mau liat mbak merokok lagi, mbak janji yach?” nasehatku pada mbak Suesih.

Sementara mbak Suesih cuman berkaca-kaca mendengarku yang sedang menasehatinya untuk yang terakhir kali.

“Mbak seneng kalo J perhatian sama mbak, baru kali ini mbak mendengar nasehat yang tulus dan mau peduli sama kesehatan mbak. Sayangnya mbak belum punya anak, kalo saja nanti mbak punya anak, mbak mau anak itu seperti J, calon bintang penulis yang berbakat. Mbak janji nggak bakal ngerokok lagi atau paling nggak mbak mau berusaha untuk nyoba berhenti dari rokok”. Janji mbak Suesih.

“(ku peluk mbak Suesih) mbak jangan lupain J yach…! Suatu saat J pasti bakal balik lagi dan saat itu mbak bakal liat J jadi orang sukses, penulis terkenal. J pergi dulu ya mbak? Pokoknya mbak harus bisa berubah mulai dari sekarang atau mbak akan selamanya terkekang dalam pahitnya kenyataan. Ingat mbak kebahagiaan itu dapat di temukan dalam sebuah jiwa yang selalu mau bersyukur dan ikhlas memasrahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Ya udah J berangkat sekarang yach (sambil menghapus air mata mbak Suesih)”. Pesan terakhirku pada mbak Suesih.

“Yowis ati-ati yach J…!! maaf mbak Suesih nggak bisa nganter kamu pulang sampai tujuan, soalnya beberapa hari lagi mau lebaran jadi mbak nggak bisa keluar rumah sekarang-sekarang, J bisa ngertiin mbak khan?”Tanya mbak Suesih.

“Iya Mbak... J ngerti (sambil tersenyum kecil)” jawabku pendek.

“Ya udah gini aja deh… gimana kalau sekarang mbak pesenin tiket pesawat ke Jakarta buat J… Ok nggak?” selang mbak Suesih.

“Duch… nggak mau ach… aku tuch agak “Gaptek” banget mbak soal yang gituan. Entar gimana hayo kalo aku malah nyasar ke pulau aceh atau papua? Ya udah nggak apa-apa, aku mah pulangnya pengen naik kereta api aja biar ongkosnya sedikit murah… ngomong-ngomong, aku berangkat sekarang yach mbak? (sambil bergegas pergi keluar dari kamar)” pamitku pada mbak Suesih.

Lalu kemudian mbak Suesih menuntunku sampai halaman rumah, sebelum akhirnya supir pribadi keluarga mbak Suesih mengantarkanku sampai station pusat kereta api Yogyakarta.

Setibanya aku di Station Gambir-Jakarta. Pemberangkatanku ke sana pagi ini sekitar pukul 10.00 kurang lebih satu jam lagi dari sekarang kereta api akan datang.

 

* * *

 

 

Kembai ke Jakarta

Ceritanya, sesampainya aku di Station Jakarta, aku langsung pergi ke rumah Tante Yanti di daerah kebayoran Baru-Jakarta Selatan. Oh iya, kalo kalian udah sempet baca judul “Tunggu Aku Jakarta” pasti kalian udah nggak asing lagi sama yang namanya Tante Yanti. Lebih jelasnya lagi, bahwa Tante Yanti itu adalah sepupu jauhku dari Alm. Ibuku sekaligus juga sobat dekatnya mbak Suesih di Jakarta. Tapi sayang, Tante Yanti itu seorang “Wanita Panggilan” kelas kakap yang cuman mau ngelayanin nafsu birahi orang asing alias bule keren doang. Tapi gimanapun juga dia itu saudaraku, dia lebih tahu dan punya alasan kenapa dia menjadi seperti itu. Aku ingin sekali merubah perilakunya atau paling tidak memberikan sedikit nasehat untuknya, tapi aku butuh waktu untuk itu semua.

Aku tiba di rumah Tante Yanti pulul 9 malam dengan di antarkan Taxi sejak di Station kereta api Gambir. Sebelumnya aku menelepon ke Handphone Tante Yanti bahwa aku ingin menginap di rumahnya malam ini. Tapi sayangnya, saat ini Tante Yanti sedang ada “Job” nginep di hotel laut anyer bareng bule langganannya. Aku malah di suruh langsung aja ke rumahnya karena ternyata temen Tante Yanti juga sedang mau nginep di rumahnya.

Sesampainya aku tiba di dalam rumah Tante Yanti, ternyata ada 2 orang wanita muda yang menyambutku dengan ramah. Ini pertama kalinya aku menginap di rumah tante Yanti dan aku agak ngerasa nggak nyaman berada di tempat ini. Kedua wanita itu langsung mengenaliku karena ternyata menjamuku dengan baik di rumah ini. Keduanya dari mereka mengajakku berkenalan dan baru setelah itu ku ketahui nama  mereka.

Yang pertama bernama Kiki, umurnya sekitar 23 tahun, rambutnya lurus sebahu, berkulit putih bersih dan bodynya…Aduhai bo, mana tahan he he he …

Yang kedua namanya Mia, umurnya sekitar 21 tahun, rambutnya panjang, berkulit sawo matang dan perawakannya tidak jauh berbeda denganku.

Sebenarnya di rumah ini tinggal seorang anak lagi, dia bernama keiysha, berumur 5 tahun, turunan indo alias pasti lucu banget dong anaknya. Tentu saja anak itu adalah anak kandung Tante Yanti, hasil kumpul kebonya bareng pacarnya orang Perancis itu. Katanya sich ayah kandung keiysha itu seorang konsultan dari Perancis, tapi aku bener-bener nggak yakin apakah ayah Keiysha mau mengakui “Darah dagingnya” itu, ya tentu saja hasil hubungan gelapnya dengan Tante Yanti, tapi ternyata Tante Yanti sendiri tidak mau mempermasahkan semua itu, baginya dia akan menceritakan bahwa ayah Keisyha sudah mati. Dipikir-pikir lagi, Keisyha itu anak yang malang dan aku selalu kasihan bila melihatnya. Awal aku berjumpa 3 bulan yang lalu dengan Keiysha pun anak itu langsung memelukku dan tak ingin lepas dari pangkuanku. Semakin jelas ku ketahui bahwa Keisyha layak untuk mempunyai seorang ayah, dia pasti sangat rindu sekali dengan sosok ayahnya, walau keiysha sendiri tidak pernah tahu siapa sebenarnya ayah kandungnya. Sekarang ini orang yang sedang ku ceritakan itu (Keiysha) sedang tidur terlelap di kamarnya. Pasti sekarang dia sedang bermimpi bermain boneka di taman bersama ayah-ibunya. Kasihan Keiysha, dia selalu tidur sendiri setiap malam, seorang anak balita secatik Keiysha seharusnya tak patut bernasib buruk seperti ini.

Lalu aku mendekati Keiysha yang sedang tidur terlelap itu. Ku rapikan rambut poin hitamnya yang terurai menutupi matanya, ki iingin menangis bila melihat wajahnya yang lugu. Kemudian ku doakan dia supaya cepat besar dan tumbuh cantik seperti bidadari, biar ayahnya nanti akan menyesal sudah menyia-nyiakan anak secantik Keiysha. Ku kecup kening Keiysha sambil berkata “Selamat Tidur Sayang” dan bermimpilah tak perlu kau takut, karena aku pasti akan menjagamu, selalu.

Sekarang waktu memang sudah makin larut, aku benar-benar lelah dan tubuhku seperti remuk hari ini aku sudah melalu perjalanan jauh(Yogyakarta-Jakarta), saatnya kini ku istirahat dan segera tidur yang nyenyak. Aku meminta izin pada Kiki dan Mia untuk tidur duluan, di samping Keisyha aku rebahkan tubuh dan mulai terlelap perlahan. Akan ku jaga Keiysha layaknya adikku sendiri dan dia takan percaya bahwa nanti aku bisa menjadikannya artis terkenal yang punya jutaan penggemar. Tidurlah yang nyenyak di sampingku sayang, selamat tidur Keiysha kecilku, selamt malam semuanya…

Awan hitam itu perdetik terhempas angin dan pergi ke satu tempat di belahan dunia lainnya. Sementara cahaya putih kian memucat dan pijaran bintang-bintang memantul warnai awan terangi alam. Ada saatnya malam, ada waktunya pagi menjelang. Serangga malam kembali pulang seraya membawa buruan, si ayam jantan terbangun mengepak sayap dan siap untuk berteriak. Itu pertanda matahari akan segera datang, sambutlah dia wahai manusia dengan wajah riang. Burung-burung pun keluar dari sarang untuk mencari makan, bersenda gurau bersama pasangan di dahan pohon seperti orang sedang kasmaran. Mentari pagi perlahan meninggi, memberi warna dunia bak bunga-bunga indah yang tumbuh di musim semi.

Seseorang begitu terasa telah mencium pipiku sementara ku masih merebah tuk melepaskan segala lelah. Sebuah rasa penasaran membangunkan tidurku untuk segera melihat siapa yang barusan sudah mencium pipiku. Mataku mengembang dan perlahan aku kembali melihat duani, ku fokuskan segala pandangan pada titik wajah di sampingku.

“KEIYSHA…”, terikakku sebelum akhirnya ku peluk dia dan kami berguling di atas kasur sambil tertawa terbahak-bahak. Sedangkan dia makin ketawa lantang saat ku gelitiki tubuh mungilnya itu,

“Kaka… udah… ampun… geli… udah…”, teriak Keiysha menahan geli sementara aku terus menggelitiknya.

“Keiysha nakal yach…? Hayo, Keiysha kangen nggak nih sama kaka?” ucapku pada Keiysha sambil memencet hidungnya.

Dan Keiysha menjawabnya dengan sebuah senyuman manis serta anggukkan malu wajahnya.

Pagi ini ternyata sudah pukul 07.15 dan aku baru saja terbangun karena Keiysha mencium pipiku saat ku tertidur barusan.

Rupanya Keiysha masih mengingat hapal wajahku setelah terakhir kita bertemu satu bulan yang lalu. Dia memanggil aku “Kaka” dan sejak saat itulah aku sudah menganggapnya adik perempuan kandungku sendiri.

Di pagi ini aku dan Keiysha masih bercanda di kasur dan kali ini kami sedang maen perang bantal sambil loncat-loncat kegirangan.

Tentu saja aku pura-pura kalah untuk meninggikan hatinya, dan aku langsung pura-pura jatuh sedangkan Keiysha terus saja memukul kepalaku dengan bantal dan bahkan dia loncat menindihku dengan tubuhnya.

“Ampun… ampun… Kaka nyerah dech, Kaka kalah… udah yach perang bantalnya, Kaka capek nich Keiysha”, ucapku pada Keiysha.

Sementara Keiysha yang masih terus menindihku nggak mau ngelepasin aku,

“Hore Keiysha menang…” teriaknya riang.

Lalu aku kembali mengajaknya bicara serius dan tak ingin bercanda lagi.

“Keiysha sayang nggak sama Kaka?” tanyaku padanya dan kini kami bicara sambil tidur-tiduran lagi.

“Nggak, soalnya Kaka jelek… Kaka jelek Kaka jelek” celotehnya padaku.

Dan kami kembali bercanda dengan belaga maen smackdown, hingga akhirnya datang Kiki (teman tante Yanti) menghampiri kami yang sedang ketawa-ketiwi. Kini pun ikut menertawakan kami sebelum akhirnya dia berkata pada Keiysha seperti ini :

“Ayo Keiysha udahan dulu yach maennya, sarapan dulu nich, mbak Kiki suapin ya sayang, ayo Keiyshanya kesini dulu dong”, tegur Kiki pada Keiysha.

“Nggak mau ach… Keiysha belum lapar, entar aja makannya Keiysha mau maen dulu sama Kaka”, bantah Keiysha pada Kiki.

Lalu setelah itu aku mulai ngerayu Keiysha untuk makan dulu sebelum mau maen lagi denganku:

“Ayo dong Keiysha makan dulu biar cepet gede, entar Kaka pulang lagi nich kalo Keiysha nggak nurut sama Kaka”, ucapku pada Keiysha.

Keiysha cemberut ketika dengar ucapanku yang mau pulang sekarang dan ninggalin dia lagi. Akhirnya dengan wajah agak sedih Keiysha mau nurut perkataanku untuk makan dulu dengan di suapin Kiki. Nggak lama dari itu pun aku dan Kiki mulai akrab dan berbincang-bincang sambil nyuapin Keiysha. Duch… serasa jadi udah berkeluarga decah kalo lagi gini, Kiki jadi ibunya, Keiysha jadi anaknya dan aku jadi ayahnya, he he he … Apalagi yang ku liat dari fisik Kiki (Dia itu cantik banget). Walau sebenarnya aku baru semalam tadi kenal sama Kiki, tapi yang ku rasakan Kiki itu sangat baik dan perhatian sekali. Dia juga sepertiku yang ngerasa kasihan dengan nasib Keiysha yang seharusnya dapet belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya, apalagi Keiysha masih kecil, usianya sekarang palingan baru 5 tahunan dan dia sangat butuh perhatian.

Ya Ampun… Keiysha itu selain cantik, lucu tapi dia juga ternyata smart, bayangin aja, sekarang Keiysha malah nyuruh Kiki kuat nyuapin aku juga… malu khan. Tapi Keiysha emang agak sedikit manja dan segala yang dia katakana harus kita turuti atau kalo nggak dia bakal merengek nangis tanpa henti-henti. Ya kepaksa Kiki nurutin apa kata Keiysha buat nyuapin aku juga, kalo aku sich saat ini nggak mau banyak komentar soalnya aku nggak bakalan nolak kok kalo Kiki yang nyuapin aku, he he he… Asyik. Awalnya aku malu pas Kiki nyuruh aku buka mulut dan dai suapin aku sambil bercanda-canda dulu maenin aku. Sementara di sisi lain Keiysha kegirangan melihat aku senyum-senyum bareng Kiki. Mungkin Keiysha nerasa bahagia seperti sudah mendapatkan keluarga baru yang selama ini dia impikan. Hey tunggu dulu, coba kalian tebak apa yang diinginkan Keiysha lagi pada kami berdua? Keiysha minta padaku untuk mencium Kiki dan bilang sayang, udah gitu kita langsung di suruh pacaran. Ya Ampun… Keiysha… Keiysha, entah darimana dia mengerti bahasa anak dewasa itu, tapi itu cukup lumayan mengagetkan kami berdua saat mendengar permintaanya. Aku dan Kiki jadi bingung buat nanggapin omongan Keiysha, tapi yang pasti kami harus nurutinnya sebelum ada mengamuk dan nangis.

      Akhirnya aku dan Kiki bermusyawarah untuk memecahkan sebuah keputusan prihal ini, dan hasil akhir kita yaitu : aku dan Kiki nurutin semua kemauan Keiysha, tapi tentu saja kami cuman pura-pura pacaran doang (tapi kalo aku mah beneran juga nggak apa-apa kok, he he … Becanda). Setelah ini aku mulai berkata-kata sayang pada Kiki seperti yang Keiysha minta. Dan satu hal terakhir, aku juga mencium kening Kiki seperti yang Keiysha mau. Udah gitu aku juga kembali di suapin Kiki ketiga kalinya sebelum aku sadar dan bilang :

“Astaghfirullaahal’azhim… ini khan masih bulan Ramadhan, dan aku lupa kalo hari ini aku harus puasa. Kenapa dini hari tadi Kiki nggak bangunin aku buat sahur? Dan kenapa juga Kiki nggak ingetin aku dulu, malah langsung suapin aku”, gumamku pada kiki.

“Ya… aku gak tau kalo kamu tu mo puasa, malah tadinya aku pikir kamu tu non muslim. Kalo Kiki sama Mia sendiri sich nggak pernah puasa jadi kami nggak pernah sahur. Udah aja dech kalo lupa khan nggak bakalan batal ini?” ucap Kiki padaku.

Lalu aku menjawabnya lagi dengan singkat sambil tersenyum, “Oh iya juga yach… ya udah dech aku lanjutin lagi puasaku meski semalem nggak sahur dulu”.

Muali dari situ aku dan Kiki menjadi sangat akrab dan kami sering menghibur Keiysha bersama.

Hari ini Keiysha ngajak aku dan Kiki maen ke Mall Blok-M buat jalan-jalan. Aku setuju dengan usulannya karena besok pagi aku akan pulang ke rumahku, jadi mungkin hari ini aku terakhir kali ada di Jakarta dan bermain bersama Keiysha.

Hari ini hari Jum’at tanggal 20 Oktober 2006 :

Berhubung hari ini hari jum’at dan aku harus shalat jum’atan dulu di mesjid, jadi kami berangkat ke Mall Blok-M sesudah aku selesai shalat jum’at dan setelah kami tidur siang dulu hari ini.

Akhirnya setelah aku beres shalat jum’at dan tidur siang, kami mulai berangkat pada pukul 3 sore untuk pergi jalan-jalan ke Mall Blok-M yang tak jauh dari sini.

Lihat awan di atas sana, berarak mengikuti arah langkahku, seakan memayungik gelak tawa dan ceria dari mulut kita. Sedangkan aku masih berjalan bersama Kiki dan Keiysha, berjalan-jalan di bawah langit sore, saling bergenggaman tangan sepanjang perjalanan. Celotehan lucu biasa terlontar dari mulut kami, membuatku merasa sangat bahagia serasa punya keluarga yang utuh dan harmonis.

Bisa kalian bayangkan, aku berjalan di sebelah kirisambil menggenggam tangan kiri Keiysha yang berjalan di tengah, sementara Kiki berjalan di sebelah kanan sambil menggenggam tangan kanan Keiysha yang berjalan di tengah-tengah kami. Kalau ku perhatikan, kami seperti sebuah keluarga dengan satu anak berumur 5 tahun yaitu Keiysha. Aku sendiri merasa tidak malu meski kami berjalan berdampingan, biar saja semua orang yang melihat menganggap kami sebagai orang tua dan anak. Soalnya Keiysha khan anaknya nggak malu-maluin buat di bawa kemana-mana, secara dia itu anaknya lucu banget, bisa kalian bayangkan gimana lucunya turunan Indo atau blesteran Prancis?

Dan memang sepanjang jalan, semua orang memperhatikan kami terutama Keiysha. Terkadang banyak ibu-ibu menghampiri kami untuk menyapa sambil muji-muji Keiysha, tidak sedikit dari ibu-ibu itu gemes pengen nyubit pipi Keiysha yang chubby dan lucu abiss.

 Tapi kami tak begitu menghiraukannya, kami terus berjalan hingga ke dalam Mall Blok-M. sampai di dalam, kami memutari semua sudut ruangan untuk mencari apapun yang keiysha inginkan.

Kami membeli barang pernak-pernik berupa gelang, kalung dan gantungan kunci.

Setelah kami mencoba alat pijat refleksi yang otomatis, rasanya pegal-pegal badanku hilang dan tubuhku kembali bugar.

Lalu sesudah itu kami makan di kafe yang ada di sudut ruang. Tapi yang makan hanya Kiki dan Keiysha karena aku sekarang sedang puasa di bulan Ramadhan.

Setelah selesai makan, kami lanjuti acara jalan-jalan ini kembali dengan memutari lagi badan Mall yang megah ini. Sampai-sampai aku nggak merasa jemu meski berulang kali mengitari ruangan ini, soalnya bila melihat Keiysha yang selalu ceria itu bisa membuatku terus bersemangat.

Aku senang sekali seperti ini, rasa-rasanya aku telah menemukan keluarga impianku yang hilang. Bila melihat Keiysha, aku selalu teringat Almarhum adikku Gilang yang telah meninggal dunia 4 tahun yang lalu. Kalau gilang masih hidup, mungkin dia akan seusia Keiysha sekarang. Kalau Keiysha terlihat Cantik, mungkin Gilang akan menjadi lelaki tampan yang pantas mendampingi Keiysha kelak.

Selain itu aku juga bahagia bisa jalan-jalan bersama Kiki, soalnya dia perempuan anggun dan keibuan banget seperti idamanku selam ini. Meski umur Kiki 23 tahun dan aku baru 18 tahun, tapi dia tak pernah menganggapku sebagai “Anak Kecil” malah dia suka meninggikan hatiku dengan kedewasaanya. Tapi meskipun kiki cantik, bagiku dai tak seberapa bila di bandingkan Nisa Pujaanku. Karena hatiku takan pernah bisa tergoda akan rayuan cinat sesaat setiap wanita berbisa.

“Duch… tau napa malah jadi ngelantur ngomongin Nisa lagi, Nisa lagi? Setiap kali aku menulis tentang sosok perempuan, yang ada di pikiranku pasti hanya Nisa, karena bagiku, wanita yang paling sempuran setelah Almarhumah Ibuku adalah Nisa seorang. Dan hanya Nisalah wanita yang tersisa yang ku punya di dunia ini, dialah seorang yang aku tunggu. Dan hanya ada satu kalimat terakhirku untuknya, nantikanlah aku menjadi Suamimu kelak”.

Ya udah, anggap aja tadi itu jadi selingan doang. Dan sekarang kita lanjutin lagi ceritanya, masih tentangku di senja sore ini bersama Kiki dan Keiysha.

Yang pasti sore ini aku senang banget bisa jalan bareng bersama mereka, sampai-sampai aku keletihan juga untuk melangkah. Kiki sama Keiysha sich nggak puasa jadi mereka kuat, sedangkan aku khan puasa jadi staminaku lemah, apalagi sekarang udah hampir adzan maghrib dan saatnya untuk buka puasa.

5 menit sebelum adzan maghrib, aku sudah siap-siap duduk dibangku kafe untuk menunggu waktunya buka puasa. Di sini masih ada aku, Kiki dan Keiysha yang masih setia menemaniku, kami masih sempat-sempatkan bercanda saat ini. Bertiga duduk di bangku kafe sambil maen teka-teki dan simpul tawa tak jarang kami keluarkan. Aku bahagia hidup seperti ini, rasa-rasanya tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata.

Tapi seketika ku tersadar akan kata-kata muaiara seperti ini: “Sedih itu bukan di saat kita sendiri, kesepian dan tak ada seorang pun yang mau menemani. Tapi justru sedih itu di saat kita bersama dengan kawan-kawan, bersenda gurau dan tertawa, tapi tak ada orang yang kita sayangi duduk di samping kita untuk ikut bercanda”. Dan memang ku sadei semua itu saat ini, ketika aku sedang bergembira tapi tak ada Nisa duduk di sampingku. Tetap saja tanpa Nisa, kegembiraan ini hanya sebuah karikatur yang palsu. Meski di dalam keramaian, tapi hatiku merasa sepi tak bertuan. Pikiranku terus berputar pada kenangan masa lampau, aku seperti ingin menulang dan menjamah lagi masa lalu itu, tapi aku tak bisa. Aku benar-benar menjadi gila dengan semua ini, di sisi lain aku sedang hidup di masa kini tapi sisi yang lainnya lagi hatiku telah tertinggal bersama kenanganku di masa lampau. Bila masih mungkin waktu ku putar, akan ku tunggu dirimu (Nisa) di tempat pertama kali kita berjumpa. Tapi hidup memang kejam, dia tak memberi kesempatan padaku untuk memiliki cintamu Nisa. Biarlah cinta ini ku simpan untuk masa depan, sampai kita bisa berjumpa lagi. Karena ingin sekali ku tanyakan untuk yang terakhir kalinya untuk siapakah hatimu kini akan kau berikan?

Kemudian suara adzan maghrib menyadarkan lamunanku, segeralah aku buka puasa bersama Kiki dan Keiysha. Tak terasa, puasa di bulan Ramadhan ini tinggal 3 hari lagi, karena tanggal 24 oktober sekarang sudah lebaran. Mungkin malam ini menjadi malam terakhirku bersama Kiki dan Keiysha, karena besok pagi sebelum Keiysha bangun tidur aku sudah pergi untuk pulang ke rumahku di Cianjur. Rasanya mulutku sulit untuk mengucapkan pamit pada Keiysha, karena dia pasti akan bersedih dan enggan ku tinggalkan. Hanya bisa ku titipkan pada Kiki pesan terakhir ini, semoga Kiki bisa merawat Keiysha hingga dia tumbuh menjadi puteri salju di dalam dongeng anak-anak.

Selesai aku buka puasa, aku langsung shalat maghrib dan hendak lanjutkan jalan-jalan di senja petang.

Kali ini kami ingin jalan-jalan di luar sambil melihat langit yang mulai penuh bintang. Berjalan lagi dan bergandengan tangan seraya bersenda gurau menikmati malam yang indah. Kulihat di sekitarku, menikmati malam yang indah. Ku lihat di sekitarku, banyak orang yang berjualan di pinggir jalan, nampak ramai menjajakkan dagangannya pada orang-orang yang lewat. Di sampingku masih ada Kiki, ingin membeli kacang rebus yang masih hangat, ternyata Keiysha juga minta di beliin hingga akhirnya aku juga ikut-ikutan beli, akhirnya kami beli 3 bungkus kacang rebus itu yang di wadahi ke dalam kerta karton yang di bentuk tpi kerucut sedang. Sepanjang jalan kami ngobrol sambil ngemil kacang, kadang Keiysha malah suka minta dibukain kulit kacangnya lalu pengen di suapin sama aku atau Kiki.

Tentang hari ini takan mungkin ku lupakan sepanjang hidupku. Bersama mereka aku kembali bersemangat menempuh hidup yang penuh liku dan berlubang. Andai aku bisa lebih lama bersama dengan Kiki dan Keiysha, aku pasti bahagia. Tapi waktu tak mengizinkanku untuk bergembira karena ia lebih suka melihatku menderita sepanjang hidupku. Semua ini memang nggak adil buatku, salahkah aku meminta ke bahagiaan yang selama ini tak ku dapatkan?   

Tentang malam ini takan mungkin bisa terulang lagi, biarlah hanya sekali tapi membuatku takan lupa sampai mati. Andai waktu bisa kuhentikan, aku ingin selamanya seperti ini, karena baru kali ini aku merasakan bisa tertawa lepas bersama Kiki dan Keiysha.

Tapi sayang besok aku harus pulang, aku harus menyelesaikan semua masalahku dengan ayahku. Aku akan pulang bukan sebagai seorang “Penulis” tapi sebagai seorang anak yang punya tanggungjawab untuk mengabdi dan berbakti kepada orang tua. Apalagi 4 hari lagi lebaran idul fitri agamaku, dan aku punya kewajiban untuk berziarah ke makam ibu, selain itu seminggu lagi almarhummah ibuku itu berulang tahun yang ke-50.

Ulang tahunnya itu tanggal 28 Oktober, kurang lebih 8 hari lagi dari sekarang. Tapi sayang, aku tak bisa lagi mengucapkan selamat ulang tahun pada ibu. Sementara dia sendiri tak pernah lupa untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku sampai sebulan sebelum dia meninggal dunia.

Biarlah kusimpan rindu inisampai akhir nanti, aku akan ada di sana, kembali bersamamu ibu. Dan maafkan aku karena sampai saat iniaku belum bisa membuatmu bangga, tapi aku akan selalu berusaha untuk menjadi orang terkenal seperti yang engkau minta, agar semua tetangga-tetangga kita bisa sadar, siapa yang lebih hina dan menyedihkan antara keluarga kita atau mereka?

Teruntuk ibu di surga; Besok aku akan pulang ke rumah untuk menjenguk kedua adik (Indra, Dimas) dan berziarah ke tempat peristirahatan terakhir ibu. Nantikan aku ya Bu… Aku pasti akan pulang membawa Indra dan Dimas untuk pergi belanja seharian, akan kubelikan mereka pakaian bagus, sepatu baru, agar mereka tak malu lagi memakai baju jelek yang selalu dihina orang, dihina tetangga-tetangga dan dipermalukan teman-temannya …….

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

anudatar.blogspot.com kekasih terakhir 2 eps 4 : indekost

Kekasih Terakhir 3 Eps 10: Wasiat Sang Penyair

  Wasiat Sang Penyair                CATATAN AKHIR   TAHUN 2006                                                                   SURAT ...