Last Girl ‘n 4ever
Yogyakarta:
Rabu, 18 Oktober 2006
Pukul: 23.45 malam
Kegelapan malam ketika ini seakan
mengerti kesedihanku, ketiadaan bulan dan bintang bagai berkabung dengan
kematian jiwaku, dan aku bagaikan pelampung di lautan tanpa sebarang haluan.
Terombang-ambing dibawa arus
kehidupan …
Sekali lagi aku dilanda
kebingungan
Apakah ini dikatakan realiti
kehidupan,
Aku keliru mengapa lambaian
kebahagiaan
Tidak hadir dalam diriku …
Namun yang tinggal hanyalah
kedukaan demi kedukaan, apa yang aku impikan tidak menjadi kenyataan, semuanya
hilang, bagaikan debu yang bertaburan …
Musnah segala impian dan harapan
Musnah bagai dilanda badai
Bagai lenyap di segenap
pandangan,
Harapan masih ku damparkan
Seluas-luasnya. Seperti luasnya
lautan …
Namun kehidupan mengajarku
Kebahagiaan harus ku cari
Ya! Akan ku cari, kebahagiaan,
Yang membawa seribu satu arti
Aku tidak akan mengalah lagi
Akhirnya aku akui inilah realiti
kehidupan
Aku telah
melewati sebuah masa perih;di saat aku di caci, di sakiti, di hina dan dibuang
oleh semua orang yang mengaku bernama teman.
Ketika ini aku
sedang duduk di kursi beranda rumah lantai 3 sambil menatap langit yang tak
berbintang:
Jika kalian
sudah membaca Novel Kekasih Terakhir ini dari awal (dari mulai halaman pertama
sampai dengan halaman ini), maka sepenuhnya kalian sudah mengenalku lebih jauh.
Dan inilah aku, manusia yang tak berharga untuk ada di dunia. Hingga wajar saja
semua orang tak memperdulikan keberadaanku di sekitar mereka, aku seperti
sampah atau bahkan lebih hina dari kotoran unggas yang menjijikan bagi mereka.
Ibuku,
satu-satunya orang yang sangat memperhatikanku sudah meninggal dunia sejak 102
hari yang lalu (8 Juli 2006). Sementara pada hari ke-8 kematian ibu waktu itu,
aku meninggalkan rumah dan bekerja bersama mbak Suesih di Jakarta. Mulai saat
itu aku menjadi tulang punggung keluarga (kedua adikku) karena ayahku pergi
meninggalkan kami. Rasanya terlalu pedih bila aku harus mengingat kembali
kenangan suram itu. Tapi untunglah … aku masih bisa bertahan hidup dan
menghidupi kedua adikku di rumah sampai saat ini. Karena setiap bulannya aku
selalu mentrasfer uang ke nomor rekening adikku Indra untuk biaya sekolah
mereka.
Aku tak bisa
bayangkan jika seandainya waktu itu tak ada Mbak Suesih M. Tomlinson-mungkin
kini aku sudah dipenjara akibat membunuh ayah kandungku sendiri, atau paling
tidak aku akan menjadi gembel dijalanan yang hidup dari hasil mengemis.
Kalian mau tahu awal ceritanya
kenapa aku meninggalkan rumah dan bekerja sejak 3 bulan yang lalu?
Apa kalian juga mau tahu kenapa
aku sampai bisa tinggal di rumah Mbak Suesih selama ini, padahal dia bukan
saudaraku ataupun kenalanku?
Baiklah aku akan menceritakan
kembali secara singkat pada kalian, jika kalian belum sempat membaca judul
“Teruntuk, ibu di surga dan Tunggu aku … Jakarta”
pada kisah di Novel kekasih terakhir ini.
Semua berawal
pada sebuah pagi di hari ke-8 kematian ibuku. Waktu itu aku menggenggam samurai
kesayanganku dengan niat ingin membunuh ayahku, karena kau tahu hanya dia
seoranglah yangharus bertanggungjawab atas kematian ibuku. (untuk lebih
jelasnyalagi, jika kalian ingin mengetahuicerita itu maka kalian baca sajajudul
“Tunggu Aku… Jakarta” karena di sana sudah kuceritakan
alasanku kenapa ingin membunuh ayahku).
Pada intinya
setelah aku meninggalkan rumah, aku hidup bersama Mbak Suesih. Kenapa aku
sampai bisa mengikuti Mbak Suesih? Jika belum tahu jawabannya, coba kalian
baca-baca lagi di tengah halaman judul “Tunggu Aku … Jakarta”.
Yang pasti
saat ini; aku masih mengidap npenyakit Skewsophenia
yang sudah mulai ku derita sejak aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
Ketika aku masi ada di Jakarta, (2 bulan tinggal
di Jakarta) MbakSuesih membawaku berobat ke
salah satu temannya waktu kuliah di Universitas Indonesia (UI)-yang kebetulan dia
seorang psikiater. Namanya Dr. Harry Budiono Sp. KJ dan aku sering banyak
berkonsultasi padanya tentang kepribadianku yanganeh;”pasalnya akhir-akhir ini
aku sering bicara pada hatiku sendiri seperti kawan yang sedang ada di depan
mataku, disamping itu aku juga sering melihat sosok orang yang selalu aku
impikan nampak nyata ada di depanku. Dengan kata lain, aku sudah tidak bisa
membedakan lagi antara sebuah ‘khayalan dan kenyataan’. Yang pasti satu hal
yang selalu ku ingat adalah mimpi burukyang sama, yaitu orang yang sangat
kusayangi akan mati di depanku (meninggalkanku sendiri) dan aku selalu takut
akan kehilangan mereka-setelah sebelumnya aku ditinggal mati oleh sepupu
sekaligus sobatku Danu, adik lelaki paling kecilku Gilang, sahabat
sepermainanku Yudi, kakak angkatku sekaligus penyelamatku Andi, kakak tiriku
yang ikut membiayai sekolah dan hidupku Kak Yusuf, dan setelah 10 hari kak
Yusuf meninggal akhirnya disusul oleh kematian ibuku”. Satu sama lain meninggal
dunia dengan jarak yang cukup dekat dalam beberapa tahun ini. Bahkan sebelum
ibuku meninggal, 3 bulan sebelumnya kakak kandung perempuan dari ibuku
meninggal dunia duluan. Dalam satu tahun saja dan tiap tahun sebelumnya aku
bisa menghadiri 7 sampai 8 acara kematian temanku, atau pun eluargaku. Sejak
dari mulai itu aku selalu trauma dengan kematian, aku sangat takut ditinggalkan
oleh orang-orang yang peduli padaku-perhatianpadaku-da saying padaku.
“Selama ini
aku selalu baik pada semua orang, aku selalu memberikan semua milikku pada
mereka saat mereka memintanya. Kadang aku juga selalu membelikan barang-barang
yang temanku inginkan, aku tak peduli meski mereka hanya
memanfaatkanku-menguras semua uangku-karena asal mereka bahagia oleh kebaikanku
maka aku pun akan ikut bahagia karena mereka selalu ada disampingku”.
“Satu hal yang
kutakutkan adalah kehilangan mereka, ketika di satu waktu mereka akan
eninggalkanku atau bahkan tak mau lagi jadi temanku (aku selalu takut mereka
akan memusuhiku)”.
Pernah disuatu
ketika aku berada dikerumunan kawan-kawan Nisa selama beberapa bulan. Saat itu
hari-hari hidupku sempat ku habiskan bersama mereka.
Dari mulai sepulang sekolah
(kelas 2 SMP) aku dan mereka selalu bermain bersama di rumah salah satu orang
dari kelompok kami. Aku sungguh sangat menyayangi mereka (sebagai sahabatku) walau
di akhir cerita mereka semua memusuhiku karena satu masalah yang tak ku tahu.
Padahal selama berkawan dengan
mereka (Windha, Putri, Sally, Nisa) aku selalu memberikan apa saja yang aku
punya. Dan sebatas aku mampu-aku selalu melakukan apa saja keinginan mereka,
membelikan barang-barang yang mereka minta. Di dasar hatiku pernah sekali aku
menginginkan menjadi orang yang paling berharga di hati mereka, di tempatkan di
tempat yang paling istimewa di perjalanan hari-hari hidup mereka.
Tapi semua
harus berakhir juga saat mereka mencoba untuk memusuhiku karena satu masalah;
“Aku memang pernah janji pada mereka waktu itu, bahwa aku kan meneraktir mereka bila mereka juara
pertama di ajang pertandingan basket antar SMP waktu itu. Dan ketika mereka
menang jadi juara pertama-mereka pun memaksaku untuk menepati janji yang pernah
ku ucapkan. Tapi saat itu sayangnya adikku Gilang baru saja meninggal dunia,
jadi jatah keuanganku terkuras untuk biaya pemakaman dan yang lainnya. Jadi aku
tak bisa menepati janjiku pada mereka, sehingga mereka semua marah dan
memusuhiku, memakiku dan satu kaliamt yang keluar dari mulut mereka masih
terngiang di telingaku sampai sekarang. Mereka bilang padaku bahwa aku adalah
“Orang Munafik” yang suka mengingkari janji. Andai saja mereka tahu dan
menanyakan mengapa aku bisa sampai ingkar janji pada mereka. Tapi sayangnya
mereka tak tahu dan tak mau tahu meski adikku meninggal dunia, bahkan Nisa
salah satu dari mereka ikut memusuhiku dan terlebih lagi Nisa tak pernah peduli
meski dia tahu adikku yang paling kecil itu meninggal dunia saat itu.
Sejak hari itu
aku dan mereka (Nisa dan kawan-kawannya) sudah tak lagi berteman, mereka
memusuhiku hanya aku tak bisa menepati janjiku untuk mentraktir mereka dan
membelikan barang-barang yang mereka minta. Sejak di hari itu pun aku
memutuskan untuk menerima kenyataan pahit itu walau sesungguhnya aku
benar-benar menyayangi mereka dengan tulus (sebagai sahabat pertamaku yang
paling indahdan menyenangkan).
Sebenarnya diawal-awal aku
berteman dengan mereka-aku sudah mengidap Fobia yang berlebihan, aku selalu
takut bila harus ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat aku sayangi. Tapi
apa mau dikata, waktu itu mereka tetap saja memusuhiku dan tak memperdulikanku
lagi setelah cerita indah pernah kami lewati sama-sama beberapa bulan
sebelumnya. Mungkin sejak saat itu pun keperibadianku mulai berubah, buktinya
sampai sekarang aku tak lagi mau berteman dan tak pernah percaya lagi pada
seorang teman. Karena aku selalu takut akan kehilangan orang (teman) yang akan
terlanjur kusayangi nanti, aku selalu takut akan dimusuhi oleh orang (sahabat)
yang terlanjur sudah kusayangi nanti. Maka dari itu aku memutuskan untuk tak
lagi mau berteman sampai sekarang, bahkan salah satu alasan kenapa sampai
sekarang aku tidak mau “pacaran” karena aku selalu takut akan kehilangan orang
itu yang akan terlanjur kusayangi nanti.
Aku tak pernah
tahu sampai kapan rasa ketakutanku ini akan hilang. Tapi yang pasti hanya ada
satu orang yang tersisa kini-yang kutakuti dia pun akan meninggalkanku dan
menghilang tanpa jejak. Orang itu adalah Anisa Yuniar Purnama (Nisa) dan hanya
dia satu-satunya “wanita terakhir dan untuk selamanya” yang aka kusayangi
hingga aku mati nanti.
Meski aku dan
Nisa sudah setahun lebih tak lagi berkomunikasi dan berjumpa tapi aku tak
pernah merasa gelisah. Karena bila kau sangat sedang merindukannya, maka aku
akan menulis (puisi, lagu, cerpen, melukis wajahnya, membuat novel dan scenario
fim) yang bercerita tentangnya agar aku bisa mengobati rasa kerinduanku
terhadapnya. Ditambah lagi bila aku sedang sangat ingin mendengar suaranya,
maka aku akan menelepon dia tanpa aku harus mengeluarkan sedikit pun auara. Ya
… aku sering melakukannya, kadang aku sengaja menelepon ke handphonnya atau ke telepon rumahnya hanya sekedar ingin
mendengar suaranya yang lembut itu. Mungkin dia selamanya tak akan pernah
menduga bahwa akulah sipenelepon misterius yang selalu tak mau bicara itu.
Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengannya seperti dulu, tapi sayangnya aku
sudah terlanjur berjanji untuk tak mengganggu hidupnya lagi (coba lihat dan
baca judul “Selamat tinggal (Nisa) untuk mengetahui kenapa kau meninggalkan
Nisa setahun yang lalu itu).
Yang pasti
dari semua ini, bahwa hanya ada satu wanita yang akan ku cintai dari kesekian
wanita yang akan kutemui nanti. Dialah Nisa dan aku selalu percaya bahwa dialah
belahan jiwaku yang hanya tercipta di dunia ini untuk menjadi kekasih
terakhirku.
Coba kalian sekarang
berpikir, aku yang sebagai penulis-mengapa dari mulai halaman pertama di novel
ini aku selalu menulis tentang Nisa, mengapa selalu ada nama “Nisa” di setiap
halaman novel kekasih terakhir ini?
Alasannya karena aku ingin
menyampaikan pada kalian bahwa hanya ada satu wanita yaitu Nisa yang aku cintai
dalam seluruh hidupku, dan akan kuceritakan pada dunia tentang kecantikannya
yang melebihi ratu cleopatra atau pun sang mandudari surga. Dan takan ada kisah
cinta yang paling abadi di dunia ini selain hubungan antara aku dan Nisa. Kami
berdua akan menjadi simbol keagungan cinta yang takan pernah padam hingga akhir
masa. Kami adalah jelmaan dewa-dewi cinta yang akan menebarkan benih-benih asmara pada setiap insane
yang sedang terluka karena kejamnya dunia. Dan bahkan kami berdua juga bisa
menjadi pelangi yang akan orang rindukan di setiap detik kepedihan hidup mereka
setelah turunnya hujan. Karena aku dan Nisa adalah malaikat bersayap satu yang
hanya akan bisa terbang bila kita berdua saling berpelukan.
Andai saja
Nisa mengetahui semua ini, mungkin dia takan menolak cintaku lagi untuk yang …
entah kesekian kalinya. Tapi hebatnya aku selalu percaya bahwa suatu hari dia
pasti akan menjadi ibu dari anak-anakku nanti, ya … aku selalu yakin itu, kita
nantikan saja hari itu, hari dimana Nisa akan menjadi istriku.
Mimpi-mimpiku sebelumnya memang
tak pernah menjadi nyata, tapi mimpiku tentang Nisa pasti akan terwujud menjadi
kenyataan.
“Dimana hari
itu, akan datang sebuah sore aku dan Nisa akan duduk di kursi taman halaman
rumah kami seraya menikmati sebuah langit sore yang indah. Bersama secangkir
the hangat kami berdua menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang sambil
mengenang cerita di masa lalu yang penuh canda.
Ya … hari itu pasti akan datang,
di sebuah sore saat kami bermain dengan anak-anak kami di taman. Akan ku
dongengkan juga tentang ibu mereka (Nisa) pada anak-anakku setiap mereka akan
menjelang tidur, ku ceritakan pada mereka tentang kecantikan Nisa (Ibu mereka)
di kala masih muda. Tidak lupa akan ku perlihatkan juga novel-novel karyaku
pada anak-anakku yang bercerita tentang kisah cinta ayah dan ibu mereka di kala
remaja. Ya … hari itu pasti akan dating, kita nantikan saja hari itu, hari
dimana Nisa akan menjadi ibu dari anak-anakku nanti …”.
¬
¬
¬
Tersentak ku
tersadar dari lamunan panjang masa lampau, seketika rohku telah kembali dari
berkelana ke sebuah mimpi. Rupanya ku terhanyut oleh imajinasi-imajinasi yang
tidak mau berhenti memutari isi kepalaku ini.
Dan seperti
inilah seseorang dengan penyakit skewsophenia, aku takan pernah berhenti
berhayal seakan tak pernah rela meninggalkan cerita indah di masa lampau. Kita
takan pernah tahu kapan kita akan menemukan kebahagiaan, tapi bagi seorang
skewsophenia-kebahagiaan itu mudah di dapatkan di dalam alam imajinasinya
sendiri. Itulah yang kurasakan sebagai seseorang yang mengidap skewsophenia
tingkat tinggi. Dengan kata lain, tanpa kesadaran orang-aku telah menciptakan
sebuah dunia nyata di dalam dunia khayal, dan aku juga bisa menciptakan dunia
khayal di dalam dunia nyata. Sehingga terkadang orang sepertiku tidak bisa
membedakan antara kedua dunia itu. Akhirnya dengan tidak sadar aku telah hidup
di kedua dunia itu secara bersamaan, hingga kenyataan dan khayalan semakin
sulit untuk dibedakan.
Dan untuk
itulah aku berada di sisni;
Di kota
besar Yogyakarta (di rumah orang tua Mbak
Suesih, managerku di dunia penulis).
Sudah hampir sebulan ini aku tinggal
di Yogyakarta setelah sebelumnya 2 bulan aku
tinggal di rumah milik Mbak Suesih di Jakarta.
Aku masih
ingat ketika awal datang kesini (Yogyakarta)
sebulan yang lalu. Karena Mbak Suesih orang jawa jadi waktu itu dia harus
“sungkeman” kepada orang tuanya sebelum melaksanakan puasa ramadhan sebualn
penuh. Jadi terpaksa dia pulang dulu.ke Yogyakarta
saat itu, dan aku yang sedang merantau dari rumahku-dia ajak juga sembari ingin
mengobati penyakit skewsophenia (kejiwaan) yang sudah menyiksaku selama ini.
Karena waktu itu Mbak Suesih bilang kalau ayahnya punya ilmu tinggi dan ilmu
kebatinan yang pasti bisa menyembuhkan penyakit ini.
Dan memang
benar, setelah hampir sebulan aku diobati oleh ayahnya-aku merasa agak baikan
sekarang.
Sampai saat
ini, tanggal 18 Oktober 2006, aku masih rutinan untuk berobat padanya.
Sempat aku pernah di “Ruqyah”
karena ternyata katanya ada jin yang bersemayam di aliran darahku. Jin itu
ternyata salah satunya yang menyebabkan aku jadi berperilaku aneh. Selebihnya
diakibatkan oleh Fobia yang kuderita akibat kegagalan hidup yang kujalani.
Tapi tenang
saja, sekarang aku sudah hampir 95% dinyatakan sembuh dan hanya sedikit
kemungkinan akan kambuh.
Sekarang aku
masih ada di beranda rumah lantai 3 sambil menatap langit hitam yang mulai
berbintang;
Aku telah
terbiasa hidup sendiri dalam kesunyian malam seperti saat-saat ini. Berpayung
awan kelam, bermahkotakan sang rembulan-ku menangus mengingat sebuah kenangan.
Sudah hampir
sebulan ini aku tinggal di Yogyakarta,dan tak
terasa tinggal 6 hari lagi kemenangan akan datang (lebaran Idul Fitri agamaku).
Ach … tapi itu sudah tak ada gunanya lagi buatku; ibuku sudah meninggal 3 bulan
yang lalu, sementara tak ada satu pun orang yang kini peduli akan nasibku. Aku
merasa sudah sebatang kara sekarang, sedangkan rumahku-kutinggalkan sejak
seminggu di hari kematian ibu.
Dan hingga saat ini pun aku masih
membenci ayahku, karena hanya dia seorang yang harus bertanggungjawab atas
kematian (Ibu, orang yang paling ku sayangi dalam hidupku).
Rasanya percuma saja aku ‘pulang
kampung’ pada hari lebaran Idul Fitri kali ini, karena sudah tidak ada lagi orang
yang harus kusembah kakinya lagi sambil menangis meminta ampun. Selain itu tak
ada satu pun dari temanku yang merindukanku untuk pulang, da memang
kusadari-aku terlalu hina dan menjijikan untuk diperhatikan orang lain.
Tapi ada yang
membuatku menjadi bijak saat kuingat kembali wajahnya, seorang perempuan yang
selalu kucintai setiap hari-dari semenjak 6 tahun yang lalu. Tak pernah sekali
pun aku berpaling dari cintanya, karena memang hatiku sudah kuikrarkan hanya
untuknya. Dan aku selalu percaya; “Dia (Nisa) akan menjadi sebuah kisah ‘Cinta
Pertamaku’ yang paling indah, akan menjadi cerita ‘Pacar Pertamaku’ yang mengesankan,
dan akan menjadi legenda ‘Kekasih Terakhirku’ hingga dunia akan terkesima saat
mendengar perjalanan cinta antara aku dan dia.
Tak mengapa meski selama 6 tahun
aku belum bisa memiliki cintanya, tak mengapa bila seumur hidupnya dia takan
pernah mau mencintaiku. Karena aku akan selalu percaya “bahwa dia akan menjadi
perempuan terakhir dan untuk selamanya dalam sepanjang alur cerita hidupku, itu
saja yang ingin ku katakan”.
Dan kini;
malam ini aku makin larut dalam masa lalu bersamamu (Nisa). Hingga ada saja
kata-kata puitis yang terlontar dari mulutku, sepertinya nyanyian rindu ini
memang pantas ku senandungkan untukmu. Semoga angin malam yang berhembus ini
bisa menyampaikan kerinduanku padanya dan semoga saja dia merindukanku juga
dibalik mimpinya, di malam yang indah ini;
Dia seorang (Nisa)
Tergambar nostalgia lalu
penuh bunga dan duri,
penuh tawa dan air mata,
Dia seorang
tergambar wajah
di mata dan di hati
dengan wajah penuh makna menyimpan
seribu soalan
Membawa
seribu jawaban Dia aku seorang
wajah-wajah
dulu merobek hatiku yang semakin layu.
Apakah yang
kurasakan malam ini sama dengan apa yang Nisa rasakan ? Ach … terlalu bodoh
bila ku berpikiran dia akan semudah itu
merindukanku.
Karena yang selama ini ku rasakan
saat-saat menunggunya hanyalah sebuah kesedihan, kekecewaan.
Tak pernah sekali pun Nisa
mempedulikanku, mungkin sampai aku mati nanti.
Terakhir aku
mendengar kabar Nisa (tiga bulan yang lalu) bahwa dia saat itu sedang “Pacaran”
dengan seorang lelaki yang baru kelas 3 SMP sementara Nisa mau masuk kuliah
saat itu. Aku tidak tahu alasan Nisa mencintai lelaki itu tapi yang aku tahu
bahwa lelaki itu ‘keturunan indo’ alias
anak blesteran. Mungkin bisa kubayangkan bahwa lelaki itu sangat tampan sekali,
berkulit putih, tinggi dan gaul. Meski Nisa lebih tua 3 tahun darinya, tapi
kata temanku mereka sangat cocok sekali-dan bahkan perbedaan umur itu tak
sedikit pun kelihatan karena ternyata lelaki itu bisa mengimbangi pergaulan
Nisa. Dan yang lebih menyedihkan lagi, saat
itu di hari kematian ibuku, aku ingin sekali menemui Nisa untuk memeluknya dan
mencurahkan segala tangisanku di bahunya. Tapi aku juga sadari bahwa semua itu
takan mungkin terjadi, karena dulu aku telah berjanji takan pernah menganggu
kehidupannya lagi. Apalagi aku tahu
bahwa saat itu dia sedang mesra-mesranya pacaran dengan lelaki keturunan indo itu. Mungkin sampai sekarang Nisa
belum mengetahui kematian ibuku dari sejak 3 bulan yang lalu itu (8 Juli 2006),
tapi sepertinya meskipun dia sudah mengetahuinya-tetap saja dia takan pernah
mau peduli dengan apapun yang akan terjadi dalam hidupku.
Aku tidak
pernah tahu bagaiman caranya agar Nisa mau mencintaiku? Sementara sejak 6 tahun
yang lalu aku selalu berusaha untuk memikat hatinya, meski entah sampai berapa
kali cintaku selalu ditolak olehnya, aku
sadar bahwa Nisa takan pernah peduli dan mau mendengarkan cerita kesedihanku
selama ini, dan hanya menjadi seorang “Penulis” dan menulis novel ini pilihan
terakhirku untuk mencurahkan segala tangisanku. Dan ku akui, buku ini adalah
sahabat sejatiku yang paling mengerti isi hatiku. Buku ini tak pernah mengeluh
saat siang higga malam aku selalu menangis di atas kertasnya. Dan buku ini
telah menghidupiku, saat ku tulis kata-kata cinta di atasnya sampai berbentuk
novel dan ku jual hingga ku hasilkan upah uang daripadanya.
Malam kian
petang kini, pukul 01.30 pagi dan aku masih berdiri di sini menatap langit yang
mulai penuh bintang.
Dan tak lam
kemudian ada orang yang menyadarkan lamunanku, dia adalah Mbak Suesih M.
Tomlinson (Managerku). Nama belakang yang di sandangnya itu adalah nama panjang
Suaminya yang berasal dari London-Inggris.
Derap langkah
Mbak Suesih semakin dekat menghampiriku di beranda rumah lantai 3 kamarku. Dia
menyapaku dan ingin berbagi cerita tentang hal-hal yang menyangkut
kegundahanku.
“ Apakah kamu
rindu untuk pulang?”. Tanya Mbak Suesih.
Dan aku hanya
terdiam membisu menanggapi ucapannya itu, tapi sesekali ku isyaratkan isi
hatiku lewat udara yang merambat.
“ Aku…
menangis dalam kegembiraan, kegembiraan yang penuh kepalsuan. Aku… menangis
dalam ketawa-ketawa yang berpura-pura, ingin hari ini gembira-gembira untuk
selamanya”. Ucapku pada udara yang merambat ke telinga Mbak Suesih.
Mbak Suesih
pun menjawab dengan sajak kehidupan yang sungguh mengesankanku.
“Aku pernah
seusiamu J… Aku lebih bisa tahu bagaimana rasanya terjatuh dalam Lumpur hidup.
Berbicara dengan kegagalan akan membuatmu bertambah kuat dalam menghadapi arus
kehidupan. Kau tak pernah tahu akan gagal sebeumnya dan kau pun takan pernah
tahu akan berhasil lewati sesudahnya. Inilah hidup… masa lalu hanya sekedar
untuk di kenang, masa sekarang cobalah untuk dinikmati sementara masa depan…
biarlah itu hanya menjadi rahasia Tuhan”.Petuah bijak Suesih padaku.
Aku masih
ingat dulu Mbak Suesih pernah curhat tentang masa lalunya padaku :
“Mbak Suesih
adalah orang kaya di Yogyakarta,
sedangkan di Jakarta
pun mbak Suesih punya rumah mewah dan megah. Sebagian rumahnya yang di Jakarta itu dia jadikan
perusahaan konveksi (membuat dan menjahit pakaian). Dia punya pegawai sampai
belasan orang dan mendapatkan omset hingga jutaan rupiah setiap harinya. Mbak
suesih di Jakarta
tinggal bersama adik perempuannya, sementara 6 bulan sebelumnya mbak Suesih
baru bercerai dengan suaminya yang berasal dari dari Inggris itu. Alasan
perceraiannya sangat menyedihkan sekali, sahabat mbak Suesih sendirilah yang
merebut suaminya itu dengan cara menggunakan “Perdukunan” alias guna-guna. Mbak
Suesih sendiri pun ikut “diguna-guna” hingga dia pernah di ambang kematian
akibat ilmu santet kiriman sahabatnya itu. Tapi untunglah saat itu mbak Suesih selamat
dari kematian, walau akhirnya suaminya itu harus meninggalkan mbak Suesih dan
menikah lagi dengan sahabat (Penghianat) mbak Suesih itu. Tapi sejak saat itu
mbak Suesih sudah belajar menyerahkan semuanya pada Tuhan, dan kini mbak Suesih
ingin menjalani hari-hari kedepan tanpa menyimpan dendam dan menyebarkan virus
permusuhan. Akhirnya setelah mbak Suesih bertemu denganku, baru ku jelajahi
kehidupan mbak Suesih yang penuh kontroversi akhir-akhir ini. Aku memang baru 3
bulan ini mengenal mbak Suesih dan tinggal di satu rumah bersamanya. Tapi aku
terasa sudah sangat memahaminya, bahkan ku pahami bahwa mbak Suesih kembali
frustasi dengan pemikiran hidupnya. Setelah aku mengenal mbak Suesih selama
ini, ternyata mbak Suesih adalah seorang “Tante Girang” yang selalu ingin hidup dalam
kesenangan. Setiap malam dia pergi clubbing, mabuk-mabukan, poya-poya, dan
selalu bersenang-senang bersama lelaki muda peliharaannya. Mbak Suesih mengaku
padaku bahwa semua yang sudah dilakukannya itu semata-mata “Stress” akibat
suaminya direbut sahabatnya sendiri. Aku selalu mencoba menyadarkan mbak Suesih
untuk berubah tapi ternyata aku butuh waktu untuk menyadarkannya tentang hal
ini. Padahal aku sudah menganggap mbak Suesih dewi penyelamatku, peri baik
hatiku dan panutan hidupku. Begitupun dengan mbak Suesih yang sudah
menganggapku sebagai adik kandungnya (Yang berbakat dan berprestasi), apalagi
mbak Suesih memang benar-benar tak punya adik lelaki”.
Sekarang orang
yang ku ceritakan tadi pada kalian (Mbak Suesih) ada di depan matakku. Kami
saat ini saling terdiam, duduk di beranda lantai 3 sambil menatap langit yang
penuh bintang:
Sekali lagi ku
dengar mbak Suesih bertanya padaku seperti barusan :
“Apakah kamu
rindu untuk pulang…?” Tanya mbak Suesih padaku lagi.
Aku jawab
untuk yang kesekian kalinya untuk lebih menegaskan semuanya :
“Aku tidak
bisa memahami dengan apa yang ada di dalam lubuk hatiku. Jika benar ini waktu
yang tepat untuk pulang dan menyelesaikan semua masalah, maka aku akan pulang.
Pulang ke rumahku bukan sebagai seorang ‘Penulis’ tapi sebagai anak yang harus
berbakti pada kedua orang tuaku. Akhirnya aku jugalah yang harus menyelesaikan
semua masalah yang telah aku buat (Lihat dan baca judul ‘Tunggu Aku …Jakarta’ untuk mengetahui
apa alasan si penulis pergi meninggalkan rumah). Mungkin besok pagi aku akan
pulang ke rumahku, ke kotaku yang sudah ku tinggalkan sejak 3 bulan yang lalu,
seminggu setelah hari kematian Ibuku tercinta”. Tegasku pada mbak Suesih.
Beberapa
menit kemudian setelah aku dan mbak Suesih selesai berbincang-bincang, mulai
terdengar suara orang-orang yang berkeliling membangunkan (Umat Islam sekitar)
agar siap-siap masak untuk acara sahur. Tak terasa puasa kali ini tinggal 5
hari lagi, tapi sampai saat ini tak pernah sekali pun ku rasakan kesan yang
paling indah pada bulan Ramadhan ini. Mungkin karena hampir sebulan terakhir
ini aku menjalani puasa tidak lagi dengan (Almarhumah) Ibuku. Aku merasa
seperti sebatang kara kini, berjalan tanpa tujuan, berpikir tanpa arahan dan
untuk siapa aku hidup kini kalau bukan untuk (Kedua Adik kandungku) dan ‘Nisa’
aku ingin bertahan hidup. Dan ku harap
bila ku tiba nanti di kotaku, aku bisa kembali melihatnya (Nisa) setelah
setahuh lebih ini ku tak jumpa lagi dengannya. Tentu saja setiap hari aku
selalu merindukannya (Nisa) sejak terakhir di hari itu (tanggal 26 April 2005,
lihat dan baca di judul ‘Selamat Tinggal (Nisa)’ untuk mengetahui apa alasan si
penulis meninggalkan Nisa).
Dan ketika ini
pukul 02.35 pagi Mbak Suesih menarik tangan ku dan mengajakku untuk sahur yang
terakhir di rumah orang tuanya ini (Yogyakarta).
Mungkin di acara sahur kali ini ada yang berbeda dariku, setelah hampir sebulan
aku tinggal di rumah ini ternyata aku harus pergi juga meninggalkan semua kenangan
yang pernah ada di rumah yang sangat mewah dan megah ini.
Makanan pun
sudah siap dihidangkan oleh ke 3 pembantu di rumah ini. Dan seperti biasa, kami
makan sahur sambil berbincang-bincang tentang cerita lucu untuk di obrolkan di
meja makan. Tentu saja kali ini aku yang bicara prihal ke pulanganku besok pagi
pada mereka. Langsung ku utarakan maksud hatiku untuk bicara bahwa yang
pertama, Aku senang sekali bisa mengenal sebuah keluarga yang sangat harmonis
seperti keluarga mereka. Selama hampir sebulan aku menjalani puasa di bulan
Ramadhan ini bersama mereka-mereka yang selalu membuatku merasa berharga, tak
henti-hentinya mereka perhatikanku layaknya bagian dari keluarga. Meski padahal
aku tak punya sedikit pun hubungan darah
dengan mereka, tapi mereka semua sungguh tulus, baik hati dan ikhlas sekali
dalam merawatku, memberiku tempat berteduh di rumah mewah ini.
Sekali lagi
aku tak bisa bayangkan, jika aku tak pernah bertemu dengan mbak Suesih mungkin
aku sudah mati saat itu, atau paling tidak aku sudah membunuh ayahku sendiri
waktu itu. Untung saja Tante Yanti (sepupu jauhku) yang juga sobat paling dekat
mbak Suesih datang berdua ke rumahku untuk ngelayad Alm. Ibuku saat itu, saat
aku ingin mnembas leher ayahku dengan samurai. Akhirnya aku pergi bekerja di Jakarta dan meninggalkan
rumah untuk mencari ung agar aku bisa menyekolahkan kedua adikku, karena ayahku
sudah tidak mau bertanggung jawab lagi pada kami. Awalnya aku pergi ke Jakarta untuk mencari
kerja tapi ternyata susah untuk dapat pekerjaan. (Tapi untung saja saat itu
mbak Suesih waktu di rumahku sempat memberi kartu namanya padaku supaya aku
tinggal dan bekerja bersamanya di Jakarta).
Akhirnya aku baru kepikiran untuk mencari alamat mbak Suesih dan ternyata
sesuai dengan alamat di kartu namanya. Hingga sekarang tanpa ku sadari aku
telah hidup menumpang bersama mbak Suesih selama 3 bulan terakhir ini.
Dan baru mulai
bulan lalu aku di ajak mbak Suesih untuk tinggal sementara di Yogyakarta,
di rumah orang tuanya.
Hingga sampai
sekarang aku terdampar di sini, di Yogyakarta aku di obati oleh ayah mbak
Suesih yang sudah berumur 104 tahun itu. Tentu saja kalian sendiri sudah tahun
penyakitku bukan? Kesanku selama mengenal Ayah mbak Suesih, dia seorang bapak yang
baik, perhatian, bertanggung jawab dan aku percaya pada ilmu kebathinannya yang
bisa mengobati “Fsikisku” ini. Dan memang sampai saat ini aku merasa ada yang
berubah dari sisi mentalku, aku lebih bisa mengendalikan emosiku dan lebih bisa
menerima kenyataan hidupku.
Selain Ayah
mbak Suesih, di rumah ini juga tinggal Tantenya (adik Alm. Ibunya) dan adik
perempuannya mbak Suesih. Sementara kedua kakak lelaki mbak Suesih tinggal di
luar negeri, ada yang di Jepang dan ada yang di Singapura. Sementara keluarga
besarnya yang lain tinggal di Jerman dan Inggris. Jadi kebanyakkan yang
sekarang tinggal di rumah ini hanya pembantu, supir, satpam dan tukang kebun
saja. Kalau di pikir-pikir, aku begitu pusing dan bingung dengan silsilah
keluarga besar mbak Suesih. Yang sedikit ku ketahui bahwa Almarhumah ibu mbak
Suesih adalah istri termuda ayahnya, hanya itu saja.
Akhirnya aku
sudah mengungkapkan semua maksud hatiku pada keluarga mbak Suesih, bahwasanya
besok pagi aku akan pulang ke rumahku di Cianjur, aku ingin menyelesaikan semua
masalahku karena aku tak ingin jadi pecundang yang selamanya lari dari masalah
dan kenyataan hidup. Aku tidak boleh menelantarkan kedua adikku yang seharusnya
ku jaga, kulindungi dan kubimbing sepeninggal ibuku.
Beberapa menit
kemudian, aku menyudahi makan sahur, lalu aku bergegas ke kamarku untuk
membereskan pakaian dan siap-siap pulang. Sebelumnya aku sudah pamitan kepada
semua keluarga beserta pembantu mbak Suesih di acara makan sahur barusan.
Saat ini waktu
menunjukkan pukul 02.50 pagi. Terlalu dini bagiku untuk pergi ke Station kereta
api pagi ini. Jadi aku meminta izin pada mbak Suesih untuk jalan-jalan
mengelilingi daerah ini untuk yang terakhir kali. Tapi ternyata mbak Suesih
malah meminjamiku mobil sedan mewahnya untuk ku bawa jalan-jalan mengitari kota ini. Aku pun tak
menolak tawarannya itu karena sebenarnya aku ingin sekali pergi ke tempat
favoriteku yang agak jauh dari sini. Aku
segera mengendarai mobil sedan merah mewah itu sendiri dan pergi ke suatu
tempat yang biasa ku datangi dikala sedih itu.
Tiba sampai
tujuan, aku keluar dari mobil dan duduk terlentang di atas mobil sambil menatap
banyak bintang di langit. Inilah tempat yang ku maksud, aku tak tahu apa tahu
apa nama tempat ini tapi aku biasa memanggilnya “Bukit Bintang” karena di sini
selalu ada banyak bintang setiap malamnya. Tempat ini ada di ketinggian sekitar
1.200 meter di atas permukaan, tempat yang di penuhi rumput dan ilalang liar.
Terkadang di sini banyak kunang-kunang dan serangga malam yang sangat lucu dan
memperindah suasana. Tempat ini juga tidak begitu gelap karena lampu-lampu kota di bawah sana
nampak berkelipan menerangi tempat sunyi ini. Ya… di sini (di bukit bintang)
aku biasa melamun sendiri sambil menunggu ada bintang jatuh agar aku bisa minta
pengharapan darinya. Kadang aku bernyanyi sendiri untuk sekedar menghibur sepi
dan luka di hati, kadang ku menari di temani bintang-bintang dalam
persembunyian malam. Terkadang ku berpikir, aku memang hina yang tak punya
kebanggaan untuk bisa ku tunjukkan pada semua orang. Dan selamanya aku akan
menjadi seorang ‘Pecundang’ yang tak mampu memperlihatkan wajahku pada orang
lain. Bahkan untuk melihat diriku sendiri di cermin pun… “Aku tak sanggup”.
Karena ku sadar betapa menyedihkannya aku di hadapan semua orang (Betapa tak
berharganya aku bagi semua orang). Sementara ada 2 perempuan yang paling ku
cintai dalam hidupku ini, yang pertama Almarhumah Ibuku dan yang kedua Nisa
cinta pertamaku. Hanya bersamanya hidupku merasa lebih berarti, dan saat berada
di dekatnya aku merasa menjadi diriku yang seutuhnya, yang bisa menerima diri
apa adanya.
Aku masih di
sini, tidur-tiduran di atas mobil sambil melamun mengenang masa lampau yang
indah, bersama Ibuku di kala ku masih kecil dulu. Seraya berkhayal aku
mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celanaku, ku ambil satu batang
dank u nyalakan dengan api sebelum akhirnya ku isap. Rokok ini perlahan-lahan. (Asal
kalian tahu bahwa aku sudah mulai merokok sejak kelas 6 SD, tapi itu nggak
berlangsung lama karena dari semenjak akhir kelas 1 SMP aku sudah berhenti
menjadi perokok aktif hingga sekarang. Tapi ternyata minggu-minggu ini aku
kadang kembali merokok walau nggak tiap hari, aku juga nggak tahu kenapa aku
harus kembali merokok, tapi ternyata yang kurasakan setelah merokok aku bisa
berpikiran dingin dan tenang).
Ku isap rokok
ini sambil melamun dan menatap bintang, begitu tenang suasana di sini, rembulan
bercahaya menerangi tempat yang sunyi ini, serangga malam bernyanyi menyambut
pagi yang takan lama lagi.
Beberapa isapan
rokok terakhir ini menyadarkanku pada amanat Ibu dulu, “Bahwa Ibu nggak suka
kalau aku menjadi perokok meski aku sudah dewasa dan bekerja, itulah alasanku
berhenti merokok saat akhir kelas 1 SMP hingga sekarang”.
Aku pun kini
langsung membuang setengah rokokku yang sedang ku isap, sebelum akhirnya ku
buang juga sebungkus rokokku yang ada di dalam saku celanaku. Ternyata kini aku
baru sadar kenapa saat itu Almarhumah Ibuku tak menginginkanku menjadi seorang
perokok? Karena Ibu nggak pernah mau punya seorang anak pecundang yang bisanya
cumin merokok doang demi bisa lari dari masalah. Ibu nggak pernah mengajarkanku
untuk menjadi seorang pengecut yang menjadikan rokok sebagai bahan pelampiasan
ketika aku sedang di landa kesedihan dan beban hidup yang terlampau berat. Ibu
selalu menginginkanku untuk menghadapi problema hidup ini tanpa harus lari atau
menghadapi problema hidup ini tanpa harus lari atau sembunyi dari masalah dan
kenyataan hidup yang getir. Bagiku Ibu memang seorang wanita perkasa yang tak
pernah gentar untuk melawan penderitaan hidupnya. Demi mempertahankan mahligai
rumah tangganya, Ibu rela selalu dikhianati ayah yang suka selingkuh dengan
memelihara banyak wanita. Bahkan demi mempertahankan harga dirinya, Ibu berani
mati karena tidak pernah mau di madu atau di dua oelh istri muda ayah. Ibu
memang patut untuk ku kagumi, dan seharusnya Ibu nggak patut mati, karena yang
seharusnya mati itu adalah ayahku, itu sebabnya aku ingin membunuh ayah waktu
itu.
Tapi sudahlah,
aku terlalu lelah utnuk memperdebatkan hal ini, semakin terus ku ceritakan
tentang ayahku semakin aku dendam dan sangat membencinya.
Malam semakin
memutih, pagi ini waktu sudah hampir jam 04.00 shubuh. Aku sudah merasa
mengantuk dan tak tersadar aku telah tertidur di atas mobil seperti biasanya.
(Aku selalu tidur di tempat ini ‘Bukit Bintang’ setiap kali aku datang ke sini
dalam keadaan sedih).
Nggak ceritanya
sekarang udah jam 7 pagi. Waktunya aku pulang ke rumah Mbak Suesih untuk
mengembalikan mobil ini, sebelum akhirnya aku pulang ke kota
tercintaku nan jauh di sana (kota Cianjur-Jabar). Aku kendarai mobil sedan
merah mewah ini dengan laju tenang menuju tujuan, rumah Mbak Suesih dari sini
cuman sekitar 3 KM doang. Sebenarnya aku masih agak ngantuk soalnya malam tasi
aku hanya tidur selama 3 jam, tapi gimanapun juga aku sudah terlanjur bilang
akan pulang hari sekarang. Di perjalanan pulang menuju rumah mbak Suesih, aku
cuman nguap-nguap doang sambil mengendarai mobil dan dengerin musik dengan lagu
yang gedebrak-gedebruk, nggak ngerti.
Sampai aku
tiba di rumah mbak Suesih 20 menit kemudian, ku parkirkan mobil di garasi
seperti 3 mobil mewah yang berjajar lainnya di sana. Kemudian aku bergegas ke lantai 3
kamarku untuk membawa barang-barangku sebelum akhirnya aku pamit pulang. Segera
ku siap berangkat, ku temui mbak Suesih terlebih dulu di kamarnya untuk
pamitan. Aku sudah memahami kebiasaan mbak Suesih, kalau sekarang ini dia pasti
lagi tidur dan biasanya baru bangun sekitar pukul 10 pagi. Tapi kali ini aku
ingin bangunin dia untuk sekedar ingin bicara yang terakhir kalinya sebelum aku
pulang.
Ku masuki
kamarnya dengan membawa secangkir kopi hangat kesukaannya yang biasa dia minum
saat pertama kali dia terbangun. Ku panggil-panggil ‘mbak Suesih’ dengan lembut
agar dia tidak kaget, akhirnya nggak lama setelah itu dia bangun dan melihatku
sambil tersenyum.
“Jadi pulang
sekarang J…?” Tanya mbak Suesih.
“Nggak, tahun
depan he he… ya iyalah sekarang, ya udah minum dulu kopinya nih, mumpung masih
anget”, jawabku sambil celoteh.
Mbak Suesih
pun terbangun dan langsung minum kopi hangat yang jadi kebiasannya selama aku mengenalnya.
Tapi yang aku nggak suka, dia harus minum kopi itu sambil merokok, dan kutanya
dia nggak bisa ngehilangin kebiasaan jeleknya itu. Sejak di campakkan suaminya
6 bulan yang lalu.
Sebelum
akhirnya rokok itu diisap, aku segera merebutnya tanpa banyak berkata-kata.
“(ku gelengkan
kepala) Nggak boleh… kali ini mbak harus nurut apa kata J, kesehatan paru-paru mbak
itu lebih penting dan J nggak mau kalau sampai nanti mbak batuk-batuk lagi.
Merokok itu nggak bakal bisa nyeleseiin semua masalah, yang ada malah nambah
masalah baru. Emang mbak udah lupa cara baca yach, ya udah sekarang J bacain
buat mbak”. Mbak dengar khan? Merokok itu cuman bikin kita mati dengan cara
perlahan. Pokoknya J nggak mau liat mbak merokok lagi, mbak janji yach?”
nasehatku pada mbak Suesih.
Sementara mbak
Suesih cuman berkaca-kaca mendengarku yang sedang menasehatinya untuk yang
terakhir kali.
“Mbak seneng
kalo J perhatian sama mbak, baru kali ini mbak mendengar nasehat yang tulus dan
mau peduli sama kesehatan mbak. Sayangnya mbak belum punya anak, kalo saja
nanti mbak punya anak, mbak mau anak itu seperti J, calon bintang penulis yang
berbakat. Mbak janji nggak bakal ngerokok lagi atau paling nggak mbak mau berusaha
untuk nyoba berhenti dari rokok”. Janji mbak Suesih.
“(ku peluk
mbak Suesih) mbak jangan lupain J yach…! Suatu saat J pasti bakal balik lagi
dan saat itu mbak bakal liat J jadi orang sukses, penulis terkenal. J pergi
dulu ya mbak? Pokoknya mbak harus bisa berubah mulai dari sekarang atau mbak
akan selamanya terkekang dalam pahitnya kenyataan. Ingat mbak kebahagiaan itu
dapat di temukan dalam sebuah jiwa yang selalu mau bersyukur dan ikhlas
memasrahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Ya udah J berangkat sekarang yach
(sambil menghapus air mata mbak Suesih)”. Pesan terakhirku pada mbak Suesih.
“Yowis ati-ati
yach J…!! maaf mbak Suesih nggak bisa nganter kamu pulang sampai tujuan,
soalnya beberapa hari lagi mau lebaran jadi mbak nggak bisa keluar rumah
sekarang-sekarang, J bisa ngertiin mbak khan?”Tanya mbak Suesih.
“Iya Mbak... J
ngerti (sambil tersenyum kecil)” jawabku pendek.
“Ya udah gini
aja deh… gimana kalau sekarang mbak pesenin tiket pesawat ke Jakarta buat J… Ok nggak?” selang mbak
Suesih.
“Duch… nggak
mau ach… aku tuch agak “Gaptek” banget mbak soal yang gituan. Entar gimana hayo
kalo aku malah nyasar ke pulau aceh atau papua? Ya udah nggak apa-apa, aku mah
pulangnya pengen naik kereta api aja biar ongkosnya sedikit murah…
ngomong-ngomong, aku berangkat sekarang yach mbak? (sambil bergegas pergi
keluar dari kamar)” pamitku pada mbak Suesih.
Lalu kemudian
mbak Suesih menuntunku sampai halaman rumah, sebelum akhirnya supir pribadi
keluarga mbak Suesih mengantarkanku sampai station pusat kereta api Yogyakarta.
Setibanya aku
di Station Gambir-Jakarta. Pemberangkatanku ke sana pagi ini sekitar pukul 10.00 kurang
lebih satu jam lagi dari sekarang kereta api akan datang.
* * *
Kembai ke Jakarta…
Ceritanya,
sesampainya aku di Station Jakarta,
aku langsung pergi ke rumah Tante Yanti di daerah kebayoran Baru-Jakarta Selatan.
Oh iya, kalo kalian udah sempet baca judul “Tunggu Aku Jakarta” pasti kalian
udah nggak asing lagi sama yang namanya Tante Yanti. Lebih jelasnya lagi, bahwa
Tante Yanti itu adalah sepupu jauhku dari Alm. Ibuku sekaligus juga sobat
dekatnya mbak Suesih di Jakarta. Tapi sayang, Tante Yanti itu seorang “Wanita
Panggilan” kelas kakap yang cuman mau ngelayanin nafsu birahi orang asing alias
bule keren doang. Tapi gimanapun juga dia itu saudaraku, dia lebih tahu dan
punya alasan kenapa dia menjadi seperti itu. Aku ingin sekali merubah
perilakunya atau paling tidak memberikan sedikit nasehat untuknya, tapi aku
butuh waktu untuk itu semua.
Aku tiba di
rumah Tante Yanti pulul 9 malam dengan di antarkan Taxi sejak di Station kereta
api Gambir. Sebelumnya aku menelepon ke Handphone Tante Yanti bahwa aku ingin
menginap di rumahnya malam ini. Tapi sayangnya, saat ini Tante Yanti sedang ada
“Job” nginep di hotel laut anyer bareng bule langganannya. Aku malah di suruh
langsung aja ke rumahnya karena ternyata temen Tante Yanti juga sedang mau
nginep di rumahnya.
Sesampainya
aku tiba di dalam rumah Tante Yanti, ternyata ada 2 orang wanita muda yang
menyambutku dengan ramah. Ini pertama kalinya aku menginap di rumah tante Yanti
dan aku agak ngerasa nggak nyaman berada di tempat ini. Kedua wanita itu
langsung mengenaliku karena ternyata menjamuku dengan baik di rumah ini.
Keduanya dari mereka mengajakku berkenalan dan baru setelah itu ku ketahui
nama mereka.
Yang pertama
bernama Kiki, umurnya sekitar 23 tahun, rambutnya lurus sebahu, berkulit putih
bersih dan bodynya…Aduhai bo, mana tahan he he he …
Yang kedua
namanya Mia, umurnya sekitar 21 tahun, rambutnya panjang, berkulit sawo matang
dan perawakannya tidak jauh berbeda denganku.
Sebenarnya di
rumah ini tinggal seorang anak lagi, dia bernama keiysha, berumur 5 tahun,
turunan indo alias pasti lucu banget dong anaknya. Tentu saja anak itu adalah
anak kandung Tante Yanti, hasil kumpul kebonya bareng pacarnya orang Perancis itu.
Katanya sich ayah kandung keiysha itu seorang konsultan dari Perancis, tapi aku
bener-bener nggak yakin apakah ayah Keiysha mau mengakui “Darah dagingnya” itu,
ya tentu saja hasil hubungan gelapnya dengan Tante Yanti, tapi ternyata Tante Yanti
sendiri tidak mau mempermasahkan semua itu, baginya dia akan menceritakan bahwa
ayah Keisyha sudah mati. Dipikir-pikir lagi, Keisyha itu anak yang malang dan aku selalu
kasihan bila melihatnya. Awal aku berjumpa 3 bulan yang lalu dengan Keiysha pun
anak itu langsung memelukku dan tak ingin lepas dari pangkuanku. Semakin jelas
ku ketahui bahwa Keisyha layak untuk mempunyai seorang ayah, dia pasti sangat
rindu sekali dengan sosok ayahnya, walau keiysha sendiri tidak pernah tahu
siapa sebenarnya ayah kandungnya. Sekarang ini orang yang sedang ku ceritakan
itu (Keiysha) sedang tidur terlelap di kamarnya. Pasti sekarang dia sedang
bermimpi bermain boneka di taman bersama ayah-ibunya. Kasihan Keiysha, dia
selalu tidur sendiri setiap malam, seorang anak balita secatik Keiysha
seharusnya tak patut bernasib buruk seperti ini.
Lalu aku
mendekati Keiysha yang sedang tidur terlelap itu. Ku rapikan rambut poin
hitamnya yang terurai menutupi matanya, ki iingin menangis bila melihat
wajahnya yang lugu. Kemudian ku doakan dia supaya cepat besar dan tumbuh cantik
seperti bidadari, biar ayahnya nanti akan menyesal sudah menyia-nyiakan anak secantik
Keiysha. Ku kecup kening Keiysha sambil berkata “Selamat Tidur Sayang” dan
bermimpilah tak perlu kau takut, karena aku pasti akan menjagamu, selalu.
Sekarang waktu
memang sudah makin larut, aku benar-benar lelah dan tubuhku seperti remuk hari
ini aku sudah melalu perjalanan jauh(Yogyakarta-Jakarta), saatnya kini ku
istirahat dan segera tidur yang nyenyak. Aku meminta izin pada Kiki dan Mia
untuk tidur duluan, di samping Keisyha aku rebahkan tubuh dan mulai terlelap
perlahan. Akan ku jaga Keiysha layaknya adikku sendiri dan dia takan percaya
bahwa nanti aku bisa menjadikannya artis terkenal yang punya jutaan penggemar.
Tidurlah yang nyenyak di sampingku sayang, selamat tidur Keiysha kecilku, selamt
malam semuanya…
Awan hitam itu
perdetik terhempas angin dan pergi ke satu tempat di belahan dunia lainnya.
Sementara cahaya putih kian memucat dan pijaran bintang-bintang memantul warnai
awan terangi alam. Ada
saatnya malam, ada waktunya pagi menjelang. Serangga malam kembali pulang
seraya membawa buruan, si ayam jantan terbangun mengepak sayap dan siap untuk
berteriak. Itu pertanda matahari akan segera datang, sambutlah dia wahai
manusia dengan wajah riang. Burung-burung pun keluar dari sarang untuk mencari
makan, bersenda gurau bersama pasangan di dahan pohon seperti orang sedang
kasmaran. Mentari pagi perlahan meninggi, memberi warna dunia bak bunga-bunga
indah yang tumbuh di musim semi.
Seseorang
begitu terasa telah mencium pipiku sementara ku masih merebah tuk melepaskan
segala lelah. Sebuah rasa penasaran membangunkan tidurku untuk segera melihat
siapa yang barusan sudah mencium pipiku. Mataku mengembang dan perlahan aku
kembali melihat duani, ku fokuskan segala pandangan pada titik wajah di sampingku.
“KEIYSHA…”,
terikakku sebelum akhirnya ku peluk dia dan kami berguling di atas kasur sambil
tertawa terbahak-bahak. Sedangkan dia makin ketawa lantang saat ku gelitiki
tubuh mungilnya itu,
“Kaka… udah…
ampun… geli… udah…”, teriak Keiysha menahan geli sementara aku terus menggelitiknya.
“Keiysha nakal
yach…? Hayo, Keiysha kangen nggak nih sama kaka?” ucapku pada Keiysha sambil
memencet hidungnya.
Dan Keiysha
menjawabnya dengan sebuah senyuman manis serta anggukkan malu wajahnya.
Pagi ini
ternyata sudah pukul 07.15 dan aku baru saja terbangun karena Keiysha mencium
pipiku saat ku tertidur barusan.
Rupanya
Keiysha masih mengingat hapal wajahku setelah terakhir kita bertemu satu bulan
yang lalu. Dia memanggil aku “Kaka” dan sejak saat itulah aku sudah menganggapnya
adik perempuan kandungku sendiri.
Di pagi ini
aku dan Keiysha masih bercanda di kasur dan kali ini kami sedang maen perang
bantal sambil loncat-loncat kegirangan.
Tentu saja aku
pura-pura kalah untuk meninggikan hatinya, dan aku langsung pura-pura jatuh
sedangkan Keiysha terus saja memukul kepalaku dengan bantal dan bahkan dia
loncat menindihku dengan tubuhnya.
“Ampun… ampun…
Kaka nyerah dech, Kaka kalah… udah yach perang bantalnya, Kaka capek nich
Keiysha”, ucapku pada Keiysha.
Sementara
Keiysha yang masih terus menindihku nggak mau ngelepasin aku,
“Hore Keiysha
menang…” teriaknya riang.
Lalu aku
kembali mengajaknya bicara serius dan tak ingin bercanda lagi.
“Keiysha
sayang nggak sama Kaka?” tanyaku padanya dan kini kami bicara sambil tidur-tiduran
lagi.
“Nggak,
soalnya Kaka jelek… Kaka jelek Kaka jelek” celotehnya padaku.
Dan kami
kembali bercanda dengan belaga maen smackdown, hingga akhirnya datang Kiki
(teman tante Yanti) menghampiri kami yang sedang ketawa-ketiwi. Kini pun ikut
menertawakan kami sebelum akhirnya dia berkata pada Keiysha seperti ini :
“Ayo Keiysha
udahan dulu yach maennya, sarapan dulu nich, mbak Kiki suapin ya sayang, ayo
Keiyshanya kesini dulu dong”, tegur Kiki pada Keiysha.
“Nggak mau
ach… Keiysha belum lapar, entar aja makannya Keiysha mau maen dulu sama Kaka”,
bantah Keiysha pada Kiki.
Lalu setelah
itu aku mulai ngerayu Keiysha untuk makan dulu sebelum mau maen lagi denganku:
“Ayo dong
Keiysha makan dulu biar cepet gede, entar Kaka pulang lagi nich kalo Keiysha
nggak nurut sama Kaka”, ucapku pada Keiysha.
Keiysha
cemberut ketika dengar ucapanku yang mau pulang sekarang dan ninggalin dia
lagi. Akhirnya dengan wajah agak sedih Keiysha mau nurut perkataanku untuk
makan dulu dengan di suapin Kiki. Nggak lama dari itu pun aku dan Kiki mulai
akrab dan berbincang-bincang sambil nyuapin Keiysha. Duch… serasa jadi udah
berkeluarga decah kalo lagi gini, Kiki jadi ibunya, Keiysha jadi anaknya dan
aku jadi ayahnya, he he he … Apalagi yang ku liat dari fisik Kiki (Dia itu
cantik banget). Walau sebenarnya aku baru semalam tadi kenal sama Kiki, tapi
yang ku rasakan Kiki itu sangat baik dan perhatian sekali. Dia juga sepertiku
yang ngerasa kasihan dengan nasib Keiysha yang seharusnya dapet belaian kasih
sayang dari kedua orang tuanya, apalagi Keiysha masih kecil, usianya sekarang
palingan baru 5 tahunan dan dia sangat butuh perhatian.
Ya Ampun…
Keiysha itu selain cantik, lucu tapi dia juga ternyata smart, bayangin aja,
sekarang Keiysha malah nyuruh Kiki kuat nyuapin aku juga… malu khan. Tapi Keiysha
emang agak sedikit manja dan segala yang dia katakana harus kita turuti atau
kalo nggak dia bakal merengek nangis tanpa henti-henti. Ya kepaksa Kiki nurutin
apa kata Keiysha buat nyuapin aku juga, kalo aku sich saat ini nggak mau banyak
komentar soalnya aku nggak bakalan nolak kok kalo Kiki yang nyuapin aku, he he
he… Asyik. Awalnya aku malu pas Kiki nyuruh aku buka mulut dan dai suapin aku
sambil bercanda-canda dulu maenin aku. Sementara di sisi lain Keiysha
kegirangan melihat aku senyum-senyum bareng Kiki. Mungkin Keiysha nerasa
bahagia seperti sudah mendapatkan keluarga baru yang selama ini dia impikan.
Hey tunggu dulu, coba kalian tebak apa yang diinginkan Keiysha lagi pada kami
berdua? Keiysha minta padaku untuk mencium Kiki dan bilang sayang, udah gitu
kita langsung di suruh pacaran. Ya Ampun… Keiysha… Keiysha, entah darimana dia
mengerti bahasa anak dewasa itu, tapi itu cukup lumayan mengagetkan kami berdua
saat mendengar permintaanya. Aku dan Kiki jadi bingung buat nanggapin omongan
Keiysha, tapi yang pasti kami harus nurutinnya sebelum ada mengamuk dan nangis.
Akhirnya aku dan Kiki bermusyawarah untuk
memecahkan sebuah keputusan prihal ini, dan hasil akhir kita yaitu : aku dan
Kiki nurutin semua kemauan Keiysha, tapi tentu saja kami cuman pura-pura
pacaran doang (tapi kalo aku mah beneran juga nggak apa-apa kok, he he …
Becanda). Setelah ini aku mulai berkata-kata sayang pada Kiki seperti yang
Keiysha minta. Dan satu hal terakhir, aku juga mencium kening Kiki seperti yang
Keiysha mau. Udah gitu aku juga kembali di suapin Kiki ketiga kalinya sebelum
aku sadar dan bilang :
“Astaghfirullaahal’azhim…
ini khan masih bulan Ramadhan, dan aku lupa kalo hari ini aku harus puasa.
Kenapa dini hari tadi Kiki nggak bangunin aku buat sahur? Dan kenapa juga Kiki
nggak ingetin aku dulu, malah langsung suapin aku”, gumamku pada kiki.
“Ya… aku gak
tau kalo kamu tu mo puasa, malah tadinya aku pikir kamu tu non muslim. Kalo
Kiki sama Mia sendiri sich nggak pernah puasa jadi kami nggak pernah sahur.
Udah aja dech kalo lupa khan nggak bakalan batal ini?” ucap Kiki padaku.
Lalu aku
menjawabnya lagi dengan singkat sambil tersenyum, “Oh iya juga yach… ya udah
dech aku lanjutin lagi puasaku meski semalem nggak sahur dulu”.
Muali dari
situ aku dan Kiki menjadi sangat akrab dan kami sering menghibur Keiysha
bersama.
Hari ini
Keiysha ngajak aku dan Kiki maen ke Mall Blok-M buat jalan-jalan. Aku setuju
dengan usulannya karena besok pagi aku akan pulang ke rumahku, jadi mungkin
hari ini aku terakhir kali ada di Jakarta
dan bermain bersama Keiysha.
Hari ini
hari Jum’at tanggal 20 Oktober 2006 :
Berhubung hari ini hari jum’at
dan aku harus shalat jum’atan dulu di mesjid, jadi kami berangkat ke Mall
Blok-M sesudah aku selesai shalat jum’at dan setelah kami tidur siang dulu hari
ini.
Akhirnya
setelah aku beres shalat jum’at dan tidur siang, kami mulai berangkat pada
pukul 3 sore untuk pergi jalan-jalan ke Mall Blok-M yang tak jauh dari sini.
Lihat awan di
atas sana,
berarak mengikuti arah langkahku, seakan memayungik gelak tawa dan ceria dari
mulut kita. Sedangkan aku masih berjalan bersama Kiki dan Keiysha,
berjalan-jalan di bawah langit sore, saling bergenggaman tangan sepanjang
perjalanan. Celotehan lucu biasa terlontar dari mulut kami, membuatku merasa
sangat bahagia serasa punya keluarga yang utuh dan harmonis.
Bisa kalian
bayangkan, aku berjalan di sebelah kirisambil menggenggam tangan kiri Keiysha
yang berjalan di tengah, sementara Kiki berjalan di sebelah kanan sambil
menggenggam tangan kanan Keiysha yang berjalan di tengah-tengah kami. Kalau ku
perhatikan, kami seperti sebuah keluarga dengan satu anak berumur 5 tahun yaitu
Keiysha. Aku sendiri merasa tidak malu meski kami berjalan berdampingan, biar
saja semua orang yang melihat menganggap kami sebagai orang tua dan anak. Soalnya
Keiysha khan anaknya nggak malu-maluin buat di bawa kemana-mana, secara dia itu
anaknya lucu banget, bisa kalian bayangkan gimana lucunya turunan Indo atau
blesteran Prancis?
Dan memang
sepanjang jalan, semua orang memperhatikan kami terutama Keiysha. Terkadang
banyak ibu-ibu menghampiri kami untuk menyapa sambil muji-muji Keiysha, tidak
sedikit dari ibu-ibu itu gemes pengen nyubit pipi Keiysha yang chubby dan lucu
abiss.
Tapi kami tak begitu menghiraukannya, kami
terus berjalan hingga ke dalam Mall Blok-M. sampai di dalam, kami memutari semua
sudut ruangan untuk mencari apapun yang keiysha inginkan.
Kami membeli
barang pernak-pernik berupa gelang, kalung dan gantungan kunci.
Setelah kami
mencoba alat pijat refleksi yang otomatis, rasanya pegal-pegal badanku hilang
dan tubuhku kembali bugar.
Lalu sesudah
itu kami makan di kafe yang ada di sudut ruang. Tapi yang makan hanya Kiki dan
Keiysha karena aku sekarang sedang puasa di bulan Ramadhan.
Setelah
selesai makan, kami lanjuti acara jalan-jalan ini kembali dengan memutari lagi
badan Mall yang megah ini. Sampai-sampai aku nggak merasa jemu meski berulang
kali mengitari ruangan ini, soalnya bila melihat Keiysha yang selalu ceria itu
bisa membuatku terus bersemangat.
Aku senang
sekali seperti ini, rasa-rasanya aku telah menemukan keluarga impianku yang
hilang. Bila melihat Keiysha, aku selalu teringat Almarhum adikku Gilang yang
telah meninggal dunia 4 tahun yang lalu. Kalau gilang masih hidup, mungkin dia
akan seusia Keiysha sekarang. Kalau Keiysha terlihat Cantik, mungkin Gilang
akan menjadi lelaki tampan yang pantas mendampingi Keiysha kelak.
Selain itu aku
juga bahagia bisa jalan-jalan bersama Kiki, soalnya dia perempuan anggun dan
keibuan banget seperti idamanku selam ini. Meski umur Kiki 23 tahun dan aku
baru 18 tahun, tapi dia tak pernah menganggapku sebagai “Anak Kecil” malah dia
suka meninggikan hatiku dengan kedewasaanya. Tapi meskipun kiki cantik, bagiku
dai tak seberapa bila di bandingkan Nisa Pujaanku. Karena hatiku takan pernah
bisa tergoda akan rayuan cinat sesaat setiap wanita berbisa.
“Duch… tau
napa malah jadi ngelantur ngomongin Nisa lagi, Nisa lagi? Setiap kali aku
menulis tentang sosok perempuan, yang ada di pikiranku pasti hanya Nisa, karena
bagiku, wanita yang paling sempuran setelah Almarhumah Ibuku adalah Nisa
seorang. Dan hanya Nisalah wanita yang tersisa yang ku punya di dunia ini,
dialah seorang yang aku tunggu. Dan hanya ada satu kalimat terakhirku untuknya,
nantikanlah aku menjadi Suamimu kelak”.
Ya udah,
anggap aja tadi itu jadi selingan doang. Dan sekarang kita lanjutin lagi
ceritanya, masih tentangku di senja sore ini bersama Kiki dan Keiysha.
Yang pasti
sore ini aku senang banget bisa jalan bareng bersama mereka, sampai-sampai aku
keletihan juga untuk melangkah. Kiki sama Keiysha sich nggak puasa jadi mereka
kuat, sedangkan aku khan puasa jadi staminaku lemah, apalagi sekarang udah
hampir adzan maghrib dan saatnya untuk buka puasa.
5 menit
sebelum adzan maghrib, aku sudah siap-siap duduk dibangku kafe untuk menunggu
waktunya buka puasa. Di sini masih ada aku, Kiki dan Keiysha yang masih setia
menemaniku, kami masih sempat-sempatkan bercanda saat ini. Bertiga duduk di
bangku kafe sambil maen teka-teki dan simpul tawa tak jarang kami keluarkan.
Aku bahagia hidup seperti ini, rasa-rasanya tak bisa ku ungkapkan dengan
kata-kata.
Tapi seketika
ku tersadar akan kata-kata muaiara seperti ini: “Sedih itu bukan di saat kita
sendiri, kesepian dan tak ada seorang pun yang mau menemani. Tapi justru sedih
itu di saat kita bersama dengan kawan-kawan, bersenda gurau dan tertawa, tapi
tak ada orang yang kita sayangi duduk di samping kita untuk ikut bercanda”. Dan
memang ku sadei semua itu saat ini, ketika aku sedang bergembira tapi tak ada
Nisa duduk di sampingku. Tetap saja tanpa Nisa, kegembiraan ini hanya sebuah
karikatur yang palsu. Meski di dalam keramaian, tapi hatiku merasa sepi tak
bertuan. Pikiranku terus berputar pada kenangan masa lampau, aku seperti ingin
menulang dan menjamah lagi masa lalu itu, tapi aku tak bisa. Aku benar-benar
menjadi gila dengan semua ini, di sisi lain aku sedang hidup di masa kini tapi
sisi yang lainnya lagi hatiku telah tertinggal bersama kenanganku di masa
lampau. Bila masih mungkin waktu ku putar, akan ku tunggu dirimu (Nisa) di
tempat pertama kali kita berjumpa. Tapi hidup memang kejam, dia tak memberi
kesempatan padaku untuk memiliki cintamu Nisa. Biarlah cinta ini ku simpan
untuk masa depan, sampai kita bisa berjumpa lagi. Karena ingin sekali ku
tanyakan untuk yang terakhir kalinya untuk siapakah hatimu kini akan kau
berikan?
Kemudian suara
adzan maghrib menyadarkan lamunanku, segeralah aku buka puasa bersama Kiki dan
Keiysha. Tak terasa, puasa di bulan Ramadhan ini tinggal 3 hari lagi, karena
tanggal 24 oktober sekarang sudah lebaran. Mungkin malam ini menjadi malam
terakhirku bersama Kiki dan Keiysha, karena besok pagi sebelum Keiysha bangun
tidur aku sudah pergi untuk pulang ke rumahku di Cianjur. Rasanya mulutku sulit
untuk mengucapkan pamit pada Keiysha, karena dia pasti akan bersedih dan enggan
ku tinggalkan. Hanya bisa ku titipkan pada Kiki pesan terakhir ini, semoga Kiki
bisa merawat Keiysha hingga dia tumbuh menjadi puteri salju di dalam dongeng
anak-anak.
Selesai aku
buka puasa, aku langsung shalat maghrib dan hendak lanjutkan jalan-jalan di
senja petang.
Kali ini kami
ingin jalan-jalan di luar sambil melihat langit yang mulai penuh bintang.
Berjalan lagi dan bergandengan tangan seraya bersenda gurau menikmati malam
yang indah. Kulihat di sekitarku, menikmati malam yang indah. Ku lihat di
sekitarku, banyak orang yang berjualan di pinggir jalan, nampak ramai
menjajakkan dagangannya pada orang-orang yang lewat. Di sampingku masih ada
Kiki, ingin membeli kacang rebus yang masih hangat, ternyata Keiysha juga minta
di beliin hingga akhirnya aku juga ikut-ikutan beli, akhirnya kami beli 3
bungkus kacang rebus itu yang di wadahi ke dalam kerta karton yang di bentuk
tpi kerucut sedang. Sepanjang jalan kami ngobrol sambil ngemil kacang, kadang
Keiysha malah suka minta dibukain kulit kacangnya lalu pengen di suapin sama
aku atau Kiki.
Tentang hari
ini takan mungkin ku lupakan sepanjang hidupku. Bersama mereka aku kembali
bersemangat menempuh hidup yang penuh liku dan berlubang. Andai aku bisa lebih
lama bersama dengan Kiki dan Keiysha, aku pasti bahagia. Tapi waktu tak
mengizinkanku untuk bergembira karena ia lebih suka melihatku menderita
sepanjang hidupku. Semua ini memang nggak adil buatku, salahkah aku meminta ke
bahagiaan yang selama ini tak ku dapatkan?
Tentang malam
ini takan mungkin bisa terulang lagi, biarlah hanya sekali tapi membuatku takan
lupa sampai mati. Andai waktu bisa kuhentikan, aku ingin selamanya seperti ini,
karena baru kali ini aku merasakan bisa tertawa lepas bersama Kiki dan Keiysha.
Tapi sayang
besok aku harus pulang, aku harus menyelesaikan semua masalahku dengan ayahku.
Aku akan pulang bukan sebagai seorang “Penulis” tapi sebagai seorang anak yang
punya tanggungjawab untuk mengabdi dan berbakti kepada orang tua. Apalagi 4
hari lagi lebaran idul fitri agamaku, dan aku punya kewajiban untuk berziarah
ke makam ibu, selain itu seminggu lagi almarhummah ibuku itu berulang tahun
yang ke-50.
Ulang tahunnya itu tanggal 28
Oktober, kurang lebih 8 hari lagi dari sekarang. Tapi sayang, aku tak bisa lagi
mengucapkan selamat ulang tahun pada ibu. Sementara dia sendiri tak pernah lupa
untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku sampai sebulan sebelum dia
meninggal dunia.
Biarlah
kusimpan rindu inisampai akhir nanti, aku akan ada di sana, kembali bersamamu ibu. Dan maafkan aku
karena sampai saat iniaku belum bisa membuatmu bangga, tapi aku akan selalu
berusaha untuk menjadi orang terkenal seperti yang engkau minta, agar semua
tetangga-tetangga kita bisa sadar, siapa yang lebih hina dan menyedihkan antara
keluarga kita atau mereka?
Teruntuk ibu
di surga; Besok aku akan pulang ke rumah untuk menjenguk kedua adik (Indra,
Dimas) dan berziarah ke tempat peristirahatan terakhir ibu. Nantikan aku ya Bu…
Aku pasti akan pulang membawa Indra dan Dimas untuk pergi belanja seharian,
akan kubelikan mereka pakaian bagus, sepatu baru, agar mereka tak malu lagi
memakai baju jelek yang selalu dihina orang, dihina tetangga-tetangga dan
dipermalukan teman-temannya …….